SOCIAL MEDIA

Kamis, 28 Desember 2017

Zakkel Baby Carriers: Review Gendongan

Gendongan lokal rasa internasional. Kalau boleh saya akan menyebut gendongan model ssc asal kota Bandung ini setinggi itu. Karena memang nilai plus nomer satu dari gendongan ini adalah bahan yang luar biasa adem dan halus, katanya sih mirip-mirip dengan gendongan terkenal asal US, tula baby carriers. Kabarnya pula zakkel memakai bahan-bahan impor yang membuat harganya paling tinggi diantara gendongan-gendongan model ssc lokal lainnya.

Buat saya pun, saat ini zakkel menjadi gendongan model ssc paling nyaman.

Selain bahan kainnya yang adem dan halus, serta bagian shoulder pad yang empuk, yang jadi favorit saya adalah bantalan di bagian tempat paha bayi. Bantalan ini bisa melindungi paha bayi agar nggak memerah karena tergesek saat berada di gendongan. Buat saya sih itu penting untuk menambah kenyamanan bayi.

Hal lain yang bikin saya suka dengan zakkel ini adalah motifnya yang classy. Cantik, gaya, tapi tetap cocok untuk jadi baby stuff. Kombinasi yang apik yang jarang saya temukan di gendongan model ssc lokal lainnya. Kalau gendongan impor jangan tanya ya. Motif-motif gendongan impor udah jauh kelasnya.

Buat ibu-ibu yang sering keluar rumah, tapi nggak mau ribet bawa-bawa tas kecil atau dompet, zakkel ini menyediakan pocket kecil di bawah body panel. Awalnya saya sering kesulitan untuk mengakses pocket ini. Lalu saya pun konsul ke admin zakkel (atau mungkin ownernya) tentang masalah ini. Solusinya adalah meletakkan anak di bagian tengah body panel. Jadi agak ke atas supaya nggak terlalu menutup bagian tengah waistpad, tempat pocket berada. Kalau pendapat pribadi saya sih, sepertinya akan lebih nyaman dan lebih mudah diakses kalau pocket diletakkan di bagian samping waistpad. Tapi, ini agak-agak nyontek model gendongan soul anoona sih.

Berikutnya soal hoodie. Zakkel ini punya hoodie yang lain daripada yang lain. Zakkel aja nih yang hoodienya model hoodie jaket. Bagus dan keren sih sebenarnya. Tetapi, setelah memakai zakkel selama sebulan, menurut saya sih lebih nyaman kalau model hoodienya seperti gendongan ssc kebanyakan, memakai snap dan hoodienya nggak berbentuk kupluk.

Zakkel ini sebenarnya diperuntukkan bayi usia 6 bulan dengan berat badan bayi minimal 7 kg. Anak saya mulai pakai zakkel sejak usia 5 bulan dengan bb sekitar 6 kg. Alhamdulillah nggak tenggelam dan nyaman. Mungkin karena zakkel ini body panelnya nggak terlalu tinggi dan nggak terlalu lebar juga.

Soal safety, insya Allah aman ya. Di bagian waistpad buckle pengamannya pakai lock yang harus dibuka dengan dua tangan. Susah deh kalau coba buka pakai satu tangan. Kalau di penjelasan produk, bucklenya ini pakai 'Duraflex Buckle with Double Lock System'. Tapi, kalau buckle untuk chest strap, nggak pake double lock system. Jadi, mudah saja kalau mau ngebuka pake satu tangan. Nggak kebayang kalau harus buka pake dua tangan repotnya. Meskipun lebih safe, tapi dengan lock yang sekarang, saya pikir buckle chest strapnya sudah lebih dari cukup.

Dulu sebelum nyobain zakkel, saya pernah nyobain gendongan lokal lain yang agak susah buat ngatur tali atau strapnya. Tapi, kalau zakkel mah easy to adjust pisan. Mudah diatur, tapi tetep kenceng gitu.

Kekurangan yang saya rasakan saat pakai zakkel nggak banyak sih. Lebih banyak plusnya kok.

Pertama, entah mengapa kain zakkel ini suka gampang banget ditempelin macam debu-debu gitu. Kalau kata suami sih karena warna motif yang saya pakai ini hitam.

Kedua, saya kok ngerasanya kurang nyaman di bagian waistpad ya. Saya curiga sih bukan salah zakkelnya, tapi salah saya yang sepertinya belum jago menempatkan waistpad.

Ketiga, soal hoodie yang sudah saya jelaskan di atas.

Overall untuk harga segitu, zakkel ini sangat worth it.

Oh ya, sekadar info, saya nih belum punya zakkel sebenarnya. Bisa ngerasain zakkel karena boleh nyewa di toko gendongan punya mbak Mel yang ramah dan helpful banget. Sewa sebulan 100 rb dengan uang deposit 200 rb. Boleh dicari infonya di IG @tokogendongan.

Segitu dulu review saya soal zakkel.

Boleh banget kalau ada yang mau nambahin atau sharing juga soal zakkel atau gendongan lainnya.

Semoga bermanfaat.



Senin, 04 September 2017

Pikir Dulu Sebelum Beli Gendongan: Review Ergobaby Adapt (KW)

Sejak gabung di salah satu grup Whatsapp berisi ibu-ibu yang sering rame ngomongin apa aja, dari soal bayi dan lain-lain, banyak banget ilmu baru yang saya dapat terutama yang berhubungan dengan mengurus bayi. Termasuk soal gendong-menggendong.

Jujur saja saya baru tahu soal menggendong yang benar ya, di grup Whatsapp tersebut. Cara menggendong yang benar, mengapa harus m shape, gendongan ergonomis, dan sebagainya bisa dilihat di blog Indonesian Babywearers (silakan digoogling).

Nah, salah satu yang mendukung babywearing adalah gendongan!

Baru tahu loh saya kalau gendongan ergonomis impor harganya bisa sampai berjuta-juta. Makanya sampai ada barang kw atau replikanya.

Sebenarnya salah satu syarat gendongan ergonomis adalah bukan barang palsu/fake/kw/tiruan/replika. Sayangnya saya termasuk salah satu yang kena jebakan membeli barang kw.

Yep. Alasannya karena saat itu saya tergoda gendongan impor yang bisa dipakai untuk newborn tanpa tambahan insert dan ternyata sudah ada barang kw nya di Indonesia.

Sempat khawatir sih karena resiko barang kw adalah nggak ada quality control yang jelas. Jadi gendongan bisa saja tiba-tiba putus atau buckle nya patah. Na'udzubillahi min dzalik.

Tapi, akhirnya saya beli juga gendongan kw itu karena butuh gendongan yang praktis (secara gendong pake jarik pun saya belum bisa) dan dana terbatas.

Sebenarnya bisa saja saya membeli gendongan lokal. Akan tetapi, untuk menggendong newborn, gendongan lokal tersebut harus disupport infant insert. Padahal masukkin bayi saya ke infant insert lalu ke gendongan jadi pe er banget karena bisa-bisa bayi saya sudah nangis berlevel-level karena kelamaan nunggu digendong.

So, gimana review saya setelah memakai gendongan tersebut?

Jujur saja saya menyesal.

Tampilannya memang bagus dan nggak buruk-buruk amat. Tapi, saat dipakai, tali-talinya seret dan susah untuk diatur seorang diri. Saat sudah diatur sesuai keinginan kita pun, beberapa bagian untuk sisi kiri dan kanan tidak seimbang.

Tapi, alhamdulillah saya tetap bersyukur karena meskipun kw, erg0baby adapt ini ngebantu banget pas perjalanan naik pesawat bareng si bayi 2 bulan.

Nilai plus nya adalah murah dan simpel pas dipake, meski harus dibantuin pak suami pas nge-set nya.

Bayi saya pun alhamdulillah nyaman, meskipun pas awal dimasukkin rada uget-uget dulu karena mungkin ngerasa aneh.

Saran saya, nggak usah tergoda beli barang kw meskipun murah. Apalagi ini gendongan yang ada alternatif produk lokal berkualitas yang ramah di kantong pula.

Meskipun memang menggoda sih gendongan simpel model ransel alias ssc (soft structure carrier) untuk newborn yang murah meriah. Tapi, sekali lagi jangan tergoda!

Mengenai perbedaan dengan gendongan ssc normal, meskipun saya belum pernah mencobanya. Ada 3 pengaturan di erg0baby adapt yang berbeda sesuai peruntukkan usia. Pertama, pengaturan untuk menyesuaikan tinggi bayi. Kedua, pengaturan untuk menyesuaikan bagian paha dan pantat. Ketiga, pengaturan untuk menopang leher bayi. 

Nilai plus lain dari erg0baby adapt ini adalah bisa dipakai dari bayi newborn sampai toddler.

Menggendong newborn sebenarnya disarankan dengan jarik, ring sling, stretchy wrap, dan yang sejenisnya. Belum disarankan menggunakan ssc karena khawatir bayi 'mendelep' atau tenggelam di gendongan dan posisinya terlalu mengangkang yang akhirnya malah ngga membentuk m shape. Padahal menurut saya model ssc termasuk gendongan praktis yang tinggal set set udah siap dipake. Makanya pas muncul produk seperti ini bikin saya pengen punya. Kalau tidak salah di luar negeri pun gendongan ssc yang bisa dipake untuk newborn ini pun termasuk barang baru. Mungkin orang-orang masih aneh juga kali ya masukkin bayi yang masih mungil banget ke gendongan ssc.

Semoga bermanfaat.

Nb. Sekali lagi, pikir seribu kali sebelum memutuskan beli gendongan kw

Nb2. Sekarang sudah banyak banget loh gendongan lokal yang kualitasnya oke punya.



Selasa, 22 Agustus 2017

Pospak vs Clodi: Kegalauan Ibu #1


Jadi ibu itu ada-ada aja loh kegalauannya. Kali ini saya mau share soal pemakaian popok.

Sejak lahir, keluar rumah sakit, dan saat harus disinar karena bilirubin tinggi, bayi saya selalu memakai popok kain. Itu hal yang sangat lumrah alias sangat wajar di lingkungan keluarga saya. Malah saya diwanti-wanti agar nggak pakai diapers alias pospak (popok sekali pakai) a.k.a. pampers untuk si bayi.

Mengapa?

Kalau kata ibu dan bude, bulik saya, kasihan si bayi kalau kecil-kecil udah pakai pospak terus. Mungkin di mata mereka pospak ini kayak plastik yang dikemas cantik sedemikian rupa menjadi penadah bak dan bab bayi. Pokoknya say no lah to pospak kalo buat pemakaian sehari-hari.
Bayi saya pun baru saya pakaikan pospak usia 10 hari saat kontrol ke dokter, saat tidur di malam hari, dan saat bepergian. Selebihnya untuk sehari-hari si bayi pakai popok kain.

Bisa bayangkan seberapa banyak cucian si bayi dalam sehari?

Karena saya operasi sesar saat melahirkan, urusan cuci-mencuci popok dihandle ibu saya. Eng ing eng, tapi cuma untuk 3 hari! Besok-besoknya saya sendiri yang harus nyuci sambil nahan-nahan luka sesar yang alhamdulillah saat itu udah mengering meski masih sedikit sakit, tapi bearable kok.

Welcome to the jungle!

Di minggu-minggu awal, si bayi bisa menghasilkan puluhan cucian kotor berupa popok kain. Nggak cuma dalam bentuk bak, tapi juga bab!

Tempat jemuran bayi yang bentuknya lingkaran berisi 30 rangka tiap hari penuh dan nggak cuma 1 jemuran, saya punya 2 jemuran yang tiap hari berfungsi.

Rodi mencuci popok yang sangat banyak ini berlangsung kira-kira 1 bulan-an.

Bulan berikutnya meski masih banyak, tapi, nggak pake banget. Mendekati usia 2 bulan, bahkan saya nggak harus nyuci tiap hari, saya mencuci 2 hari sekali pun, masih ada persediaan pakaian.

Saat mendekati usia 2 bulan itu si bayi mulai berkurang bab dan bak nya. Karena mulai lebih besar juga, si bayi nggak lagi muat pakai popok kain aja, maka saya pakaikan celana pop yang dilapisi popok kain supaya nggak susah membersihkan kalau si bayi bab.

Eh, tapi, berkurangnya bab dan bak si bayi nggak malah bikin saya semangat loh! Malahan yang tadinya saya nyuci pakai tangan, pindah deh jadi nyuci pakai mesin, hahaha.

Nah, menjelang usia 3 bulan ini, saya lagi galau nih...

Dulu pas masih di rumah ortu saya masih punya waktu luang dan sisa tenaga buat nyuci popok-popok kain yang menggunung itu. Secara kalau di rumah ortu makan tinggal makan karena udah dimasakin. Aktivitas lain pun nggak nguras tenaga. Mandiin dan lain-lain ngurus si bayi bisa gantian sama ummi, abi, dan adik yang lagi libur kuliah. Nah, sekarang karena saya udah balik lagi ngikut suami, yang beliau kerja dari jam 7-17 kadang lebih. Demi maslahat bersama saya pun izin untuk mempensiunkan popok kain dan pindah ke pospak untuk sehari-hari.

Sebenarnya bisa aja sih saya masih pakai popok kain.

Masalahnya adalah saya ini orang yang gampang tertekan dan mudah khawatir.

Ini nih beberapa alasan saya nekad pindah ke pospak
1. Saya suka stres sendiri kalau lihat cucian menggunung
2. Waktu saya di malam hari untuk mencuci dipakai untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang lain. Kadang juga saya udah kelelahan karena seharian misalnya si bayi minta terus digendong
3. Saya suka kasihan juga sama si bayi kalau kebasahan dengan popok kainnya
4. Saya suka khawatir kena ompol si bayi yang najis dan saya jadi ribet sendiri kalau tiba waktu shalat

Intinya sih dengan memakai pospak, waktu dan energi saya bisa dialihkan untuk aktivitas lain yang lebih penting dan produktif. Saya pun nggak rempong sendiri mikirin cucian si bayi.

Si bayi pun alhamdulillah hepi-hepi aja. Paling cranky doang kalau saya nggak nyadar dia bab dan minta segera dibersihkan.

Nah, tapi, akhir-akhir ini, saya mulai kepikiran dan khawatir serangan ruam popok. Meskipun alhamdulillah sampai sekarang aman-aman aja. Semoga untuk seterusnya. Aamiin.

Dan saya juga kepikiran sampah pospak yang asli nyampah banget. Kan gini-gini juga saya kasihan sama bumi yang udah acak adut banget kondisinya.

Belum tahu nih, bakal balik lagi pake popok kain atau mempertimbangkan clodi?

Sampai sekarang sih lagi into clodi banget. Belum nyampe pakai sih, masih pengen aja.
Cuma lagi menimbang-nimbang, budget beli clodi di awal emang lumayan.

Segitu dulu lah berbagi kegalauan saya.

Semoga bermanfaat.

Senin, 14 Agustus 2017

Naik Pesawat dengan Bayi 2 Bulan!


Planning awal sebenarnya nggak mau naik pesawat bareng si bayi di usia sedini itu. Eh, tapi, apa daya, pak suami yang udah dibujuk-bujuk untuk menunda kepulangan ke Lampung nggak berkenan. Ya sudah...

Udah dari jauh-jauh hari deg-degan banget bakal bepergian bareng si bayi. Apalagi naik pesawat. Apalagi pesawatnya pake transit.

Nanya-nanya ke saudara dan teman yang udah lebih dulu debut naik pesawat bareng bayi usia segitu, pesannya adalah pilih jam terbang pas jam tidur bayi dan disusuin saat take off-landing.

Sempat konsul juga dengan dokter anak pas si bayi imunisasi. Kata beliau, amannya nunggu 3 bulan dulu, kalau mau maksa di bawah usia segitu, pastikan kondisi bayi fit, misalnya nggak lagi batuk pilek.

Beliau juga pesan, mendingan saat di ruang tunggu bayi diajak main, supaya nanti pas di pesawat dia tinggal capek dan tidur. 

Saya sebenarnya masih bingung sih apa yang bikin khawatir atau membahayakan saat mengajak bayi naik pesawat? 

Kesimpulan saya beberapa sebabnya adalah khawatir organ pendengarannya belum kuat menghadapi perbedaan tekanan saat naik pesawat dan khawatir bayi tidak tenang alias rewel karena suara bising mesin pesawat.

So, gimana dengan pengalaman saya?

Kita mulai dari memesan tiket.
Jauh-jauh hari, saya sudah pesan pada pak suami pilih maskapai yang anti delay. Pilihan kami jatuh ke dua maskapai, yaitu b4tik air dan 9aruda Indonesia. Setelah menghubungi customer care via email, untuk b4tik air penerbangan dengan infant di bawah usia 3 bulan harus membawa surat keterangan dokter yang masa berlakunya maksimal 3 hari. Beda dengan 9aruda yang tidak mengharuskan surat tersebut kecuali memang ada kondisi kesehatan yang butuh perhatian khusus.

Eh tapi, pas udah di te ka pe, surat keterangan dokter tersebut nggak ditanyakan sama sekali.
Kami akhirnya pergi dengan maskapai b4tik air karena harga tiket yang affordable, hehehe.

Waktu terbang yang kami pilih adalah pukul 3 sore. Waktu terbang Semarang-Jakarta sekitar 1 jam. Transit di soetta sekitar 3 jam dan lanjut lagi Jakarta-Lampung sekitar 30 menit.

Layanan maskapai ini alhamdulillah baik. Hanya yang sedikit mengecewakan adalah kami tidak mendapatkan front seat yang saya dan suami pikir akan diprioritaskan untuk penumpang yang membawa infant. Kami malah mendapat kursi tengah menjorok ke belakang.

Petugas maskapai ramah sekali menyambut kami yang membawa infant. Surat keterangan dokter tidak ditanyakan, tetapi kami diminta untuk menandatangani semacam surat pernyataan. Saya tidak tahu detail isinya, karena pak suami yang mengurus semuanya.

Lah kok malah kemana-mana ya tulisannya. Nggak sesuai judul sub bab. Hehehe.

Soal pesan tiket nggak ribet sama sekali kok. Kami pun baru pesan tiket H-2. Mungkin karena kami nggak ngoyo dapat front seat ya jadi nggak berasa ribet. Hohoho.

Lanjut lagi ya.

Apakah baby saya rewel selama penerbangan?
Saya sih menganggap rewelnya masih wajar. Sempat bikin panik, tapi, so far so good.

Lengkapnya begini.

Dari pukul 10 pagi, saya, si bayi, dan suami sudah siap dengan keberangkatan kami. Maklum perjalanan ke bandara ahmad yani cukup jauh dari rumah kami. Kami juga harus transit sebentar ke rumah eyang buyut untuk berpamitan.

Di sini lah drama dimulai.

Selama perjalanan dengan mobil si bayi anteng-anteng saja karena tidur. Eh, begitu bangun dan sampai di rumah eyang buyut, dia rewel dan baru diam setelah dimandikan.

Sampai di bandara ahmad yani si bayi lanjut tidur. Nggak lama kami menunggu di area luar ruang tunggu bandara ahmad yani.

Karena udara yang panas, kami memutuskan untuk masuk menunggu di dalam dan berpamitan dengan keluarga.

Si bayi pun masih anteng tidur, bahkan saat diganti posisi gendong, dari pake gendongan jarik ke gendongan ssc.

Kami menunggu hingga waktu penerbangan sekitar 1 jam.

Alhamdulillah si bayi nggak rewel atau pun terbangun saat masuk area pesawat-pesawat yang bising dengan suara mesin.

Di dalam pesawat pramugari memberikan sabuk pengaman untuk bayi, tapi, tidak saya gunakan, karena si bayi sudah nyaman di dalam gendongan ssc.

Sebelum take off, suami dan saya sibuk menyumpali telinga si bayi dengan bulatan kapas. Primitif ya? Sebabnya, kami nggak sempat berburu earmuff dan khawatir juga si bayi malah rewel saat dipasangi earmuff.

Saat take off alhamdulillah si bayi masih tidur lelap dan tidak saya susui karena khawatir malah bikin si bayi bangun dan jadi tidak tenang.

Baru lah di separuh perjalanan, si bayi uget-uget bangun, menangis sebentar, tapi tenang kembali saat disusui.

Saat landing pun alhamdulillah si bayi sudah kembali tidur.

Si bayi baru terbangun saat kami mengganti popok dan pakaiannya. Mungkin karena jet lag dan suhu ruangan di ruang ibu dan anak di terminal 1c bandara soetta yang sangat dingin, si bayi mulai rewel dan nangis sejadi-jadinya. Ada kali si bayi nangis sekitar 30 menit dan bikin orang-orang pada ngeliatin. Hahaha... 

Tenang pak, bu, ini asli bayi saya sendiri kok. Alhamdulillah, setelah itu si bayi kembali tidur.
Sampai saya tinggal makan, lalu saya kembali check in melanjutkan penerbangan, alhamdulillah si bayi masih nyenyak. Hanya bangun sekali sebelum naik pesawat menuju Lampung dan tenang kembali saat disusui.
Penerbangan kedua tidak jauh berbeda dengan penerbangan pertama.

Hanya karena terlalu lama muter-muter saat pesawat akan take off dari soetta, si bayi terbangun dan minta disusui. Nangisnya nggak seheboh saat di bandara sih. Tapi, lumayan bikin panik.

Saat landing pun alhamdulillah aman. Terbangun saat bayi-bayi lain nangis, tapi itu juga pas pesawat sudah di daratan lagi.

So far, penerbangan dengan si bayi nggak bikin trauma kok. Cuma masih deg-degan aja kalau keinget, hehehe.

Memang sih sebagai ibu kalau kata saya nggak bisa nolak serangan panik. Nah, yang penting adalah mengelola rasa panik itu. Stay cool aja kalau si bayi nangis dan kita jadi bahan tontonan. Kalau saya, tenangkan si bayi dengan disusui. Kalau dia belum mau tenang juga, ayun-ayun sedikit supaya dia nyaman. Nanti juga reda kok tangisannya.

Soal barang bawaan. Siapkan saja gendongan yang nyaman dan nursing cover. Kalau mau jaga-jaga bisa juga siapkan botol Asip. Pengalaman saya siap sedia Asip malah nggak terpakai karena si bayi ogah minum lewat dot.
Siapkan juga pakaian ganti bayi, sapu tangan, pospak, tisu basah dan kawan-kawannya. Saya juga menyiapkan pakaian atau minimal kerudung ganti, jaga-jaga kalau si bayi gumoh sampai ke pakaian kita. Tapi, alhamdulillah kemarin saya aman-aman aja.

Kalau penerbangan sampai malam hari atau khawatir ac terlalu dingin, siapkan selimut, kaus kaki, dan kaus tangan. Atau bisa juga pakaikan baju bayi yang langsung menutupi kaki dan tangan.

Yiey, alhamdulillah first flight with my 2 months baby girl accomplished! What's next?

Senin, 17 Juli 2017

Yang Sama


Masih inget perkataan seorang senior waktu di kampus dulu. "Kalo kita masih dapat ujian yang sama di masa depan itu artinya kita belum lulus ujian di masa lalu. Makanya Allah uji kita lagi."

Mirip-mirip sama yang diomongin sama atasan waktu di Annida dulu. "Kalau kita belum bisa ikhlas sama ujian dihadapan kita, harus siap kalau Allah kasih ujian dan masalah yang sama di masa mendatang."

Sebenarnya capek sendiri saat kita mendapatkan masalah atau ujian yang berulang. Bawaannya kesel sama diri sendiri karena kok gini lagi, gini lagi sih. Mungkin karena bawaan karakter kita tersandung masalah yang sama. Atau mungkin hati kita yang belum ikhlas, makanya aura kita menarik masalah yang sama.

Tapi, emang susah untuk ikhlas. Perlu banyak belajar dan berlatih.

Padahal kalau udah ngelakuinnya terasa ringan dan plong loh.

Ngejalanin masalah yang berulang itu juga jadi tenang. Cuma tetep aja sih berurai air mata. Zzz.

Kamis, 13 Juli 2017

Menghadapi Newborn Baby: Tribute to all Mommies

Udah merawat newborn baby aja nih. Padahal belum berkisah soal melahirkan yang maknyos! Gapapa lah ya. Feel free aja, insya Allah di lain episode.

Saat sedang hamil sempet ngerasa nggak pede kalau mikirin ngurusin bayi. Rasa nggak pede yang suka bikin panik dan akhirnya nggak mau dipikirin. Let it flow aja. Tapi, bukan berarti masa bodo, ya. Tetep banyak baca sih buat persiapan, cuma gimana nanti aja lah. Bismillah.

Pas sudah ketemu si bayi, awal-awal terutama pasca operasi di ruang rawat gabung, banyakan suami yang mengurus bayi. Soalnya saya nggak kuat! Luka operasinya masih sangat menganga. Lebay! Tapi emang gitu sih, gerak dikit aja berasa disayat-sayat. Apalagi kalau harus mondar-mandir ganti popok.

Jadilah urusan ganti popok dan gendong menggendong bagian suami. Saya cuma ngasih asi aja. Baru deh pas hari kedua saya mulai memangku si bayi dan seterusnya.

Bukan urusan gampang loh mengurus bayi, apalagi yang baru lahir. Belum pernah ngerasain sih ngerawat bayi yang rada gede juga . Cuma ibu saya bilang kalau usia 1-2 bulan ini bayi emang butuh perhatian dan tenaga ekstra. Apalagi buat yang baru pertama kali punya anak. Makanya supaya ibu-ibu baru nggak stres, perlu banget perhatian dan bantuan orang-orang sekitar.

Perjuangan banget di awal-awal, karena harus menahan rasa sakit luka operasi, ngasih asi, menggendong, de el el. Apalagi kalau si bayi sedang minta asi sambil nendang-nendang. Sakitnya masya Allah! Tapi, mana tau si bayi kakinya nendang apa. Jadi, ditahan aja.

Bersyukur banget punya suami dan ibu yang suportif.

Bersyukur juga karena saya melahirkan di momen liburan seperti sekarang.

Alhamdulillah...

Jadi, ibu saya yang masih inget cara merawat bayi, memandikan, de el el, banyak banget bantuin saya. Setelah pulang dari rumah sakit, beliau yang ngehandle cucian bayi yang sehari aja bisa menggunung tinggi, memandikan, menggendong saat saya nggak kuat. Itu berlangsung kira-kira 3 hari.

Pun sampai saat ini usia bayi 1 bulan, ibu banyak banget ngebantu saya. 
Mulai dari memandikan (tetep ya, soalnya saya belum berani), ngehandle bayi supaya saya bisa makan, mandi, lanjut nyuci popok bayi. Beliau juga yang ngajak main bayi dan menenangkan saat bayi rewel dan saya terlihat lelah.

Penting banget nih backup tenaga saat ibu-ibu baru ngerasa lelah dan bayi dalam kondisi rewel. Soalnya dalam kondisi begitu khawatir malah kebawa emosi saat berinteraksi dengan bayi.

Ibu saya ternyata paham baby blues. Nggak paham-paham banget sih, cuma cukup tau lah. Jadi, kalau saya terlihat lelah atau kurang tidur, ibu langsung ambil alih dan banyak nasehatin. Meskipun cuma buang air, minum, dan tidur, emang harus sabar menghadapi bayi baru lahir. Saya aja sampai nggak kebayang kalau nanti pisah sama ibu . Selama di rumah ortu, saya ngerasa terbantu banget karena urusan perut, saya tinggal makan aja, udah ada masakan tersedia. Urusan bersih-bersih rumah pun, saya ngerjain kalau ada tenaga or waktu lebih.

Saya jadi kepikiran soal baby blues yang banyak menyerang ibu-ibu baru, salah satunya, karena lingkungan yang kurang suportif.

Udah ngerasain sakitnya melahirkan, harus ngurus bayi yang nggak kenal waktu, harus ngurus diri sendiri pula.

Alhamdulillah selain bantuan orang-orang sekitar, masih punya iman. Jadi, kalau ngerasa berat banget, curhat aja lah sama Allah, minta tolong sama Allah supaya dikuatkan.

Berasa apa banget ya?

Tapi, itu sih yang saya rasain.

Ngurusin newborn baby itu salah satu ujian keimanan.

Bisa nggak kita berdamai dengan diri sendiri untuk mengurangi secara drastis me time kita dan mencurahkan segenap tenaga untuk mengurus this little nugget?

Makanya, jadi terharu kalau ada temen atau saudara yang ngasih semangat atau menyuruh bersabar. Seolah mereka tau gitu kalau jadi ibu baru itu memang penuh perjuangan.

Segini aja, kalau bayi lagi rewel, saya masih suka ngeluh dalam hati. Meskipun kalau ngelihat wajah si bayi yang bikin nggak tega, jadi nyesel sendiri karena pake ngeluh-ngeluh segala.

Nggak bisa ngasih tips apa-apa sih di momen menghadapi fase newborn baby ini. Saran singkatnya... Ikutin aja alurnya. Ikutin apa mau si bayi. Ikhlasin kalau sejam lebih kita harus menggendong karena si bayi nggak mau ditaruh di kasur. Rasa ikhlas itu insya Allah bakal bikin ringan punggung-punggung yang berasa pegel banget. Biasanya juga, waktu rewel bayi jadi lebih singkat. Tapi, tetep suka-suka dia sih .

Semoga bermanfaat.

Jumat, 19 Mei 2017

Eat In Marugame Udon&Tempura Paragon Semarang

Makanan Jepang lagi nih. Susah emang menahan godaan untuk nggak nyobain makanan Jepang.

Sebenarnya udah tahu resto Jepang yang jaminan halalnya 100% dengan label MUI ini sejak kerja di Utan Kayu. Setiap kali main ke KoKas selalu ngeliat antrian yang bejibun di resto dengan konsep open kitchen ini (kalau nggak salah nebak). Sayangnya, belum kesampaian aja pas jalan-jalan ke KoKas untuk rela antri dan makan di sana.

Nah, ternyata di salah satu mall di kota Semarang ada juga nih cabang Marugame Udon. Jadilah nyobain pergi ke sana. Tadinya nggak mau bareng pak suami karena kayaknya pak suami agak kurang suka menu-menu internasional begini. Tapi, karena nggak boleh jalan-jalan sendiri, akhirnya makan bareng pak suami juga deh pas beliau ambil cuti :3

Mungkin karena kami makan di weekday, meskipun itu pas jam makan siang, restonya nggak rame-rame banget. Kalau saya boleh agak sok tahu, konsep restonya agak-agak self service ya. Mirip-mirip resto fast food Jepang yang udah terkenal itu, Hokb#n.

Suasana kitchen dari tempat duduk kami

Datang, ambil nampan, pilih menu, dikasih menu main course pilihan kita, pilih dan ambil sendiri side dish tempura yang langsung di depan penggorengannya, pilih menu minuman, dikasih menu minuman pilihan kita, bayar, ke rak sebelah buat ambil condiment (daun bawang, hancuran tempura, kecap asin, cabai, dan sejenisnya), ambil sumpit dan sendok, ambil minuman untuk menu ocha dan lemon tea, lalu pilih tempat duduk yang kamu suka.

Menu main course yang kami pilih adalah menu yang katanya best seller, Niku Udon dan Beef Curry Rice. Side dish tempuranya harusnya pilih udang tempura sih yang terlihat besar dan menggoda, tapi saat itu saya lagi nggak pengen tempura, jadinya pak suami yang pilih dan itu agak-agak failed. Pak suami milih inari (nasi yang dibungkus kulit tahu, yang sukses bikin kami kekenyangan karena pak suami udah pesen main course nasi) dan chikuwa (otak-otak ikan).

Soal rasa, lidah saya sih sangat cocok. Udon dan kuahnya enak banget >.< Rasa kuahnya khas masakan Jepang. Pak suami juga setuju kalau udonnya emang enak. Nah, kalau menu rice nya, pak suami kurang cocok karena katanya berasa manis doang. Kata saya sih, enak, tapi so so lah. Lebih recommended pilih menu udon sih, daripada rice. Side dish chikuwa nya enak, tapi biasa aja. Inari nya nih yang agak-agak failed. Lebih enak arem-arem Semarang (parah banget komennya).

Mungkin karena mengikuti selera orang Indonesia yang doyan pedas, makanya di bagian condiment disediakan potongan cabai setan segar. Buat saya, itu nggak bikin ancur rasa udonnya kok. Malah bikin rasa udon tambah segar. Nah, kalau dimasukkin ke menu ricenya, nolong biar nggak manis-manis banget.

Tempura dan udon
Beef curry rice

Buat saya, kesan pertama makan udon di Marugame ini bikin pengen balik lagi, tapi, nggak sering-sering karena cukup nguras kantong. Meskipun kata pak suami wajar harga segitu dan masih masuk uang jajan rata-rata orang Indonesia yang memilih makan di resto beginian. Tapi, yakin deh, pak suami lebih milih makan ayam geprek daripada diajak ke Marugame lagi. Secara lidah pak suami Indonesia banget.

Harga menu yang ada di display udah dengan pajak, kalau tidak salah ingat, Niku Udon itu harganya 53 ribu-an, Beef Curry Rice juga 53 ribu-an, side dish tempuranya macam-macam, sekitar 10 sampai 20 ribu-an. Pilihan menu minuman di Marugame Udon ini sangat simple. Ada ocha, lemon tea, dan beberapa minuman kemasan. Harganya standar resto sih, 10 sampai 20 ribu-an juga. Total makan berdua sekitar 150 ribu-an. Yah, mirip-mirip dengan kalau saya makan di resto Je-Jepang-an yang ada di Lampung.

Sekian.

Semoga bermanfaat.

Menu komplit pesananan kami, cold ocha, hot ocha, chikuwa, inari, niku udon, beef curry cice

Kamis, 11 Mei 2017

Bolehkah Aku Rindu?

Wajar nggak sih kalau pas dulu kita SMP, kita ngerasa kangen sama temen-temen SD?

Atau pas SMA excited banget kalau mau ada reuni atau buka bareng temen-temen SD atau SMP.

Apalagi udahan pas kuliah, ngerasa bahagia gitu kalau temen-temen zaman sekolah nyempetin ngumpul untuk silaturrahim.

Nostalgia masa lalu kayak gitu, kadang bisa bikin seneng dan bahagia karena cerita-cerita di masa lalu. Tapi, kadang juga bikin kita jadi napak tilas yang bisa happy ending atau malah jadi nyesek sendiri.

Harapannya sih bukan yang terakhir, ya, karena kok malah bisa bikin kita nggak bersyukur karena menyesali ketentuan hidup.

Seperti yang sedang saya rasakan sekarang nih. Gegara ngeliat foto-foto zaman masih single fighter jadi pekerja kantoran dan gegara mungkin agak bosan di rumah terus-terusan, muncul deh rasa rindu itu.


Kangen sama temen-temen kantor. Kangen sama kerjaan yang dulu dikerjain dari pagi sampe malem. Pun sama tekanan-tekanan yang membelit pas di masa kerja itu, meski pahit dan berat, kok ya, bikin kangen loh.

Sama sekali nggak ada maksud untuk menyesal karena sekarang udah nggak kerja kantoran lagi. Atau karena sekarang status di KTP jadi mengurus rumah tangga. Bukan itu kok.

Nostalgia masa lalu itu bikin kita bersyukur ngalamin berbagai macam hal yang ngebentuk diri kita sekarang ini. Klise sih. Tapi, bener kan? Orang-orang dan peristiwa-peristiwa di masa lalu bikin kita jadi tertempa dan lebih kaya pengalaman.

Dan melihat masa lalu itu bikin saya ingat lagi impian-impian saya. Keinginan dan target yang dulu belum terwujud dan sempat terlupakan beberapa waktu ini.

Menjadi semacam alarm bahwa masih banyak hal yang bisa saya kejar untuk diwujudkan.

Dan masih banyak cita-cita yang harus saya terus mohonkan pada Allah Ta'ala agar Ia ridho dan Ia kabulkan pada akhirnya. Aamiin.

Sabtu, 29 April 2017

A Distance

Bismillah,

Jadi gini ceritanya. Beuh! Berasa mau cerita sesuatu yang penting aja.

Hm, sebenarnya penting nggak penting sih. Cuma mau sharing karena ini jadi pelajaran buat saya sebagai manusia yang sering banget kurang bersyukurnya sama kondisi yang sudah Allah ta'ala kasih.

Seperti tertera di profil saya, kalau per September 2016 kemarin, saya resmi pindah domisili tempat tinggal ke Lampung Tengah. Awalnya berasa sedih dan sepi sih, karena jauh dari keluarga dan teman-teman. Lonely dan nelangsa gitu. Emang agak lebay sih. Dikit-dikit mellow terus nangis, gara-gara pengen pulang. Entah ke Bogor, ke Utan Kayu, atau ke Semarang.

Sebenarnya lama-lama terbiasa juga, berdua sama suami aja di Lampung sana. Apa ya namanya? Mulai betah? 

Tapi, nggak bisa bilang gitu juga sih. Karena kadang masih suka komplain. Indikasi kurang bersyukurnya. Beda banget saya dan pak suami. Kalau mendapati sesuatu yang langka di Lampung, padahal itu biasa banget di tanah Jawa, sering ngeremehin dan memandang sebelah mata. Jelek-jeleknya Lampung diblow up sama saya, padahal sebenarnya nggak jelek-jelek banget. Saya aja yang mungkin waktu itu kayak belum 100 persen ikhlas jauh dari pulau Jawa. Yah, dulu pas bulan-bulan awal sering banget deh kayak gitu.

Sampai akhirnya saya hamil. Rencananya memang insya Allah di bulan ke-7 kehamilan, saya akan pulang ke rumah. Yiey, ke pulau Jawa lagi. Excited banget gitu. Padahal suami saya sedih karena mau pisah dan dia harus sendiri lagi. Ya, sih, saya juga sedih. Tapi, kayaknya suami saya lebih sedih daripada saya. Parah banget!

(Padahal sekarang pak suami kayak tabah-tabah aja. Mungkin karena dia banyak kerjaan? Atau karena dia terbiasa balik lagi ke kehidupan singlenya di masa lalu? Malah saya yang jadi sering ngerasa nelangsa dan sedih.)

Terus saya cerita ke ibu-ibu sekelompok pengajian kalau saya bakal pulang ke rumah orangtua untuk persiapan melahirkan.

Wah, responnya macam-macam, waktu saya bilang mungkin bakal pisah (ini maksudnya LDM/Long Distance Marriage) sama suami sekitar 6 bulan.

Ada yang memaklumi, karena namanya juga melahirkan pertama kali. Pasti butuh bimbingan orangtua yang lebih paham.

Ada juga yang agak kaget, karena itu waktu yang sangat lama buat ninggalin suami.

Nah, soal pendapat yang kedua, ada ibu-ibu yang bahkan meyakinkan saya bahwa 3 hari nggak sama suami aja rasanya nggak enak! Apalagi ini 6 bulan!

Oh, my! Saya waktu itu cuma senyum-senyum agak nggak percaya gitu. Hah? Segitunya ya rasanya berjarak sama suami?

Terus saya ingat juga cerita sahabat saya. Dia cerita kalau sebenarnya dia berencana LDM juga karena melahirkan anak pertama sekitar 3 bulan. Tapi, dia nggak betah gitu dan akhirnya LDM mereka cuma bertahan 3 minggu.


Maksud saya sharing cerita ini yang sebenarnya masih saya pikirkan dan tanyakan ke diri saya, begini nih,

Allah ta'ala itu sudah baik banget lho sama pasangan yang menghalalkan ikatan dengan menikah. Terutama buat yang menikah tanpa perasaan apapun sebelumnya alias 'Pokoknya gue mau nikah aja deh. Sama siapa juga. Gue pengen menjalankan sunnah Rasul.' Udah, gitu doang tuh mikirnya pas mau nikah. (Eh, ini nggak juga bermaksud mendiskreditkan mereka yang menikah karena udah ada rasa duluan loh. Sah-sah aja kok, kayak Fatimah dan Ali. Asal nggak mengumbar-umbar dan tetap menjaga sesuai koridor syariat.)

Mereka (dan mungkin saya? Hahaha. It's a secret lah) yang sebelumnya belum ada rasa cinta (bahkan suka) dengan pasangan, ternyata Allah ta'ala karuniakan rasa cinta untuk mengeratkan ikatan pernikahan yang suci. Apa banget saya nulis begini!

Jadi ingat nasehat Pimred saya sebelum saya menikah, sering tuh kita ngebahas soal rasa cinta pasangan-pasangan yang menikah saat belum mencintai pasangannya. Ini saya nggak bermaksud menyalahi kaidah, kalau menikah, seharusnya dan sebaiknya ada kecondongan kepadanya lho. Insya Allah kalau menikah pasti ada kecondongan, cuma kita menyoroti mereka yang belum naksir, belum cinta, biasa aja, belum ada getaran yang aneh-aneh.

Nasehatnya adalah jangan menyerah, jangan berhenti berdo'a, jangan berhenti berusaha. Minta dan mohon sama Allah ta'ala untuk menumbuhkan rasa cinta itu. Insya Allah pasti perasaan itu muncul kok. Di waktu yang terbaik yang mungkin kita nggak nyadar kapan munculnya.

Tiba-tiba aja nggak nyaman suami pulang malam. Padahal sebelumnya biasa aja dia muncul jam berapa juga.

Tiba-tiba senewen sendiri kalau si dia nge-read wa doang dan nggak nge-balas. Padahal sebelumnya kita cuek-cuek aja.

Tiba-tiba pengen ketemu as soon as possible, padahal udah taken janji LDM 3 minggu.

Ini inti tulisannya apa sih?

Hahaha.

Saya bikin rangkuman aja deh buat reminder versi saya.

Intinya... Banyak bersyukur apapun kondisi kita dan pasangan. Selama masih berdua, insya Allah itu lebih nyaman daripada nggak barengan. (Apa maksudnya ini?!)

Hahaha, saya cuma mau curhat kalau berjarak sama pasangan itu nggak enak.

Lalu, bersyukur Allah ta'ala karuniakan rasa cinta. Entah datangnya super express atau sebaliknya. Asal kita mau berusaha dan membuka hati. 

Eh, tapi, akhir-akhir ini saya malah lagi mikir gimana kalau jadinya cinta banget banget banget sama pasangan? Bingung, bingung, dah!

Udahan dulu ya, saya mau mikir lagi.

Pokoknya bersyukur jadi poin penting supaya kita bisa hidup tenang.

Soalnya nih, kalau kita banyak komplain dengan kehidupan kita yang A. Pengennya yang B aja. Terus Allah ta'ala kabulkan kehidupan B dan ternyata setelah ngejalanin, kita malah nyesel? Nyesek nggak sih kalau kita ingat-ingat kehidupan A yang dulu telah kita jalani? Balik lagi sih, mau dapat kehidupan A atau B, bersyukur! Gitu aja. (Ini nyambung nggak sih sama tulisan-tulisan di atas?)

Sekian segitu aja deh. Khawatir makin ngaco.

Semoga bermanfaat.  


Image credit: http://img05.deviantart.net

Kamis, 27 April 2017

Japanese Fusion Food di Wasabi Semarang

Bismillah.

Sudah ketiga kalinya nih nyobain makan di Wasabi Semarang. Pertama, waktu warung yang di Tembalang ini masih kecil dan belum direnovasi. Kedua, nyobain Wasabi yang di dekat pasar Bulu, sebelum Ina Swiss Jam kalau dari arah barat. Ketiga, balik lagi ke tempat yang di Tembalang yang ternyata udah lebih besar dari sebelumnya.

Kalau komentar saya soal Wasabi, cocok di lidah. Meskipun fusion, tapi nggak aneh-aneh dan sangat bisa dinikmati.

Waktu merasakan pertama kali langsung suka aja. Kedua kalinya yang nyobain cabang di dekat pasar Bulu, enaaak, suka deh kuah ramennya terutama yang miso. Cuma sayang, pas pesan ramen untuk take away, chicken ramennya agak failed karena daging ayamnya masih alot. 

Nah, pas baru kemarin nyobain menu black ramen di cabang Tembalang, failed lagi tuh karena kuah ramennya asin banget, nggak tau pake apa, tapi kok lidah saya ngerasa kaldu bubuk masak* yang kuat banget. 

Dep-Bel (Tuna Blackupeppa, Skin Salmon Maki, Crunchy Roll), Black Ramen Special

Alhamdulillah, kalau untuk sushinya nggak mengecewakan, nggak kayak yang di warung sebelah, hahaha ✌. Sushi di Wasabi top deh. Enak dan terasa fresh di lidah.

Soal harga, standar sih sebenarnya. Tergantung pilihan topping dan ikan. Kalau milihnya yang berbahan ikan salmon, jelas bakal lebih mahal. Makin komplit topping ramen atau udon makin mahal pula harganya. Kemarin saya pesan 1 menu ramen spesial, 3 menu sushi standar, 3 minuman, total bayarnya 85 ribu rupiah. Masih wajar menurut saya.

Suasana tempatnya, saya ngerasa lebih berasa di warung-warung Jepang di cabang yang dekat pasar Bulu. Kalau yang di Tembalang, lebih luas dan lega aja.

In short, kalau pengen nyobain makanan ala Jepang yang harganya nggak terlalu nguras kantong, Wasabi recommended.

Oh ya, FYI, pas saya searching di google, awal mula Wasabi terbentuk karena sang pemilik merasa khawatir sama resto-resto makanan Jepang di wilayah Semarang yang rentan nggak halal. So, insya Allah Wasabi ini dijamin halal.

Senang deh kalau tempat makan yang fusion-fusion internasional gini banyak yang halal.

Kemarin juga ngobrol sama si adek yang jadi fans berat Wasabi bahkan sebelum pindah ke Tembalang (saat itu Wasabi masih warung kecil di Ngaliyan), kata si adek, founder Wasabi sekarang ini sering banget diundang untuk ngisi acara kewirausahaan gitu.

Buat yang mau ngekepoin Wasabi lebih lanjut, bisa tengok IG nya searching aja Wasabi Semarang.

Sekian.

Minggu, 23 April 2017

Periksa Kehamilan di Lampung Tengah

Bismillah.

Wah, kayaknya blog ini udah bulukan banget ya. Lama kali nggak diupdate.
Yah, begini ini ritmenya orang yang hidup ngandelin mood. Padahal ada ide dan kesempatan, tapi ampun-ampunan malesnya kalau nggak ada mood.

Biidznillah, kira-kira sebulan setelah menikah dan ikut suami ke Lampung Tengah, Alhamdulillah dikasih amanah untuk mengandung seorang bayi.

Sebagai perantau yang masih newbie soal dunia kehamilan, salah satu yang bisa diandalkan adalah googling. Apalagi perantau yang cuma berdua sama suami dan nggak ada saudara di sekitar yang bisa dijadikan tempat bertanya. Eh, ada sih, ibu-ibu sekelompok pengajian. Tapi, beberapa dari mereka merekomendasikan dokter Spog pria yang sudah senior gitu di Lampung Tengah ini. Sedangkan saya awalnya prefer cari dokter wanita apapun yang terjadi.

Jadilah di pemeriksaan kehamilan trimester pertama, berdasarkan rekomendasi teman suami, saya periksa jauh-jauh ke Bandar Lampung sana. FYI, perjalanan Lampung Tengah ke Bandar Lampung ditempuh dalam waktu sekitar 2 jam dengan jalanan yang kadang bagus, tapi lebih banyak jalan jeleknya.

Saya periksa ke Dr. Fonda Octarianingsih, Sp. OG di Apotik Barokah Medika Jl. Teuku Cik Ditiro No. C 23 Langkapura-Kemiling, Bandar Lampung. Nggak susah kok kalau mengandalkan G-Map atau Waze. No. HP yang bisa dihubungi 081271781614 atau 085267572311. Saya datang sekitar pukul 8 lebih di hari sabtu dan antriannya sudah cukup panjang. Dokternya baru tiba sekitar pukul 9 lebih kalau saya nggak salah ingat. Saya pikir saya baru dapat giliran periksa jam 12 lebih, tapi, ternyata dokter memeriksa pasien dengan sangat cepat. Tiap pasien hanya di dalam ruang periksa selama 5-10 menit. Jadi, saya dapat giliran periksa sekitar pukul 10. In short, saya puas periksa di sini, karena bersih, alat USG terlihat jelas, penjelasan dokter cukup jelas dan to the point. Bener aja dong, saya diperiksa nggak lebih dari 10 menit. Karena masih awal kehamilan, jadi saya nggak banyak nanya. Saya dengerin apa kata dokternya aja dan Alhamdulillah semua dalam keadaan baik. Soal biaya, karena saya belum punya BPJS atau asuransi kesehatan lainnya, jadi saya pakai umum. Pemeriksaan dokter, USG, dan cetak foto USG plus buku rekam medis yang ada panduan senam hamil, de el el, total biaya hanya 150 ribu. Kalau kata saya sih, Alhamdulillah nggak mahal. Biaya tersebut belum dengan tebus vitamin, karena di klinik dr. Fonda memang nggak ada apotik, jadi saya tebus obat di luar yang saya nggak ingat total harganya.

Sebenarnya, kalau googling dokter Spog yang recommended di Bandar Lampung akan keluar cukup banyak reviewnya. Tapi, sayang, kalau untuk dokter Spog di Lampung Tengah jarang sekali yang mereview. Jadi, pemeriksaan berikutnya, karena saya nggak mau ribet harus ke Bandar Lampung lagi, bismillah aja deh, saya coba di dokter Spog yang ada di dekat rumah.

Kenapa saya nggak coba periksa ke bidan?

Ada dua alasan sih sebenarnya. Pertama, saya ngerasa lebih secure kalau periksa dengan dokter di rumah sakit. Kedua, untuk berhemat, karena saya sudah dapat fasilitas asuransi kesehatan dari kantor suami.

Pemeriksaan kedua, saya periksa dengan dr. Vonny di RS Islam Asy Syifa Bandarjaya, Lampung Tengah. Tadinya saya sudah mengurus rujukan segala macam supaya bisa pakai asuransi kesehatan, tetapi karena ternyata MoU rumah sakit dengan asuransi kesehatan yang saya pakai belum diperbarui, jadilah batal rujukan segala macam itu dipakai. Akhirnya saya periksa sebagai pasien umum. Di meja registrasi oleh adminnya saya ditawari untuk USG 4D karena sedang ada promo hingga setengah harga. Kalau nggak salah ingat hanya bayar sekitar 200-300 ribu saja. Sebenarnya saya nggak terlalu tertarik, karena saya agak ngeri dengan alatnya yang ternyata saya salah paham dan keliru dengan USG Transvaginal dan alasan lainnya karena saya ingat pernah baca review kalau USG 4D itu lebih bagus terlihat hasilnya saat usia kehamilan 6 bulan ke atas. Sedangkan saat itu usia kehamilan saya baru sekitar 3 bulan. Berbeda dengan pemeriksaan sebelumnya, segala rekam medis disimpan oleh pihak rumah sakit. Jadi, saya pulang bawa foto hasil USG 4D yang menurut keterangan dokter Alhamdulillah semua dalam keadaan baik. Benar saja, dokter baru merekomendasikan untuk USG 4D lagi kalau usia kehamilan sudah 6 atau 7 bulan. Meskipun saya mengantri cukup lama untuk bisa periksa dengan dokter Vonny, karena saya mengantri dari pukul 14 dan baru diperiksa sekitar hampir pukul 17, tapi saya cukup puas. Dokter Vonny bukan tipe dokter yang dengan cepat meresepkan obat ketika saya menyampaikan keluhan. Misalnya, ketika saya mengeluhkan sering nyeri ulu hati dan seperti terasa heartburn, beliau menyarankan untuk makan sedikit-sedikit saja, tetapi sering. Malah yang bikin saya kurang nyaman sebenarnya suasana rumah sakitnya. Total biaya pemeriksaan sekitar 400-500 ribu. Itu belum dengan tebus vitamin.

Pemeriksaan ketiga dan selanjutnya saya periksa di RS. Yukum Medical Centre (YMC). Ada dua dokter Spog disana dan keduanya pria. Saya biasa periksa dengan dr. Hi. Indrawan Yahya, Sp. OG. Satu lagi dokter yang juga berpraktek di YMC adalah dr. I Gede Made Bagianta, Sp. OG.

Jadwal dr. Indrawan ada di hari Senin-Rabu, dan Jum’at mulai pukul 16. Sistem di YMC kita harus mendaftar dulu di pagi harinya hingga sekitar siang hari, karena jumlah pasien dibatasi. Kalau tidak salah setiap jadwal dokter hanya untuk 15-20 pasien. Saat awal periksa saya pernah tidak daftar dulu di pagi harinya dan saya baru tiba di RS sekitar pukul 16. Saya bisa dapat antrian mungkin karena saat itu antrian pasien belum penuh. Tapi, di lain waktu, saya pernah baru daftar pukul 13 dan saya dapat antrian terakhir dan baru beres pemeriksaan pukul 21. Tapi, saat itu ada faktor X sih, karena dr. Indrawan belum selesai operasi SC (Sectio Caesaria) di rumah sakit yang lain dan dating ke YMC sangat terlambat. Pendaftaran juga bisa lewat telepon di nomor 08154002744 atau 085279313375. Kalau tidak salah dibuka mulai pukul 9. Saya pernah telepon pukul 09.06 WIB dan saya dapat antrian ke-6.

In short, pemeriksaan dengan dr. Indrawan Alhamdulillah baik-baik saja. Beliau adalah tipe dokter yang sebenarnya ramah meskipun menurut saya cukup irit bicara. Tapi, silakan saja kita yang banyak bertanya karena beliau akan memberikan penjelasan. Kalau menurut suami sih suara beliau cukup pelan, jadi kadang kita kurang bisa menangkap. Masih menurut suami, pemeriksaan dengan dr. Indrawan terhitung cepat kalau nggak dibilang terkesan terburu-buru.
Saat pemeriksaan dengan dr. Indrawan ini saya tahu kalau ternyata Hb (Hemoglobin) saya rendah banget. Hanya 7.0. Padahal untuk ibu hamil normal paling minimal 10-11. Pemeriksaan ini saya lakukan di usia kehamilan kalau tidak salah 5 atau 6 bulan, atas usulan saya. Jadi, saya yang minta untuk dilakukan cek Hb, glukosa, dan lain-lain. Kalau dokter memang nggak menyuruh untuk cek dan uji laboratorium segala macam, nggak ada salahnya kita yang mengusulkan. Paling-paling hanya ditanya balik, apa keluhan kita. Saat itu memang saya merasa sering lemas, pusing, pokoknya gejala anemia deh.

Pemeriksaan dengan dr. Gede hanya sekali saja, karena saat saya ingin periksa dengan dr. Indrawan ternyata beliau sedang cuti, sedangkan saya butuh periksa untuk bisa dapat surat izin melakukan penerbangan.

Nah, dr. Gede ini termasuk dokter spesialis kandungan senior di Lampung Tengah. Kalau bertanya pada orang Lampung Tengah siapa dokter kandungan yang recommended biasanya nama beliau yang tersebut. Beliau juga punya rumah sakit sendiri, RSIA Puri apa gitu, saya agak lupa namanya, bisa disearching di google.

Periksa dengan dr. Gede menyenangkan juga sih. Mungkin karena beliau dokter senior. Beliau nggak segan untuk mengajak ngobrol, pemeriksaan pun dilakukan perlahan-lahan alias sama sekali nggak buru-buru. Kita banyak bertanya pun nggak apa-apa sepertinya.

Hanya kekurangan pemeriksaan di RS YMC adalah USG yang kurang sip. Menurut saya karena layarnya aja sih yang terlalu kecil dan kurang jelas. Terus yang lain adalah kebersihan toilet. Bikin males ke toilet karena nggak bersih dan smelly.

Biaya pemeriksaan di YMC saya kurang tahu, karena selama ini saya periksa sebagai peserta asuransi kesehatan dari perusahaan suami. Kalau bayar pun itu hanya tebus vitamin yang nggak tercover sekitar 150-200 ribu untuk 2 macam vitamin selama sebulan.

Semoga bermanfaat.