SOCIAL MEDIA

Kamis, 02 Desember 2010

Saranghae, Love, Ai, Amour, Mahibbah ; you name it


Buku biru itu sudah pernah tenar saat aku di sekolah menengah pertama. Berpindah tangan berkali-kali dan jadi bahan pembicaraan selama berbulan-bulan. 
Dan yang tidak bisa dihindari adalah impact setelah membaca buku biru itu. Sebiru warna covernya, seharu biru kisahnya, oh, segalanya jadi biru karena Birunya Langit Cinta.
Beberapa saat setelah buku biru itu beredar dari tangan ke tangan, aku mulai merasa dikelilingi banyak Dey. Kelas sembilan SMP dan di sekolah bermunculan akhwat-akhwat muda. Jilbaber-jilbaber baru.
Bukan hanya kisah tentang cinta yang menggetarkan yang bisa dijadikan referensi positif di otak tapi, ada figur sholihah Dey di buku itu. Kak Azzura Dayana mengeluarkan cara ampuh untuk mensugesti banyak orang di sekolahku.
Masa SMP telah lewat tapi, kenangan buku biru itu masih bertahan eksistensinya, kurasa.
Aku melanjutkan perjalanan ke sekolah menengah atas. Kita lihat, di sini, peredaran buku-buku Islami berbeda dengan di SMP yang sudah terkondisikan dengan nilai islam sehingga aku dan teman-teman,merasa dekat saja dengan buku-buku Islami.
Di SMA yang kumasuki, buku-buku islami harus bersaing dengan buku-buku fantasi terjemahan, atau buku-buku teenlit yang isinya roman picisan semua.
Tapi, Vina suatu hari, muncul di masjid sayap kanan-yang menjadi markas para akhwat- dengan buru itu.
Buku biru yang amat familiar.
Ah ya, tapi, sebelumnya, ada buku hijau dan merah muda yang lebih dulu berputar diantara anggota akhwat rohis. Buku hijau itu dengan cover umi-abi yang menaiki sepeda berdua, ada di perpustakaan rohis, kayaknya sih, pada zaman senior terlalu sering dibaca sampai sampulnya lepas.
Seru. Di beberapa mentoring, pembicaraan tentang buku hijau ini jadi topik yang mengarah ke nikah muda. Haha.
Oh ya, soal buku hijau itu yang berjudul Nikmatnya Pacar Setelah Menikah membuat anak-anak rohis angakatanku pada saat ramadhan terobsesi mengundang ustadz Salim A.Fillah untuk menjadi pembicara.
Acara yang diisi oleh ustadz Salim A.FIllah itu menjadi acara akbar angkatan kami dan diacungi jempol oleh kakak-kakak senior karena bisa membuat teman-teman satu sekolah excited luar biasa dengan kegiatan keagamaan –suatu hal yang jarang terjadi di sekolahku.
Kembali ke buku biru itu, Vina membawanya dan langsung jadi rebutan teman-teman. Bukan hanya teman-teman rohis saja yang antri ingin membaca kisah Dey, sir Fatah, George, dan Reno tapi, karena Vina sering mengeluarkan buku biru itu di kelas, teman sekelas Vina jadi banyak yang tertarik.
Tidak jauh beda dengan NPSP yang sampul dan jilidannya sudah nggak keruan, BLC punya Vina, tak lama kemudian, yang tadinya bersampul plastik rapi, sekarang sudah banyak sobekan pada sampul plastiknya.
“ Parah. “ kataku yang saat itu melihat BLC dipegang Vina untuk berikutnya dioper entah kepada siapa.
Vina cuma ketawa. Ya, itu memang bukan masalah besar.
“ Siapa yang mau pinjem? “ tanyaku. Haha. Kangen dengan buku itu aku jadi pengen baca lagi.
“ Wida. Kenapa? Kamu mau pinjem? “
Aku nyengir aja.
“ Nggak. Biar Wida dulu. “
“ Oke. “
Itu memang sudah jadi kebiasaanku, membaca ulang buku yang sudah pernah aku baca dan bagus menurutku. Tapi, itu jadi kebiasaan yang aneh buat beberapa temanku yang juga suka baca.
Wida pun muncul dan mengambil buku itu.
Wida salah teman sekelas Vina. Anaknya pendiam, kalau belum kenal. Tapi, kalau udah lumayan dekat, kelihatan deh sifat gokilnya, haha. Dia bukan pengurus aktif rohis, tapi, termasuk yang rajin datang kalau ada kegiatan-kegiatan rohis. Bisa dibilang simpatisan lah.
-o-
Istirahat sholat dhuhur pada suatu siang , aku datang ke masjid lebih awal.
“ Lagi ngapain? “ tanyaku sambil melepas sepatu. Aku melihat Vina sedang membongkar-bongkar lemari perpustakaan, mencari-cari sesuatu. Kebetulan pelataran luar masjid dan ruang tempat sholat dimana lemari perpustakaan berada tidak terlalu jauh, jadi kelihatan saja meskipun aku ada di luar.
Tapi, tampaknya dia sedang sibuk dan tidak mendengarku. Jadi, aku terus saja ke tempat wudhu. Nanti aku juga bisa ketemu dengannya lagi.
Namun selesainya aku sholat dan saat aku akan menghampiri Vina di lemari perpustakaan, aku tidak menemukannya.
Hm, mungkin Vina buru-buru, pikirku. Dia menghilang secepat itu.
Ya sudah, sepenggal kejadian itu berlalu begitu saja.

Sepulang sekolah, di masjid lagi.
Haha. Jangan bosan kalau setting cerita ini banyak sekali mengambil masjid sebagai set nya. Karena apa?
Mari cari tahu.
Lagi-lagi aku melihat Vina sedang membongkar-bongkar lemari perpustakaan. Bukan sedang beres-beres atau berniat merapikan lemari yang memang rada-rada berantakan. Tapi, menurutku mereka sedang mencari sesuatu dan ini malah membuat lemari tambah tidak karuan.
Kali ini, Vina tidak sendiri membongkar-bongkarnya. Kalau Vina membongkar-bongkar lemari bagian kiri, Fani membongkar bagian kanan.
Oke, kali ini aku tidak akan menunda untuk menghampiri mereka.
“ Ehm. Assalamu’alaikum. “ ucapku.
“ Wa’alaikum salam. “ jawab mereka sembari mendongak sebentar dari aktivitas mereka kemudian melihat ke arahku.
“ Ah, kamu, za. “
Mereka melanjutkan lagi aktivitas tadi.
Hebat. Mereka benar-benar sibuk tampaknya.
“ Lagi cari apa sih? “ tanyaku kemudian ikut duduk di dekat mereka.
“ Majalah. “ Vina menjawab singkat. Terdengar tidak ingin diganggu lebih lanjut sepertinya.
Haha. Tapi, aku ingin tahu. Sepenting apa majalah yang dicari mereka ini sampai-sampai aku dicuekin begini rupa.
“ Majalah apa? “
Prak! Oke, tenang, tidak ada yang pecah atau apa.
Ini cuma suara majalah yang sedikit dibanting oleh Fani.
“ Kalian cari apa sih?! “ nada bertanyaku sekarang sedikit mendesak.
Fani dan Vina terdiam sambil kemudian saling memandang. Aha. How romantic!
“ Cerita, please. “ aku akhirnya berkata seperti itu pada mereka berdua.
Kami bertiga sobat karib, jadi aku tahu kalau ada sesuatu yang mereka berdua sembunyikan.
“ Kita lagi cari majalah annida. “ kata Vina.
Yes, what for? “
“ Tahu Wida kan kamu? “
“ Ya. “
“ Dia lagi minta dicarikan majalah annida yang isinya tentang pacaran-pacaran gitu. “ Fani menjelaskan padaku.
Tapi, tidak jelas sama sekali karena keningku berkerut.
“ Ah, udahlah, ceritain ke Izza semuanya aja. “
Fani berdeham bersiap untuk bercerita.
Lalu, ya begitulah. Aku mendengarkan dengan baik dan akan aku beritahu ringkasannya.
Jadi, buku biru Vina ‘Birunya Langit Cinta’ sampai ke tangan Wida. Oh, yeah, kan aku melihat proses dia meminjam.
Ternyata setelah membaca lika-liku kisah cinta Dey, dia terinspirasi akan suatu hal. Apakah itu?
Wida memutuskan untuk mengakhiri hubungan dengan pacarnya. Aku nggak tahu siapa pacar Wida, karena Fani-Vina sepakat untuk tidak membahasa soal pacar Wida lebih lanjut. Aku juga tidak merasa perlu untuk mengetahui lebih lanjut soal pacar Wida.
Masalahnya adalah sepertinya Wida dan pacarnya sudah menjalin hubungan cukup lama dan tidak mudah bagi si pacar Wida untuk menerima keputusan Wida begitu saja.
Aih…ribet amat ya. Aku sepintas berpikir begitu.
Karena hal itulah, Wida sedang mencari referensi alasan-alasan jitu yang bisa membuat pacarnya bisa menerima keputusannya.
Nah, Vina merekomendasikan majalah annida. Karena Vina pernah baca, disalah satu edisinya membahas dengan bagus soal pacaran-pacaran itu.
Tapi, sayangnya, yang dibaca Vina itu edisi lama. Masalahnya lagi, Vina lupa ditaruh dimanakah majalah edisi lama itu.
Ckckck…
“ Ya udahlah, kasih aja NPSPnya Salim A.Fillah. “ kataku mengusulkan.
Ha. Dengan kompak, Vina dan Fani agak mendelik ke arahku.
“ Dasar, Izza! Ntar yang ada si pacar Wida malah ngajak nikah muda. “ Fani menyahuti usulanku.
“ Haha. “  aku tertawa separo.
Hm, kalau dipikir-pikir, iya juga ya.
“ Eh, emang kenapa? Malah bagus kali. “ Aku menimpali, hehe.tapi yang ini tidak serius kok.
Lagi-lagi Vina-Fani mendelik ke arahku.
“ Iya, iya, bercanda kok. Aku bantu cari deh majalahnya. “ kataku.
-o-
Tahu kisah singkat Wida berakhir seperti apa?
Kalau aku bilang sih happy end.
Wida berhasil memberi pengertian yang bagus ke pacarnya dan mereka benar-benar tidak berhubungan pada akhirnya. Meski waktu awal-awal putus, pacar Wida itu masih lumayan sering mengirimkan pesan-pesan singkat. Tapi, nggak lama kok.

Setelah kejadian itu, Wida akhirnya benar-benar dekat dengan semua anak-anak pengurus rohis. Berkontribusi dan sangat bisa diandalkan di rohis. Kalau zaman SMP aku sebut dia, new Dey.
Haha.
Ini kejadian bertahun-tahun yang lalu.
Aku mengingatnya karena aku merasa miris dengan pergaulan pemuda zaman sekarang. Apalagi di kota hunianku yang baru.
Dimana-mana orang berpacaran. Yang nggak punya pacar dianggap freak.
Kupikir pasti ada beberapa yang tahu atau pernah mendengar kalau mendekati zina(pacaran) itu dilarang, oh come on, mereka pasti pernah dapat pelajaran agama kan? Atau nggak?
Tapi, entah berapa yang berani tegas untuk stop berpacaran. Stop mendapat perhatian-perhatian kecil dari sang pacar.
Aih…nampaknya kebutuhan untuk diperhatikan benar-benar mendesak sampai-sampai mereka mengesampingkan aturan Allah SWT.
Ini sebuah renungan juga buatku.
Hm, apa perlu kita tebarkan banyak ‘Birunya Langit Cinta’ supaya muncul banyak Dey yang berusaha menggapai sebenar-sebenar cinta?
-o-
Kisah ini untuk diikutsertakan dalam Lomba Kisah Menggugah Pro-U Media 2010 di http://proumedia.blogspot.com/2010/10/lomba-kisah-pendek-menggugah-pro-u.html

3 komentar :