SOCIAL MEDIA

Senin, 05 Maret 2018

Kala Waktu Tak Sampai (3) Selesai

~~Part sebelumnya~~

"Maafkan aku," kata laki-laki itu.

Kalimat yang membuat Andini keheranan.

Semakin heran saat mendengar kelanjutan kalimat yang keluar dari mulut laki-laki itu.

~~

Laki-laki itu pada akhirnya menghilang dari pandangan Andini. Dalam waktu yang lama yang tidak sebentar. Andini terlalu takut untuk sekadar bertanya pada teman-teman laki-laki itu yang juga teman-temannya.

Perasaannya digantung.

"Sepertinya aku ingin menjalin hubungan serius denganmu," ucap laki-laki itu di sore hari saat hujan menderas.

Andini diam tak menanggapi.

Jujur saja ia bingung harus menanggapi apa. Akalnya jelas mengatakan kalau hubungan serius antara laki-laki dan perempuan adalah menikah. Lalu apa dirinya siap? Tidak sama sekali!

Dirinya baru kuliah di tingkat dua. Pernikahan adalah bahasan yang jauh sekali di ujung prioritasnya.

Life mapnya jelas. Membereskan kuliah, berkarir selama dua tahun, melanjutkan pendidikan strata dua, baru mungkin setelah itu ia akan memikirkan soal menikah.

~~

Sore hari sepulang dari kampus, tidak biasanya ibunya mengajaknya mengobrol sambil menemani Andini makan di ruang tengah.

"Nak Haqi apa kabarnya, Din? Kok enggak main-main ke rumah lagi?"

Pertanyaan yang nyaris membuat Andini tersedak sayur bayam. Tapi, tidak jadi. Mulutnya malah perlahan melumatkan sayuran hijau daun itu.

"Enggak tau, bu. Udah enggak pernah ketemu lagi di kampus." Jawabnya.

"Oh…"

"Ibu kira kalian pacaran?" Kalimat ibunya benar-benar menohok ke ulu hati.

Andini terdiam.

"Enggak, bu. Haqi temen aja kok." Jawabnya lalu berlalu menuju dapur, hendak meletakkan piring kotor.

~~

Kalau boleh jujur, Andini memang menaruh hati pada Haqi. Laki-laki itu urakan secara penampilan, tapi otaknya jernih dan bening. Meskipun pemikiran mereka sering berseberangan, tapi mereka satu visi misi.

Andini menceritakan keriuhan hatinya pada mentor pengajiannya.

Jawaban yang diperoleh Andini jelas seterang sinar mentari. Lupakan, hilangkan virus merah jambu itu kalau memang tidak ada planning menikah.

Menikah bagaimana? Kalau Haqi saja tidak pernah muncul di area pandangnya lagi.

"Haqi?" Tanya mbak mentornya.

"Iya, Haqi. Mbak kenal?"

Mbak mentornya itu mengernyitkan dahi, berpikir keras.

"Namanya seperti tidak asing."

Percakapan mereka terhenti di situ karena Andini pun akhirnya siap berdamai dengan hatinya.

~~

Pesawat yang ditumpangi Andini mendarat dengan sangat mulus. Tak ada goncangan yang memualkan maupun menegangkan perut.

Andini melihat layar gawainya.

"Sekarang menetap di Jakarta?" Tanya laki-laki di sebelahnya, Haqi.

"Iya, untuk sementara."

"Oh,"

Andini keluar bersama antrian manusia yang lain. Ia pikir Haqi akan berpamitan, tapi ia malah menjajari langkah Andini menuju gerbang pintu keluar.

"Kamu sendiri?"

"Aku transit saja di Jakarta. Besok aku lanjut penerbangan ke Singapura." Jawab laki-laki itu.

"Oh, lalu tadi di Lampung?"

Bagus sekali Andini. Tanpa tanya kabar terlebih dahulu, langsung memberondong pertanyaan macam itu.

"Mengunjungi adikku." Jawab Haqi sambil tersenyum.

"Kamu sendiri?" Laki-laki itu lanjut bertanya.

"Ada seminar yang aku hadiri."

Saat itu gawai di tangannya bergetar. Andini hendak berpamitan pada Haqi sebelum mengangkat panggilan di gawainya.

"Oh, angkat saja. Setelah ini bisa kita ngobrol lagi sebentar?"

Apa? Kening Andini berkerut.

Panggilan di gawainya belum berhenti.

"Waalaikum salam. Sudah sampai Soetta, mas. Ya, alhamdulillah. Apa? Sudah nunggu? Aduh, Dini kan bisa pulang sendiri, mas. Iya, iya, Andini ke situ sekarang. Enggak kok, enggak bawa bagasi. Oke. Ya. Waalaikum salam."

Laki-laki itu sibuk dengan gawainya saat Andini berjalan ke arahnya.

"Ki, maaf sekali. Suamiku sudah menunggu di…. " Andini menjelaskan lalu menyebutkan salah satu kedai kopi di dekat terminal kedatangan.

"Ah, kebetulan sekali. Senang bisa bertemu suamimu." Haqi menyahut antusias.

Sementara Andini kebingungan. Senang?

"Oh, oke lah." Andini mengiyakan saja padahal bingung setengah mati harus menjelaskan apa pada suaminya.

Sisi hatinya yang lain berkata, kenapa harus bingung? Haqi bukan siapa-siapa. Hanya teman lama saat di kampus dulu. Titik.

Andini dan Haqi sampai di kedai kopi saat suami Andini sedang menerima telepon di gawainya. 

Andini tersenyum yang dibalas senyuman juga oleh suaminya tanpa melepaskan gawai di tangannya.

Haqi yang mengekor di belakang Andini pun diberi senyuman hangat oleh suaminya.

Mereka saling kenal? Tanya Andini dalam hati.

Andini menuju meja konter untuk memesan cokelat panas. Sampai sedewasa ini Andini tidak cukup bersahabat dengan kopi. Haqi mengikuti, memesan kopi paling pahit yang diketahui Andini.

Suami Andini menyusul dan membayar pesanan mereka berdua yang ditolak oleh Haqi yang tidak kuasa akhirnya.

Mereka bertiga duduk semeja.

"Ini Haqi, mas. Teman Andini di kampus dulu." Kata Andini mengenalkan.

"Iqbal. Dulu satu angkatan?" Suami Andini menjabat tangan Haqi.

"Ya, satu angkatan beda jurusan beda fakultas." Jawab Haqi.

"Oh… kok sepertinya wajahnya tidak asing, ya." Iqbal berkata sambil mencoba mengingat-ingat.

"Dulu anak … juga?" Haqi menyahut menanyakan asal kampus Iqbal.

"Ya, saya angkatan … " Iqbal menyebutkan selisih beda tahun masuk universitas mereka.

"Wah, cuma beda tiga tahun. Mungkin kita pernah ketemu di kantin …" Haqi menanggapi sambil tertawa, menyebutkan kantin legendaris di kampusnya.

Sementara Iqbal dan Haqi mengobrol lebih jauh, Andini sibuk mengaduk-aduk cokelat panasnya. Pikirannya sudah lebih jernih. Mantap untuk tidak menceritakan soal Haqi lebih lanjut pada Iqbal.

Bukankah alasan teman kampus yang dulu pernah satu organisasi dan kebetulan bertemu di pesawat, lalu ingin bertanya kabar, sudah lebih dari cukup untuk akhirnya mereka bercengkrama di kedai kopi?

Takdir memang seperti ini. Ada kalanya sesuatu yang membekas di hati cukup dilupakan dan untuk diambil hikmahnya.

Pun kisah singkat Andini dan Haqi.

~~~

Selesai.





#OneDayOnePost
#ODOPbatch5

5 komentar :

  1. Takdir memang seperti ini. Ada kalanya sesuatu yang membekas di hati cukup dilupakan dan untuk diambil hikmahnya.

    Cerbungnya penuh hikmah banget Umm.
    Terimakasih ^_^

    BalasHapus
  2. Setuju sama mbak Desi, sesak bacanya~ :"

    BalasHapus