SOCIAL MEDIA

Rabu, 28 Februari 2018

SM, Later When We Apart

Salah satu member SM (Shalihah Motherhood) di awal pekan ini berpamitan, menuju negeri Madinah. Maafin, kalau saya gagal fokus karena malah pengen banget ikutan tinggal di Madinah.

Saya belum mengenal beliau sama sekali, kenapa beliau pindah ke Madinah pun, saya ketahui sekilas karena obrolan member-member yang lain.

Hanya saja, meski saya belum mengenal beliau, bahkan bertemu wajah saja belum pernah, nama lengkapnya pun belum tahu, ada rasa haru yang menelusup di dada. 

Entah mengapa.

Haru karena beliau akan meninggalkan Indonesia?

Mungkin.

Atau haru karena judulnya perpisahan?

Mungkin juga.

Perpisahan memang efek sendunya besar sekali.

Berpisah dengan teman, sahabat, orangtua, saudara, bagi saya memberikan efek menyedihkan yang lumayan dalam. Bukan saat kita nganterin ke stasiun kereta atau bandara atau kalau berpisahnya karena meninggal saat mereka diturunkan ke liang lahat.

Buat saya, momen paling menyedihkan dari perpisahan adalah saat kita merindukan mereka.

Rindu, kangen, tapi kita enggak bisa bertemu wajah dengan mereka.

Aduh, kudet amat saya ini. Zaman now mah rindu bisa diakalin dengan telepon atau video call. 

Lagi-lagi buat saya, setelah telepon atau video call itu malah bikin tambah kangen!

Jadi, dulu pas LDM (Long Distance Marriage) karena persiapan melahirkan, sering banget enggak angkat telepon atau video call pak suami gara-gara malah pengen nangis kalau ditelepon begitu.

Tapi, beda persepsi sama pak suami. Kalau saya enggak angkat teleponnya, dikira malah saya enggak kangen dan itu bikin dia bete. 

Lah daripada saya ditelepon terus nangis-nangis karena kangen, mendingan saya enggak angkat telepon sekalian, kan? Pikir saya waktu itu.

Tapi, pas LDM itu memang ujung-ujungnya kalau saya kangen, saya nangis aja sih.

Galau banget kan? Ditelepon nangis, enggak angkat telepon juga akhirnya nangis. Intinya mah kayaknya saya pengen nangis aja kali.

Pun sekarang, sering ditelepon orangtua yang tinggal di seberang pulau, beres telepon malah makin sering ngajak mudik pak suami. Bikin pusing!

Jadi, harus gimana kalau kangen?

Kata saya sih, nikmatin aja.

Kalau kangen terus nangis, dinikmatin. Kalau kangen, bikin semangat karena ada harapan suatu hari nanti akan bertemu lagi (insya Allah), dinikmatin juga.

Nikmati saja lah rasa rindu dan tangis itu.

Balik lagi soal perpisahan member SM (ngaku deh kalau ini nulisnya kemana-mana).

Saya jadi terpikir, ini SM akan berlangsung sampai kapan, ya?

Ada masa expirednya?

Akankah saya tergoda untuk left?

Atau saya bakal kena kicked?

Allahu a'lam.

Apapun itu, kalau nanti saatnya saya berpisah dengan member-member SM, semoga kita bisa saling sapa dan senyum di surga-Nya kelak. Aamiin.

Sekian

~~~


#SMwritingchallenge
#memberONLY
#syukuranSM
#SM4.0

#ONEDAYONEPOST
#ODOPBATCH5




Ps.
Ingin mengenal SM lebih jauh?


Image credit: Pinterest

Selasa, 27 Februari 2018

Pemaksaan Orang-Orang Terhadap Kita

Ada enggak sih orang yang suka dipaksa-paksa? Kayaknya enggak ada, ya. Kalau ada pasti jarang. Mungkin orang yang suka dipaksa-paksa itu saking enggak tau arahnya, makanya iya-iya aja. Atau untuk kasus saya, saking enggak enak sama orang atau pekewuh.

Kayak kejadian yang saya alami beberapa hari lalu.

Ceritanya saya lagi beli sandal jepit di warung sebelah rumah. Milih-milih lah saya, sandal jepit merk kebanggan Indonesia. Lalu terjadilah percakapan berikut ini,

"Nomer sandalnya berapa, mbak?" Tanya bapak pemilik warung.

"Berapa ya, pak. Kayaknya sih kemarin beli nomer 10," jawab saya.

Bapak pemilik warung mengambilkan sandal nomer 10 sambil terheran-heran.

"Masa' sih, mbak, nomer 10?" 

Bapak pemilik warung kayak yang enggak percaya kaki saya sepanjang itu.

"Coba dulu deh, mbak," bapaknya mengangsurkan sandal jepit yang masih dibungkus plastik.

Saya disuruh nyobain sandalnya, tapi enggak dibuka plastik pembungkusnya, jadi cuma asal ditemplok aja.

Akhirnya, saya cobain lah dan buat saya itu pas.

"Aduh, mbak, kebesaran itu. Enggak nomer 10 lah buat kakinya mbak." Bapaknya mencari-cari sandal yang lain di tumpukan.

"Biasanya saya pake emang ukuran segini kok, pak,"

"Ah, tapi, itu kebesaran, mbak,"

"Oh iya, ya, pak. Enggak apa-apa, tapi, pak. Soalnya biasanya sandal jepitnya gantian juga sama suami." Kata saya. Maksudnya supaya transaksi segera selesai. Alasan sebenarnya sih bukan cuma karena itu.

"Ah, masa' sandal jepit aja gantian sih, mbak,"

Saya cuma nyengir mendengar komentar bapaknya.

Akhirnya, saya pulang membawa sandal jepit ukuran 9,5 pilihan bapaknya. Dan…

Kekecilan!

FYI, kaki saya emang panjang, saudara-saudara. Jadi, kalau ngejudge bentuk kaki berdasarkan kondisi fisik keseluruhan, orang-orang pasti salah nebak ukuran sepatu atau sandal saya.

Pun pak suami. Beliau pernah salah langkah ngebeliin saya sepatu sandal yang malah kekecilan karena enggak percaya size sepatu saya sebesar itu. Tapi, enggak apa-apa, pak suami akhirnya mengerti. Kalau pak pemilik warung sebelah mungkin baru akan mengerti kalau saya beli sandal jepit lagi dan bilang kalau sandal jepit yang sebelumnya kekecilan.

Nah, inti tulisan saya sebenarnya, bukan tentang sandal jepit, bukan tentang belanja di warung sebelah, bukan juga tentang ukuran kaki saya.

Melainkan, seperti judul tulisan, kadang, atau seringkali, kita tanpa sadar tunduk pada pemaksaan orang-orang pada kita. Padahal jelas-jelas, kita lah yang tahu siapa diri kita, apa yang kita mau, apa yang kita tuju. Kita akhirnya tunduk, either karena kita terlau takut menolak saran orang lain, or kita nya yang memang belum kuat pendirian. Saya bukannya anti saran dan kritik. Hanya saja, ada hal-hal yang memang pas dilakukan sesuai kacamata kita saja, ada hal lain yang memang butuh pandangan orang lain untuk pertimbangan. Kita lah yang tahu, mana untuk yang mana, apa untuk yang apa. Maka, supaya tidak mudah terombang-ambing, jangan berhenti untuk mengenal diri kita sendiri.

Allahu a'lam.




#ODOPbatch5
#ONEDAYONEPOST 

Di Dekat Bencana

Mungkin menjadi suatu hal yang wajar bila merasa takut akan kabar terjadinya sebuah bencana. Seperti hari kemarin di daerah tempat tinggal saya, Lampung Tengah. Hujan yang tidak berhenti mengguyur sejak Ahad (25/02) malam hingga Senin (26/02) menyebabkan banjir di beberapa desa. Hujan turun hingga senin pagi, bahkan masih gerimis di siang harinya.

Menurut kabar yang beredar di grup-grup Whatsapp yang saya ikuti, sudah ada korban jiwa akibat hujan deras yang turun semalam suntuk. Penyebabnya korban terseret aliran air saat hendak menyelamatkan diri dari banjir.

Bila memikirkan lalu membayangkan hal seperti itu terjadi pada saya dan keluarga, tentu saya akan merasa sangat panik. Panik kemudian takut. Takut terkena bencana, takut kehilangan orang tercinta, takut mati.

Takut yang semacam itu wajar atau tidak?

Tergantung bagaimana kita mengelolanya.

Saya kutip dari materi Halaqah Silsilah Ilmiyyah (HSI) ustadz Abdullah Roy, takut kepada Allah yang dibenarkan adalah takut yang membawa pelakunya untuk merendahkan diri dihadapan Allah, mengagungkanNya, dan membawanya untuk menjauhi laranganNya dan melaksanakan perintahNya. Bukan takut berlebihan yang membawa kepada keputusasaan terhadap rahmat Allah dan bukan takut yang terlalu tipis yang tidak membawa pemiliknya kepada ketaatan. Takut seperti ini adalah ibadah.

Nah, seperti itulah takut yang seharusnya kita rasakan, mendorong pada makin taat-Nya kita pada perintah Allah swt.

Saya pernah merasakan takut yang sangat yang malah membuat saya kehilangan harapan. Merasa seolah-olah tidak ada gunanya lagi saking takutnya, lalu saya merasa tidak ingin berbuat apa-apa.

Saat sharing dengan pak suami beliau pun menasihati kalau yang saya lakukan itu salah.

Ikhtiar wajib kita lakukan, meskipun takut, khawatir, dan lain-lain. Kalau pun nanti yang kita takutkan terjadi, selayaknya orang beriman, seharusnya kita bisa ikhlas dan mengambil hikmah dari kejadian tersebut.

Pun soal kematian.

Mau kita membangun benteng sekokoh apapun atau mengurung diri dan menghindar sedemikian rupa, jemputan kematian tidak akan terlambat.

So, saya berharap untuk diri saya sendiri, tidak lagi terburu-buru merasa takut akan sesuatu termasuk bencana, melainkan makin giat menggali hikmah.

Hidup di dunia ini singkat, tapi rumit, makin berat kalau kita jadikan penyebab stres (ngomong di depan kaca).

Allahu a'lam.




#ODOPBATCH5
#ONEDAYONEPOST

Senin, 26 Februari 2018

Tentang Nonton Bioskop

Nonton bioskop menjadi salah satu kegiatan favorit saya sejak dulu. Bikin kangen banget pas sekarang sudah jadi ibu-ibu. Sayangnya, harus pikir panjang kali lebar untuk saat ini kalau mau nonton bioskop. Soalnya ada anak bayi yang harus dipikirin. Kan enggak mungkin anak bayi itu saya tinggalin?

Bisa sih, sebenarnya kalau mau nitip ke pak suami barang dua jam. Tapi, kayaknya pak suami enggak akan mau. Beliau termasuk suami aliran, istri boleh me time, tapi sama anak dan suami. Kayaknya mustahil saya dibolehin nonton bioskop sendirian. Pasti langsung diceramahin, "Kamu itu bukan single lagi, bla, bla, bla,"

Balik lagi ke topik nonton bioskop. Ada niatan sih buat ngajak anak bayi masuk ke gedung bioskop, terus nonton bareng. Tapi, kok kayaknya enggak ada film yang saya pengenin yang layak ditonton anak bayi. Semua genre film yang pengen saya tonton antara yang jedar jedor film aksi atau fantasi yang efek suaranya kayaknya dahsyat.

Alasan berikutnya, kalau kata bunda dokter di komunitas gendong, kurang direkomendasikan karena suara bising di bioskop dan kelembapan ruangannya.

Alasan yang paling bikin saya mundur teratur ada dua. Pertama, malas ribet kalau pas anak bayi nangis. Sebenarnya, gampang sih tinggal disodorin mimik, tapi, kalau pas lagi moody dan harus diayun-ayun, kayaknya saya bakalan keluar gedung bioskop, dan akhirnya batal nonton.

Kedua, mahal. Soalnya saya cuma bisa jalan-jalan ke mall yang ada bioskopnya di akhir pekan. Maklum, pak suami karyawan senin-jumat. Tahu sendiri, tiket nonton bioskop di sabtu-ahad itu mahal banget. Dikali dua orang aja uang tiketnya bisa dapat makan enak di food court. Lumayan banget, kan?

Jadi, sampai saat hamil usia kandungan 6 bulan sampai sekarang, saya belum menyambangi gedung bioskop lagi. Entah bakal kapan lagi, karena kadang dongkol juga sih. Ngerasa paling hits sudah nonton film (yang dikira) paling baru karena baru dirilis. Eh, ternyata sudah berseliweran aja format bajakannya.

Saya pribadi sebenarnya pengen banget nonton bioskop sendiri. Tapi, malah jadi enggak tenang, kalau ninggalin anak dan suami.

Sekian.




#ODOPbatch5
#OneDayOnePost

Minggu, 25 Februari 2018

ODOP in Me

Salah satu hobi baru yang saya temukan sejak jadi SAHM (stay at home mom) adalah gabung ke banyak komunitas. Kebanyakan sih komunitas yang berhubungan dengan kehidupan ibu dan bayi.

Suatu saat saya menyadari bahwa saya butuh banget komunitas untuk menyalurkan hobi saya akan tulis-menulis. Terutama yang bisa memaksa saya rajin menulis.

Awalnya saya ketemu dengan akun IG @30haribercerita. Disana, alhamdulillah saya bisa lolos ngeblog via instagram selama 30 hari (meskipun beberapa kali rapel tulisan).

Eh, tak disangka saya pun ketemu dengan komunitas One Day One Post dalam perjalanan saya menjalani 30 hari bercerita. Pas pula sedang ada open batch yang baru.

Saya pun apply, deg-degan nungguin pengumuman karena telat setor syarat tulisan, bi idznillah, alhamdulillah, saya diterima.

Awalnya berat banget, sih, harus rutin nulis setiap hari (weekend pun enggak ada libur!). Apalagi pas tabrakan dengan 30 hari bercerita. Pusing kepala mikirin apa-apa lagi yang mau ditulis. Tapi, anehnya, kok ya, ada aja yang bisa ditulis ternyata.

Enggak usah ditanya deh, seberapa banyak simbol jejak (karena saya lagi-lagi ngerapel tulisan). Tapi, lagi-lagi bersyukur saya belum (semoga enggak) terdepak dari komunitas ODOP sampat saat ini.

Bukan apa-apa sih.

Jujur saja saya sudah terlalu betah di komunitas ODOP ini. Saya yang judulnya pengangguran berasa banyak acara dan sibuk karena dikejar deadline tulisan setiap hari. Itu yang dibutuhkan otak saya agar enggak mikir yang aneh-aneh, kesibukan.

Lalu, enggak sekadar setor tulisan, ODOP juga dengan baik hatinya ngadain kelas-kelas untuk meningkatkan skill menulis anggotanya. Semua ini diberikan free alias gratis. Cuma modal kuota internet dan niat (untuk bisa scroll chat di grup besar yang bisa sampai ribuan dalam sehari).

Ibarat kaum Anshar dan Muhajirin yang dipersaudarakan Rasul, di ODOP kita juga dipersaudarakan dengan teman-teman (berasa saudara) dari seluruh Indonesia dan digabungkan dalam satu grup kecil. Di grup kecil ini kita bisa saling sharing soal tulisan kita atau sekadar say hello.

Semoga ODOP makin menebar manfaat dan anggota-anggotanya makin produktif dalam karya.

Sekian.




#ODOPbatch5
#OneDayOnePost
#Milad ODOP
#HappyAnniversaryODOP

Sabtu, 24 Februari 2018

Don't Fall in Love With People We Can't Have

[Alert! Tulisan curhat]

Gara-gara liat insta story teman satu bimbingan saat skripsi dulu, jadi dapat contekan untuk bahan tulisan.

Dalem banget enggak sih, artinya, "Don't fall in love with people we can't have"

Kalau saya contohnya falling in love sama tokoh novel kali ya? Atau member boyband? Dan yang sejenisnya. LOL

Sepertinya, masalah ini sedang hits ya di dunia maya. Tapi, saya enggak terlalu mengikuti beritanya. Jadi, maafkan ya, kalau beda persepsi dengan kebanyakan.

Urusan hati siapa yang tahu?

Masing-masing kita berhak dan memang sudah fitrahnya untuk merasakan falling in love. Kapan dan dengan siapanya, tergantung. Bisa didukung faktor intensitas pertemuan atau intensitas interaksi. Macam-macam.

Buat saya, kalimat judul di atas itu membuat saya berpikir kembali soal pertimbangan sekufu saat menikah.

Artinya, pas masih single harusnya enggak menaruh hati atau simpati pada orang yang sulit untuk kita gapai atau sulit kita dekati. LOL

Meskipun, mungkin bagi sebagian orang tantangan itu menyenangkan.

Lagian, kalau Allah swt sudah berkehendak kun fayakuun. Upik abu pun bisa menikah dengan pangeran berkuda putih.

Hanya saja, ketika kita berusaha menggapai seseorang yang di luar jangkauan kita, pilihannya ada 2.

Kita semangat dan giat untuk menggapai apa yang kita inginkan, atau kita malah nyantai-nyantai sebab target terlalu tinggi dan menjadi pemakluman bila target belum tergapai.

Contohnya, ada nih yang pengen banget dapat pasangan yang hafal 30 juz al qur'an, akhirnya supaya kesampaian dapat pasangan seperti itu, dianya pun enggak kalah semangat untuk mencapai target yang sama. Masa' iya dia yang hafalannya triple Qul minta sama Allah swt didatengin yang tiap ganti rakaat, ganti juz bacaannya. Enggak pa pa sih berharap, cuma, entar disorakin disuruh ngaca. Meskipun hafalannya enggak seberapa, paling enggak, kita berproses lah mencapai target hafalan.

Kalau pilihan yang kedua, masih nyambung sama contoh kasus sebelumnya, misal dia pengen banget pasangan yang hafidz. Eh, ternyata pas orang-orang sekitar pada nawarin calon, sama sekali enggak ada yang hafidz. Terus? Sedih? Menganggap kepengenan tersebut syarat yang harus terlaksana dan memilih untuk menolak banyak tawaran calon, padahal tik tok tik tok, jatah usia semakin berkurang.

Saran untuk saya pribadi sih pandai-pandai lah bermuhasabah diri. Jadi, kita bisa mengukur diri. Pantas atau tidak, kita akan sesuatu. Libatkan Allah swt, karena yang di mata kita terbaik, belum tentu menurut-Nya, begitu pula sebaliknya.

Allahu a'lam.




#ONEDAYONEPOST
#ODOPBATCH5

Kamis, 22 Februari 2018

Into SM

Masuk dalam sebuah komunitas yang isinya ibu-ibu, tentu ada nilai positif dan negatifnya. Buat saya pribadi, positifnya adalah rasa bahagia. Negatifnya, riskan slek alias selisih hati atau pendapat.

Bahagia dan bersyukur bisa gabung di Shalihah Motherhood (SM). Rasa yang wajar dialami ibu yang sehari-hari di rumah saja seperti saya. Di SM saya mendapat teman ngobrol. Tahu sendiri, ibu-ibu dan ngobrol itu sudah seperti tahu dan petis asli Semarang yang enggak enak kalau dipisahkan.

Ngobrol di SM itu semua berfaedah. Mulai dari bahas yang serius, seperti ngobrolin kesehatan anak, masalah keluarga, de el el yang sejenis, sampai bahas hal receh, tapi menghibur hati dan mungkin bikin beberapa orang ber-o-o ria.

Nggak ada obrolan yang enggak berfaedah di SM, karena obrolan yang saya bilang receh tadi pun pasti ada hikmahnya. Misal, bikin lega yang memulai dan terlibat obrolan, juga bikin terhibur member yang menyimak saja.

Yep, ini penting banget buat ibu (kayak saya) yang butuh hiburan, tapi enggak bisa kemana-mana.

Negatifnya yang saya bilang slek hati atau pendapat, sebenarnya belum saya alami di SM. Soalnya saya gabung di SM baru hitungan hari.nggak dibuka beberapa jam saja, chat di SM bisa nembus ratusan. Sejauh ini saya masih jadi penyimak dan pengamat.

Saya bisa menyebut (kemungkinan) hal negatif yang akan muncul di SM dari pengalaman selama bergabung di grup yang isinya ibu-ibu semua.

Tahu sendiri, ibu yang satu dan ibu yang lain pasti punya cara yang berbeda-beda dalam bersikap dan menyikapi sesuatu. Kalau masa-masanya PMS (PreMenstrual Syndrome) atau memang lagi banyak pikiran atau sebab sejenis, dipantik obrolan sensitif sedikit saja mungkin bisa menyebabkan slek.

Saya berhusnudhon, semoga tidak terjadi masalah seperti itu di SM. Tapi, yang namanya ibu-ibu, buat saya, masalah seperti itu bisa dimaklumi. Enggak usah soal obrolan, chat yang banyak dan muncul terus notifikasinya mungkin bisa bikin 'tanduk' muncul.

Aduh, saya berimajinasi dan ber-dzon terlalu jauh sepertinya.

Sebagai newbie, member baru, dan plegmatis sejati, saya berharap grup aman, damai, tenang. Heboh-hebohnya yang positif-positif saja lah. Seperti sore ini saja, saya ketawa-ketiwi membaca chat mbak Icha (owner @mamalova.books) yang kepedesan makan ceker neng jebret.

Simpel banget kan hiburan ala saya?

Saya berharap SM enggak hanya membawa manfaat untuk 150an membernya di dalam grup Whatsapp saja. Tetapi, juga membawa lebih banyak manfaat untuk ibu-ibu di seluruh penjuru tanah air. Utopis? Mungkin, tapi biar saja.

Utamanya semoga SM bisa membantu masalah paling hits yang dialami banyak ibu zaman now, yaitu masalah BB (Baby Blues) dan PPD (PostPartum Depression/Depresi Pasca Persalinan). Masalah para ibu yang diam-diam mematikan.

Membaca beberapa tulisan member SM yang lain, saya pikir SM menjadi wadah yang pas. Calon Ibu mendapat bekal ilmu, mulai dari yang sifatnya ilmiah sampai yang bentuknya sharing tentang seluk beluk per-hamil-an, melahirkan, dan pasca melahirkan.

Mengalami hal yang baru, panik, bertanya-tanya, lalu bisa sharing dengan orang yang mengalami hal yang sama menjadi sesuatu yang sangat melegakan.

Semoga kebahagiaan dan kelegaan yang saya rasakan juga bisa dirasakan ibu-ibu yang lain.

Mommies yang sedang gundah gulana, dirimu enggak sendiri kok. Mommies yang lain pun pernah merasakan hal yang sama. Tentu saja saya termasuk di dalamnya.

Sekian.

~~~



#SMwritingchallenge
#memberONLY
#syukuranSM
#SM4.0


#ONEDAYONEPOST
#ODOPBATCH5


Ps.
Ingin mengenal SM lebih jauh?


Image credit: Pinterest dari Instagram seseorang

Mengecilkan Masalah

[Alert! Tulisan curhat]

Dulu saya orang yang sangat cuek. Enggak terlalu peduli apa kata orang. Baik tingkah laku, fashion style, lifestyle, pemikiran, suka-suka saya. Bukan berarti saya jadi hidup tanpa aturan karena sesuka-sukanya.

Saya melakukan apapun sesuai prinsip saya yang penting tidak melanggar aturan Islam dan tidak menzalimi orang lain.

Contohnya, saya senang dan hobi sekali keluar rumah untuk waktu yang singkat dengan pakaian super simpel, kaos rumah dirangkap jaket, rok jeans, kerudung bergo. Sejak baligh bahkan sampai sekarang itu adalah outfit kesukaan. Pikir saya buat apa ribet-ribet kalau keluarnya hanya sebentar.

Sayangnya, saya pernah kena tegur gara-gara outfit. Dikatain gembel banget lah dan segala-gala macam. Beberapa juga bilang sayang enggak memperhatikan estetika seorang muslimah.

Aduh, ribet amat ya.

Pakaian saya karena mempertahankan kebiasaan lama seringnya pakai warna netral, jadi memancing kekesalan seseorang karena pakaian milik saya yang sama sekali enggak indah alias kelabu.

Sebenarnya saya enggak mau terlalu menggubris. Tapi, akhirnya memerah juga kuping saya mendengar kritikan-kritikan itu.

Akhirnya, untuk melegakan hati, saya pun melenyapkan beberapa pakaian yang menurut kebanyakan orang 'gembel' itu, lalu mempermak pakaian-pakaian saya sesuai selera orang normal. Paling enggak bikin mata orang enggak melirik gara-gara dianggap udah biasa alias mainstream, bukan enggak dilirik karena menyakiti mata.

Memang susah sih, melakukan sesuatu yang bukan 'kita' banget. Apalagi inisiasinya orang lain dan berupa perintah.

Aduh, kalau saya yang dulu, pasti sebodo teuing dah!

Tapi, masalahnya kadang kita terlalu sibuk dengan dunia kita sendiri hingga enggak mempedulikan apa pandangan orang. Kayak begini ada baik dan buruknya masing-masing untuk diturutin.

Kasus saya, kalau enggak diturutin jatuhnya bisa zalim pada orang lain.

Saya memang merasa sangat berat untuk berubah. Tapi, kalau tidak mau berubah, masalah nanti jadi berbuntut panjang.

Urusan kita di dunia untuk bekal akhirat masih sangat banyak. Jadi, sesekali menilik kembali kenyamanan dunia kita untuk kebaikan orang lain, sepertinya enggak salah. Enggak perlu membesar-besarkan masalah karena masalah yang singkat saja sudah bikin kepala nyut-nyutan.

~~~

Ps. Maafkeun ribet banget nyebut enggak dan tidak…



#ODOPBATCH5
#ONEDAYONEPOST


Selasa, 20 Februari 2018

Sampai Hati

Langkah kaki wanita muda itu perlahan, tapi mantap. Ia tutup pintu rumahnya rapat, lalu berjalan keluar gerbang.

Ini saatnya. Tidak usah banyak pikir lagi. Kesempatan terbuka lebar saat bayinya sudah tidur lelap dan suaminya sedang berada di kamar mandi.

Wanita itu tidak bingung sama sekali saat sudah berada di jalanan kompleks perumahannya. Tujuan perjalanan dan rute yang akan ditempuhnya jelas terbayang secerah langit di pagi ini.

Segala skenario tentang yang akan dilakukannya hari ini sudah dipikirkan matang-matang.

Bus yang akan ia naiki sudah terlihat moncongnya saat ia menyeberang jalan. Tepat sesuai perkiraan.

Ia menaiki bus yang masih lega, lalu memilih tempat duduk tak jauh dari supir dan di dekat jendela.

Mata wanita itu bergerak mengikuti pemandangan di jalanan yang sudah sering ia lewati. Paling tidak sebulan sekali ia dan suami serta bayinya melewatinya menuju pusat kota. Jalan lintas provinsi yang masih menyajikan pemandangan kebun-kebun dan rumah-rumah khas warga lokal.

Ia menghirup udara di dalam bus puas-puas. Rasanya berbeda. Ini terasa seperti aroma kebebasan yang nyata.

Wanita muda itu melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Hadiah ulang tahun pertama dari suaminya semenjak mereka menikah. Mungkin sekarang suaminya sedang membersamai bayinya dengan sedikit kebingungan.

Ya, hanya sedikit. Sebab suaminya tahu benar alasan istrinya pergi dan bukan tanpa berpamitan.

Wanita yang baru sepuluh bulan lalu melahirkan bayinya itu tidak perlu khawatir soal buah hatinya. Di waktu pagi bayinya akan tertidur lumayan lama. Mungkin sekitar dua hingga tiga jam.

Ia pun berusaha menikmati perjalanan yang menyisakan tiga puluh menit berselang. Tanpa tersadar, ia pun tertidur.

Ya, tertidur karena kelelahan.

Bagaimana tidak? Aktivitasnya seharian di rumah tidak kalah dengan para lelaki yang bekerja. Malah mungkin lebih padat dan menyita tenaga serta pikiran luar biasa. Saat suaminya pulang dari bekerja, ia tak lantas bisa istirahat seperti yang biasa dilakukan lelaki kebanyakan saat pulang ke rumah.

Ia harus melanjutkan merapikan rumah yang berserakan dengan aneka rupa mainan dan buku anak. Lalu ia harus menyiapkan makan malam. Setelah itu ia bersiap menidurkan bayinya dan menemaninya tidur. Apa lantas ia bisa beristirahat setelah itu?

Belum.

Ia masih harus membereskan cucian piring yang tidak sempat ia cuci seharian. Lalu ia harus memikirkan dan menyiapkan menu untuk esok hari agar di pagi hari ia tidak terlalu terburu-buru, karena harus menyiapkan keperluan suaminya yang akan pergi ke kantor.

Setelah itu ia baru bisa bernapas tenang. Mungkin saat itu sudah hampir tengah malam.

"Mbak, bangun, mbak," satu suara membangunkannya dari tidur.

Ia sedikit tergelagap. Berusaha mengenali tempat di sekitarnya.

"Mau turun dimana? Sebentar lagi sudah masuk terminal." Lanjut pemilik suara tadi, si kondektur bus.

"Oh, iya, pak." Sahutnya.

Terminal ini memang menjadi tujuannya.

Tidak menunggu lama setelah turun dari bus, ia sudah bisa mengenali sahabat lamanya dengan sepeda motor tua.

Ia bergegas menghampiri sahabatnya itu. Saat bertemu pandang, mereka sama-sama diserang rasa haru, lalu berpelukan lama.

Mereka berdua tak mau menyia-nyiakan waktu lebih lama di terminal. Sepeda motor itu lalu melaju, menuju sebuah kampus yang tidak jauh dari terminal.

Jantungnya tiba-tiba berdegup lebih cepat. Berdebar seperti orang yang akan segera bertemu kekasih yang lama tidak dijumpainya.

Melewati pepohonan tinggi yang terjaga rapi, sungguh khas kampusnya. Sedari dulu sampai sekarang aroma jalanan ini masih sama.

"Kita mau ke tempat biasa?" Tanya sang pengemudi sepeda motor.

"Iya, iya," sahutan dari sang penumpang terdengar penuh semangat.

Sepeda motor itu melaju dengan kecepatan stabil. Seperti sengaja memanjakan penumpangnya untuk menikmati perjalanan.

Sesampainya di tempat tujuan, wanita muda itu merasa bahagia bukan kepalang.

~~~

Matahari sore menyilaukan pandangan wanita muda yang sedang menikmati perjalanan pulangnya. Tapi, tak mengapa. Kilauan matahari sore itu menghangatkan hati. Menambah kebungahan yang membuatnya ingin selalu tersenyum.

Tidak lama kemudian ia sampai kembali di jalanan kompleks perumahan yang sangat familier.

Hanya butuh berjalan lima menit, ia akan menghadapi pintu gerbang yang sama, bayinya, dan suaminya lagi, untuk sekarang dan mungkin sepanjang hidupnya.

Langkah kaki wanita itu terhenti sesaat. Ah, momen bersenang-senang dengan para sahabat seperti ini sungguh sangat jarang ia rasakan dan akan menjadi momen langka.

Sejak menjadi ibu, hidupnya total dihabiskan di dalam rumah. Ia jenuh dan bosan. Suatu saat ia membicarakan hal ini dengan suaminya.

"Kalau aku tiba-tiba pergi dari rumah, reaksimu gimana, ay?" Tanyanya membuka obrolan.

"Kaget, panik." Jawab suaminya singkat.

"Hm, mainstream banget reaksinya." Ia bersungut-sungut.

"Emang kamu mau pergi kemana?"

Ia terdiam sebentar.

"Belum tahu sih, kalau sekarang."

"Hm, okelah, aku enggak akan kaget berarti ya, kalau nanti tiba-tiba kamu pergi,"

"Hah? Beneran?"

Suaminya tersenyum jahil. Ia bukannya baru menikah sebulan dua bulan saja. Di matanya sang istri memang masih muda, tapi istrinya itu sangat berprinsip dan taat aturan. Apa yang perlu dikhawatirkan dari istri yang sangat takut pada aturan Allah dan Rasul-Nya?

Wanita muda itu menepis pikiran-pikiran aneh yang menggoda supaya melanjutkan rencana perjalanan tunggalnya.

"Assalamu'alaikum." Ucapnya saat membuka pintu gerbang.

Tampak dihadapannya suami dan seorang bayi mungil yang juga sedang menikmati sore. Bayinya tersenyum senang saat melihat wanita muda itu dan berjingkat girang di atas kereta dorongnya.

"Wa'alaikum salam warahmatullah." Jawab suaminya dilanjutkan adegan mengelus pelan ubun-ubun wanita muda itu yang terbalut kerudung biru.

"Gimana seharian di rumah?" Tanya wanita muda itu sambil menyalakan keran di taman di dekat pintu gerbang rumahnya untuk mencuci tangan.

"Mantap!" Jawab suaminya sambil terkekeh.

"Jadi ketemu Indira tadi?" Lanjut suaminya bertanya.

"Jadi dong!" Wanita muda itu menjawab antusias.

"Indira, Atika, Hesti, Windi, Rista, Upi, semuanya dateng." Lanjutnya.

Suami wanita muda itu tertawa. Ia sudah tahu rencana kepergian sang istri karena tanggal ini direminder jelas-jelas pada gawai miliknya.

"Ah, itu semua geng ngajimu kan?"

"Iya, bener, ay. Padahal aku cuma ngabarin Indira aja. Tapi, yang lain-lain juga menyempatkan dateng. Seneng deh." Mata wanita muda itu terlihat bahagia.

Sang suami agak ketar-ketir binar bahagia itu akan sirna saat istrinya melihat keadaan rumahnya.

"Masuk dulu, yuk. Ntar aku ceritain lengkapnya." Kata wanita itu sambil mengangkat bayinya dari kereta dorong.

Ah, wangi tubuh bayinya ini selalu membuatnya rindu.

Suaminya mengekor di belakang sambil mengangkat kereta dorong.

Tangan wanita muda itu terulur hendak membuka pintu, tapi tangan suaminya terulur lebih dulu, menghalangi.

"Eit, biar aku aja." Kata suaminya sambil cengengesan.

"Kenapa?"

"Biar surprise." Jawab suaminya

~~~

Selesai.

#ONEDAYONEPOST
#ODOPBATCH5



Ps. Cerpen ini sudah dipermak dari tulisan awal atas bantuan teman-teman dan kakak-kakak Pije grup ODOP Mars. Terima kasih banyak saudara-saudaraku :) Bedah tulisannya sangat bermanfaat >.<

Senin, 19 Februari 2018

Shalihah Motherhood in a Glance

Menjadi ibu itu momen yang paling membahana dalam hidup saya. Berubah lah ritme dan irama hidup saya 180 derajat. Enggak cuma yang terlihat di mata saja, tapi juga yang hanya bisa dirasa oleh jiwa.

Contoh kecil yang sangat berubah adalah untuk memupus habis rasa ego. Kalau dulu awal menikah, memang sama pak suami harus berurusan dengan ego ini, tapi enggak sedrastis setelah punya bayi. Saat masih menjadi istri saja, kadang sering juga memperturutkan ego. Kebetulan kok pak suami itu juga tipe yang lumayan senang mengalah (kadang).

Saat sudah menjadi ibu, saya belajar melupakan keinginan diri saya. Mulai dari keinginan yang remeh temeh sampai keinginan yang langitan.

Karena apa? Tentu saja yang saya pikirkan adalah bayi saya. Makhluk mungil yang Allah amanahkan.



Suatu saat di tengah-tengah percakapan via Whatsapp di salah satu grup yang saya ikuti, saya menemukan gambar buku yang mencantumkan nama "Shalihah Motherhood".

Ah, saat melihat gambar bukunya saja langsung berdesir, serasa orang falling in love.

Ternyata itu buku karya ibu-ibu biasa yang berkarya lewat tulisan dan menjadi ibu-ibu enggak biasa.

Jujur, saya enggak tahu sama sekali awalnya Shalihah Motherhood (selanjutnya saya singkat SM) ini berisikan ibu-ibu seperti apa, yang aktivitasnya apa, latar belakangnya bagaimana. Tapi, akhirnya saya enggak jadi kepo masalah seperti itu.

Saya langsung suka sama kiprah-kiprahnya. Saya kepoin instagramnya dan sebenarnya yang paling banyak memberi info soal SM ini adalah broadcast-broadcast via Whatsapp.

SM ini seperti tahu isu apa yang lagi in di dunia ibu-ibu dan apa yang dibutuhkan ibu-ibu. Buktinya saja tema-tema kuliah Whatsapp yang diselenggarakan SM selalu berakhir dengan link yang revoked saat saya klik akibat grup chat sudah penuh. SM ini juga menjadi semacam pemantik dan penggerak untuk komunitas-komunitas per-ibu-an serupa.

Maka, saat info open recruitment SM dibuka, saya langsung menguatkan niat untuk apply. Sempat deg-degan berasa ujian apa gitu, ya, saat menunggu pengumuman. Lalu bersyukur dan bahagia saat ada nama saya di daftar pengumuman. Tuh, kan, berasa tes apaan.

Alhamdulillah, akhirnya hari ini, Senin 19 Februari 2018 saya resmi masuk ke grup Whatsapp SM sebagai member yang baru.

Ah, baru teringat kesan krusial yang saya rasakan saat mendengar SM pertama kali.

Kata Shalihah-nya sebagai nama komunitas, bikin air mata ini berderai karena teringat kekhilafan diri.

Menjadi ibu itu pekerjaan yang sama sekali tidak mudah. Betapa susahnya kita mengalahkan ego diri sampai rasanya kadang kita enggak tahan untuk meluapkan emosi.

Lalu akhirnya saya pribadi melakukan perbuatan yang sama sekali enggak 'Shalihah'. Marah-marah, menggerutu, tidak bersyukur, menuruti kemalasan, dan lain-lain.

Saya enggak bermaksud menuntut para ibu untuk menjadi sempurna.

Hanya saja, nama Shalihah itu seperti menjadi reminder bahwa menjadi ibu harusnya membuat kita semakin baik akhlaknya maupun nuraninya.

Sekian.



#SMwritingchallenge
#memberONLY
#syukuranSM
#SM4.0


#ONEDAYONEPOST
#ODOPBATCH5


Ps.
Ingin mengenal SM lebih jauh?


Image credit: Pinterest dari Instagram seseorang



Kunci Sepeda Motor

Malam belum begitu larut. Seperti biasa, ibarat hobi membaca cerpen, sebelum tidur Nai rutin membaca isi Whatsapp di gawai milik suaminya.

Sebelum semua menjadi gaduh, mohon dipahami kalau kedua belah pihak suami istri ini sama-sama ikhlas kalau tidak ada rahasia di antara gawai mereka berdua.

Salah satu percakapan grup favorit Nai adalah grup kantor suaminya. Isinya enggak melulu serius kok. Kadang ada bercandaannya juga.

Seperti percakapan berikut ini.

"Lapor, komandan! Telah hilang kunci sepeda motor x." Tulis salah satu security kantor di percakapan grup.

"Mohon perhatiannya teman-teman semua." Big boss mereka menanggapi.

Mulai ramai lah isi percakapan grup menanggapi percakapan security tadi.

"Wah, semoga tersangkanya segera ditemukan." Komentar salah satu teman suami, yang saya tahu dia ini kocaknya enggak ketulungan.

Tidak lama, security yang tadi memberikan pengumuman, kembali membuka percapakan.

"Alhamdulillah, kunci sepeda motor x sudah ditemukan." Kabarnya.

"Alhamdulillah." Balas yang lain dengan kalimat serupa.

"Mohon info siapa kah tersangkanya?" Tanya salah satu anggota grup.

"Tersangka dengan ikhlas telah mengembalikan kunci sepeda motor x ke tkp."

Membaca balasan security itu Nai terkikik-kikik.

"Wah, mulia sekali tersangka ini, ya." Sahut yang lain.

Cukup panjang tanggapan atas penemuan kunci sepeda motor ini.

"Tersangka tidak tahu kalau kunci sepeda motor x ada di saku jaketnya."

"Baik. Tersangka tolong besok tidak diulangi lagi." Balas security di bawah percakapan sebelumnya.

Sontak Nai tertawa terbahak-bahak. Sampai membangunkan suaminya yang sudah hampir terlelap.

"Apaan sih, ay?" Tanya suami Nai dengan mata menyipit karena mengantuk.

Nai masih tertawa sambil memegangi gawai milik suaminya. Tawanya lama sekali bahkan sampai menitikkan air mata.

"Hoi! Baca apa sih?" Akhirnya suami Nai mengambil gawai dari tangan Nai. Keheranan karena hanya melihat percakapan yang tadi sore pun sudah dibacanya. Apanya yang lucu?

"Itu lho, security kantor sama temen ayang di kantor lucu banget," jawab Nai.

Suami Nai mengernyitkan dahi. Lucu disebelah mananya, ya?

Nai pun kembali tertawa-tawa. Sementara suami Nai cuma bisa ikut tersenyum miris mengetahui selera humor sang istri.




#INICERITAKOMEDIKU
#ODOPBATCH5
#ONEDAYONEPOST

Long Weekend?

Akhirnya, usai sudah long weekend di bulan februari ini. FYI, setelah saya lihat di kalender, ternyata ini satu dari dua kali long weekend sampai hari lebaran nanti. Long weekend selanjutnya ada di bulan maret, tapi, sayangnya yang di bulan maret itu jatuh di akhir bulan. Alamat pak suami hari sabtu pun terpaksa lembur.

Meskipun begitu, saya tetap harus bersyukur. Pak suami long weekend begini bisa nemenin di rumah sampai tiga hari full. Enggak seperti tetangga yang mau long weekend atau tanggal merah berceceran kayak apapun, dalam seminggu tetap harus memenuhi masuk kerja selama enam hari. Wow banget, kan?

Kalau kata pak suami sih, saya lebay, karena si tetangga itu toh dapat uang lemburan karena masuk di tanggal merah. Tapi, tetap saja buat saya it's so sad karena di hari libur si istri dan anaknya harus ditinggal kerja.

Prolognya kayaknya kepanjangan.

But, anyway, masih ada kaitannya. Karena saya mau menyimpulkan rasanya long weekend setelah ada anak bayi.

Luar biasa for a wrap!

Luar biasa karena saya kok enggak ngerasa kalau ini long weekend?

Soalnya tetap saja pagi-pagi saya harus mandiin anak bayi, mikirin sarapan, cuci piring, masak, cuci baju, mandiin sore anak bayi, gendong-gendong, nemenin tidur, on repeat.

Kayaknya enggak ada aktivitas yang berkurang secara signifikan.

Jadi, long weekend terasa seperti weekday saja.

Aduh, maafkan kalau terkesan kurang bersyukur.

Sebenarnya, meskipun tugas-tugas dan aktivitas sama persis saat ditinggal suami kerja, tapi, momen suami libur di rumah sedikit banyak menimbulkan perbedaan.

Saya jadi lebih tenang saat harus meninggalkan anak bayi, misal untuk mandi atau masak di dapur. Begitu juga soal tugas nyuapin atau nemenin main. Sesekali bisa lah didelegasikan, sementara saya ngelurusin punggung sejenak.

Momen long weekend ini saya dan pak suami memutuskan enggak pergi jauh kemana-kemana. Paling jauh ke pasar dan itu sebenarnya dekat sih dari rumah, karena cuma 10 menit dari rumah.

Begitu aja saya sudah terhibur. Alhamdulillah.



#Onedayonepost
#ODOPbatch5

Sabtu, 17 Februari 2018

Integritas Para Penjual

Kemarin hari libur yang nyaman alhamdulillah. Senang sekali karena libur masak yang berat-berat.

Atau mungkin saya memang termasuk  some wives yang not born to cook, makanya girang banget saat enggak perlu masak.

Dari pagi sampai malam tiap waktu makan ketemu dengan yang punya warung makan. Ternyata ada-ada saja hal yang lucu, menggelikan, dan bikin gemas sekaligus kesal.

Bismillah, saya ceritakan satu-satu  Tapi, jangan diambil negatifnya, ya. Saya enggak bermaksud membuka aib atau yang sejenisnya.

~Pagi dengan penjual sate lontong~
Saya dan suami memutuskan sarapan dengan sate lontong, karena sudah terlalu lelah keliling pasar dan malas nyari-nyari warung makan lagi. Ketemu dengan ibu penjual sate lontong di dekat tempat parkir motor. Lumayan rame karena ada pedagang lain yang mengobrol di situ. Dua porsi sate lontong saya membayar 12 ribu. Tapi, karena si ibu penjual enggak ada uang receh, akhirnya saya mengiyakan saja saat dia menawarkan tambahan satu buah lontong sebagai ganti kembalian koin yang tidak dia punyai.

~Siang dengan penjual mie ayam Bandung~
Ini yang epik banget sih menurut saya. Saya membeli menu yang total harganya 32 ribu rupiah. Sayangnya, si ibu enggak punya kembalian meski cuma 3 ribu perak. Padahal selain warung mie ayam, ia juga punya toko plastik lengkap. Duh, agak nggak habis pikir. Kok ya ibu penjual itu nggak coba tuker uang yang saya bawa atau gimana gitu? Atau ibunya memang mager dan dipikirnya uang 3 ribu perak itu kurang penting? Saya bukannya enggak ikhlas sih, pas akhirnya nerima kembalian berupa tiga buah pangsit goreng yang bikin saya kekenyangan. Cuma kok ya kebiasaan ngasih kembalian berupa permen itu makin menjadi-jadi. Parahnya, saya cuma bisa nyengir pahit dan ngeiyain aja pas si ibu ngasih pangsit itu.

~Sore hari dengan penjual nasi uduk~
Nasi uduk di dekat rumah saya ini terkenal mahal dan enak. Biasanya supaya irit, saya beli nasi uduknya aja dan goreng lauk sendiri di rumah. Seperti sore kemarin. Sayangnya, ada kejadian lucu juga. Si ibu dan teman jualannya yang lagi nyapu warung, asyik banget ngobrolin sesuatu. Lalu si ibu nanya ke saya.
"Mbak, nyambel kan ya, di rumah?"
What? Saya pasang muka bingung, terus ngejawab, " Enggak, bu,"
"Oh ya, udah, sambelnya saya campurin sekalian ya." 
End.
Jadi, kayaknya si ibu lagi sibuk ngobrolin sesuatu dan males ngebungkusin sambel. Daripada enggak ngasih sambel, ibunya akhirnya naruh sambel sekalian sama nasinya. Padahal biasanya sambelnya itu dimasukkin di plastik terpisah.
Sampai di rumah, pas saya buka, ternyata si ibu juga lupa ngasih lalapan. Haduh!

Saya bukannya mau menjatuhkan kredibilitas penjual-penjual yang saya ceritakan di atas. Cuma saya heran aja gitu kenapa di zaman now kok kesannya penjual itu makin semena-mena pada pembeli. Apalagi ke pembeli yang suka ngeblank kayak saya. Apa karena mungkin tampang saya yang kayaknya asyik-asyik aja alias too naive?

Wallahu a'lam.




#Onedayonepost
#ODOPbatch5

Jumat, 16 Februari 2018

Menikmati Siang

Bosan benar di rumah terus begini. Batin Kania dalam hati sambil melihat ke luar jendela.

Liburan semester masih panjang akan dilaluinya, tapi hari demi hari rasanya berjalan lambat. Mungkin karena Kania tidak ada kegiatan apapun di rumah. Coba Kania sedang kejar deadline atau ada suatu proyek untuk dikerjakan, pasti waktu terasa cepat sekali berlalu.

Dilihatnya lagi cuaca di luar yang lumayan terik.

Masih lumayan sih, enggak panas banget lah. Pikir Kania.

Tidak mau berlama-lama berpikir, Kania akhirnya mengeluarkan sepeda motor matic milik adiknya.

Belum tau akan dibawa kemana motor ini, tapi Kania sudah sangat bosan di dalam rumah. Bisa habis waktu Kania untuk tidur, karena itu satu-satunya cara bagi Kania untuk mematikan kebosanan saat di rumah. Tapi, cara itu sungguh sangat tidak produktif dan bikin menyesal kemudian.

Kania melajukan motornya melewati beberapa blok di kompleks perumahannya.

Perutnya memang tidak lapar, tapi tiba-tiba dirinya ringan saja membelokkan motor ke salah satu tempat makan yang memanfaatkan garasi sebuah rumah.

Simpel, tapi eyecatching. Itu kesan pertama yang Kania dapatkan saat duduk di salah satu meja di tempat makan itu.

"Mau pesan apa, Mbak?" Seorang ibu usia 40-an tahun memberikan daftar menu pada Kania.

"Sebentar ya, bu, saya lihat dulu." Kata Kania diiringi senyum.

Ibu itu pun mempersilakan dan pergi dari meja Kania.

Mata Kania menelusuri satu per satu daftar menu dihadapannya.

Cocok banget sih siang-siang begini makan mie. Batin Kania melihat beberapa menu yang membuat perutnya keroncongan.

Tidak lama kemudian ibu-ibu tadi mencatat menu pesanan Kania dan pergi menuju gerobak mini yang bersisian dengan dapur yang konsepnya terbuka.

Kalau mau, Kania bisa sih, melihat menu pesananannya disiapkan, tapi Kania lebih tertarik pada tata ruang tempat makan ini.

Kelihatan sekali kalau ini garasi untuk 2 atau tiga mobil yang dirapikan dan dibersihkan hingga kinclong. Bangku dan kursinya pun sebenarnya simpel saja, dari bahan kayu ringan yang Kania tidak tahu apa namanya, ditata untuk 2 orang dan ada juga yang untuk 4 dan 6 orang. Jumlah mejanya tidak banyak, hanya 7 buah untuk seluruh meja besar dan kecil. Berjarak tiga meja dari Kania ada meja kasir lalu rak berisi beberapa hiasan dan pot tanaman.

Pengunjung lain selain Kania ada sekelompok ibu-ibu yang asyik mengobrol. Mangkuk-mangkuk mie tampak sudah bersih dihadapan mereka.

Memang tempat makan ini nyaman sekali untuk tempat ngobrol atau tempat menghabiskan waktu seperti yang Kania lakukan.

Ibu-ibu itu sesekali tertawa agak keras karena sesuatu yang mereka bicarakan. 

Tidak, Kania sama sekali tidak terganggu. Malah Kania senang karena menemukan sedikit keramaian.

"Silakan, mie ayam jamur pangsit rebusnya, Mbak." Ibu-ibu tadi sudah kembali membawakan pesanan Kania.

Yum, menu pesanan Kania tampak sangat menggiurkan.

Setelah berterima kasih pada ibu tadi, Kania mulai menikmati menu pesanannnya.

Wow. Enak. Bukan enak yang pakai micin, kok. Tapi, enak yang asli dari kaldu.

Ah, kalau Kania ceritakan detail khawatir tidak terlalu menggambarkan.

Intinya ini sangat enak.

Saat Kania menghabiskan isi mangkuk dihadapannya, beberapa pengunjung lain mulai berdatangan menggantikan ibu-ibu yang mengobrol tadi.

Kania sengaja berlama-lama di tempat duduknya. Menyeruput es jeruk pesanannya sedikit demi sedikit dan sesekali melihat gawai yang ia letakkan di kantung jaketnya.

Hal yang lebih asyik dari memainkan gawai adalah melihat orang dan kendaraan yang berlalu lalang di jalan tidak jauh dari tempat duduknya. Mereka bermacam-macam. Ada yang mengendarai sepeda motor dengan terburu-buru. Ada yang perlahan seperti menikmati perjalanan. Ada juga yang cepat tapi pasti karena mantap dengan tujuannya.

Akhirnya, Kania menyudahi santap menuju siangnya dengan tegukan terakhir dari gelas es jeruknya.

Ia membayar pesanannya dengan pecahan uang dua puluh ribuan yang masih menyisakan beberapa koin logam.

Sama sekali tidak mahal untuk rasa dan suasana tempat makan yang sangat nyaman. Apalagi yang utama adalah Kania tidak ketemu dengan perokok atau asap rokok yang biasanya akrab dengan tempat-tempat makan. Nilai plus tambahan untuk tempat makan tadi, karena memasang gantungan simbol dilarang merokok.

Ah, rasanya akhir pekan ini Kania akan kembali lagi ke sini.

Kania pun menyalakan mesin motornya dan hendak pulang ke rumah. Membawa perasaan tenang dan pikiran segar.

Bahagia dan melegakan itu sederhana bagi Kania. Berkeliling kompleks lalu disudahi menyantap mie ayam favorit, itu cukup.




#Onedayonepost
#ODOPbatch5

Kill your TV?

Dulu pernah lihat postingan beberapa seleb yang menyarankan kill your tv! Dulu sih setuju banget, karena isi acara tv di kebanyakan tv yang ditonton orang adalah enggak banget.

Acara dramanya enggak menghibur sama sekali. Acara anak-anaknya enggak layak tonton anak dibawah umur. Apalagi sisi mendidiknya? Kayaknya nol besar. Belum lagi berita-beritanya. Rata-rata isinya bikin yang nonton pusing dan parno duluan.

Mohon maaf ya, kalau kesannya ngata-ngatain. Tapi, memang itu yang saya rasakan.

Jadi bikin malas untuk nonton tv. Betul juga sih mending di-kill sekalian biar enggak bikin polusi mata dan pikiran.

Sayangnya, setelah beberapa lama kemudian alias sekarang-sekarang ini, menonton tv kembali menjadi hobi.

Dulu mah ada enggak ada tv enggak berpengaruh. Ada tv pun seringnya enggak ditonton. Malah mending lihat laptop daripada tv.

Lalu kenapa sekarang balik lagi doyan nonton tv?

Alasannya karena menonton tv, meskipun enggak menjadi kebutuhan primer, tapi tetap dibutuhkan.

Buat ibu-ibu di rumah kayak saya, nyalain tv pas kompleks lagi sepi dan cuma berdua sama si anak bayi, rasanya meramaikan suasana. Enggak jadi horror-horror banget gitu.

Cuma ya tetep harus disaring tontonannya.

Karena sejak punya tv, antena untuk channel lokal enggak berfungsi, jadilah pak suami memasangkan tv kabel supaya istrinya ini bisa sedikit dapat hiburan.

Sayangnya, saya jarang banget nonton tv lokal.

Enggak ada maksud apa-apa, cuma memang channel-channel tayangan luar negeri lebih menarik.

Meskipun tetap harus berhati-hati. Ada memang channel khusus untuk anak-anak. Sementara channel untuk remaja atau dewasa enggak pake sensor kayak channel lokal. Makanya, kalau ada tayangan yang ditonton bareng abege atau anak di bawah umur yang bukan tayangan anak, harus waspada dan cekatan untuk ngeganti channel kalau ada adegan yang tidak patut dilihat.

Ada beberapa alasan saya lebih senang nonton channel luar negeri.

Beberapa di antaranya karena topik tayangannya menarik dan memang dikemas menghibur.

Berita kriminal nggak melulu disiarkan membosankan lewat tayangan berita, tapi pesan untuk waspadanya bisa kita lihat di tayangan drama. 

Selain enggak bikin panik, ada unsur menghiburnya.

Soal aspek menghibur, ini nih yang paling oke menurut saya. 

Kalau tayangan tv lokal kebanyakan (berarti masih ada sedikit) hanya mempertontonkan drama saja tanpa ada value di dalamnya. 

Enggak muluk-muluk sih sebenarnya. Siapa juga kan ya yang habis nonton malah jadi mikir banget terus stres?

Nah, tayangan luar negeri ini menampilkan selain drama, ada unsur value yang mencerahkan, tapi juga menghibur.

Enggak semua kayak gitu sih.

Tetep ada juga kok tayangan yang rada 'nyampah'. Tapi, tinggal kita bijak aja dalam memilih tayangan.




#ODOPbatch5
#Onedayonepost