International Hospital of Indonesia lengang menurut Amika. Apalagi di ICU begini. Perawat-perawat berkerudung rapi yang lewat pun memancarkan hawa mencekam aneh yang membuat Amika merinding.
Padahal,
sedari tadi perawat-perawat itu tersenyum memberi semangat. Mungkin merasa
mengenal seseorang yang ditunggui Amika.
Baiklah,
siapa yang tidak kenal sosok muda seberkarisma Fatih Izzudin Al Biruni.
Konseptor muda dibalik pemimpin Indonesia
sekarang. Asisten paling berbakat yang membuat iri pemimpin Negara-negara lain.
Mendampingi pemimpin Indonesia,
Fatih punya andil besar membuat keadaan Indonesia yang bertahun-tahun lalu terpuruk,
menjadi berjaya kembali.
Konsep
pemerintahan baru yang diluncurkan Indonesia,
yang berasal dari dua harta yang diwariskan Rasulullah membuat Indonesia
menjadi Negara paling maju dan kuat.
Dan
sekarang, lihat berapa banyak pelajar-pelajar lintas benua yang
berbondong-bondong menuntut ilmu di Indonesia. Sekolah-sekolah
Internasional dengan sistem pendidikan baru yang berbasis Islam tanpa
mengesampingkan ilmu pengetahuan.
Amika
terus saja menggosokkan kedua telapak tangannya, gelisah.
“
Kamu nggak mau balik ke sekolah? “ seorang pemuda jangkung berhidung bangir
menanyai Amika.
Raihan,teman
dekat Fatih-kakaknya. Amika menyahut dengan gelengan.
“
Nggak khawatir ketinggalan materi? “
“
Aku bisa download. “ sahut Amika.
Dan aku bukan tipe murid
yang sulit menangkap pelajaran. Sambung Amika
dalam hati tanpa merasa sombong. Lantas, ia membuka laptop mini nya dan
menyibukkan diri melihat-lihat materi pelajaran. Baru lima menit tapi, Amika sama sekali tidak
tertarik pada pembahasan pelajaran apapun hari ini. Amika bergerak-gerak gusar.
Kegelisahan ini menyiksaku.
“
Aku mau sholat dhuha dulu. “ pamit Amika pada akhirnya disambut anggukan kecil
Raihan.
Hanya dengan Allah,
hatimu akan menjadi tenang. Dengan
mengingat Allah hilanglah semua kegelisahan.
Rasa-rasanya bait lagu abad 21 itu menggema di telinga Amika.
***
Raihan
menatap sayu punggung Amika selewat kepergiannya. Merasa sedih sekaligus iba.
Tak ada orang tua yang mensupport Amika soal Fatih. Apalagi ikut menunggui sadarnya
Fatih. Hanya ada beberapa pasukan pengaman-menilik posisi Fatih yang termasuk
orang top di Indonesia- dan dirinya.
Ayah
dan Ibu Fatih-Amika meninggal bertahun-tahun yang lalu sewaktu Amika baru
berusia beberapa tahun. Kecelakaan heli menewaskan mereka berdua dalam
perjalanan menuju daerah konflik yang mereka tuju. Duo dokter handal, membuat
orangtua Fatih-Amika sering ditugaskan sebagai relawan. Selain karena niatan
mulia mereka sendiri.
Hal
yang sama membuat Fatih saat ini berada dalam kondisi kritis. Kecelakaan heli
saat Fatih melakukan perjalanan pulang dari kunjungannya ke beberapa Negara di
benua Afrika.
Tapi,
Amika belum diberitahu soal ini. Karena gadis itu tak bertanya apapun saat
diberitahu kakaknya masuk rumah sakit. Hanya menunjukkan ekspresi pias sesaat
lalu normal kembali. Seolah-olah dia siap kapan saja menerima berita seperti
ini.
Meski
kegelisahan Amika mulai terasa lagi pada beberapa jam terakhir. Tapi, reaksi
gadis itu menunjukkan dengan sempurna bahwa ia dan kakaknya mewarisi ketegaran
seorang keturunan Al-Biruni.
Berjam-jam
berlalu semenjak Fatih masuk ke ruang ICU. Raihan tak henti-hentinya
melantunkan zikir sedari tadi. Perasaan tak menentu yang membuat jantungnya
berdegup lebih cepat. Membuat ujung sepatunya terus mengetuk-ngetuk tiada
henti.
Raihan
berdiri secara otomatis saat melihat dokter keluar dari ruangan Fatih.
Memburunya dan langsung menatap dokter itu penuh tanya.
“
Sabar, akhi. Kami sudah berikhtiar dan panjatkanlah do`a sebanyak-banyaknya
untuk Fatih. “
Sensasi
mengerikan terjadi pada perut Raihan. Golakan menyiksa yang membuatnya ingin
muntah. Pertanda bahwa ia benar-benar tegang,
“
Kau tidak apa-apa, Han? “ dokter itu
menyentuh pundak Raihan.
“
Tidak. Aku sepertinya butuh sholat juga. “ terhuyung-huyung Raihan berjalan
menuju arah yang sama dengan yang dituju Amika.
“
Kabari aku kalau terjadi sesuatu pada Fatih. “ pesan Raihan sambil memegangi
perutnya.
Oh, Allah tolong aku!
Selamatkan Fatih dan kembalikan ia pada kami secepat yang Kau bisa.
Do`a yang agak kurang ajar menurut Raihan.
***
“
Allah…” rasa panas yang menjalari sekujur tubuh Fatih terasa benar-benar
menyakitkan. Rasanya ingin ia meraung-raung tapi hanya desisan yang keluar dari
mulutnya. Ini benar-benar mengerikan. Tubuhnya serasa dibakar dan tulangnya
terasa seperti dilindas buldoser raksasa. Tanpa embel-embel raksasa pun
sebenarnya buldoser sudah besar dan sudah bisa menyakitinya.
Dan
yang lebih meyakitinya, bersamaan dengan rasa sakit pada tubuhnya suara gumaman
orang-orang disekitarnya membuat kepalanya berputar hebat.
“
Apakah dia masih hidup? “ satu suara baritone mengalun di telinga Fatih.
“
Masih, sir. Tapi, dia tidak akan bertahan lama. Peralatan di sini tidak memadai
untuk menolongnya. “
“
Usahakanlah! “
“
Kita harus ke Indonesia.
Peralatan canggih di rumah sakit International yang dibutuhkannya. “ satu
usulan disuarakan.
“
Gunakan jalur darat saja. Ada
yang tidak beres dengan radar di angkasa. “
Fatih
seperti diingatkan saat-saat helikopternya mendekati gunung dan menabraknya tak
terkendali.
“
Bakal memakan waktu lama, sir. “
“
Tapi, aku tidak akan mengambil resiko lagi dengan membuatnya sekali lagi di
angkasa. Turuti perintahku! Pakai jalur darat dan bawa paramedic terbaik untuk
menolongnya sebelum tiba di rumah sakit. “
Suara
baritone itu mulai menghilang dan Fatih merasa apapun yang berada disekitarnya
mulai menjauh dan kegelapan mendekatinya.
Oh, Allah, beginilah
sakaratul maut itu?
Anehnya,
rasa sakit yang dirasakannya tadi perlahan menghilang dan berangsur lenyap.
Begini, lebih baik.
Meski Fatih kini berada di tempat yang benar-benar asing menurutnya.
***
Setelah
selama kira-kira dua hari penuh, namun kondisi Fatih masih tidak sadarkan diri,
anggota keluarga diperbolehkan melihat kondisinya. Anggota keluarga yang pasti
dan satu-satunya adalah Amika.
Menghela
nafas Amika menguatkan diri meski sebenarnya ia juga agak tidak sabar.
Hm,
ternyata, melihat yang dimaksud para dokter, menurut Amika lebih kepada
menyaksikan tanpa bisa menyentuh. Kondisi steril benar-benar dijaga untuk
ruangan Fatih. Jadi, Amika hanya bisa menonton Fatih dari jarak kira-kira tiga
meter dari tempat Fatih terbaring.
Wajah
kakaknya masih sama seperti terakhir kali melihatnya. Hanya mungkin ditambah
beberapa luka yang disebabkan kecelakaan. Sekujur tubuhnya dipenuhi chip-chip
yang menopang fungsi organ-organnya. Chip-chip digunakan sebagai ganti
selang-selang yang dirasa sangat tidak efektif. Amika jadi merasa kakaknya seperti
robot yang mendapat asupan energi dari chip-chip itu.
Amika
hanya lima
menit berada di ruangan itu. Tidak ingin berlama-lama menghabiskan memori
otaknya untuk mengingat kondisi mengerikan Fatih. Terbujur kaku bagai mayat
tapi, masih menyisakan irama nafas.
Ku biarkan kau menyiksaku
seperti ini, kak!
“
Kau, oke? “ tanya Raihan begitu melihat Amika.
Amika
mendengus, lagi-lagi Raihan mengkhawatirkan kondisinya. Dia bertanya seolah
Amika bakal pingsan atau menangis meraung-raung tak jelas. Hal-hal yang bahkan
tak pernah terlintas di pikiran Amika bakal dilakukannya.
“
Iya. “ sahut Amika lalu pergi menjauh dari Raihan.
Secara
tidak langsung semenjak Fatih tidak sadarkan diri. Raihan seperti memosisikan
dirinya sebagai Fatih bagi Amika. Hal yang membuat Amika geli. Seperti mengubah
posisi malaikat dalam hal ini Fatih dengan manusia dalam hal ini Raihan.
Hoho, perumpamaanmu
berlebihan, Ka!
Tapi,
memang begitulah adanya Fatih dan Raihan. Tanpa maksud merendahkan Raihan tentu
saja. Dia cukup oke, kok. Tapi, tidak seoke Fatih.
Fatih
itu punya karakter dan sulit ditebak. Bukan berarti Raihan tidak berkarakter.
Tapi, Amika sangat bisa membaca emosi Raihan.
Oh, lupakan! Bukan hal
yang seharusnya dibahas.
Amika
berjalan lurus menuju kawasan toilet pengunjung. Ia butuh jauh-jauh dari
ruangan menegangkan itu. Melalui beberapa koridor beberapa orang yang
melihatnya, mengangguk dan tersenyum. Memancarkan sorot mata iba yang membuat
Amika merasa mual. Meski ia menghargai semua simpati itu.
Yeah, aku tak terbiasa
dengan hal-hal sentimetil.
Amika
mengguyur wajahnya dengan air dingin di toilet.
Saat alat komunikasi yang dipasang di pergelangan tangannya menyala,
Amika malas untuk menerima komunikasi dua arah itu. Dia tidak sedang ingin
diganggu siapapun. Tapi, pada akhirnya dia tidak mau berbuat tidak sopan.
“
Ass, “
“
Kau dimana, Ka? “
Suara
tegas itu menyembur dengan wajah pias pada layar LCD. Amika mengernyit
menghadapi ketidakbiasaan di wajah sahabatnya, Ghania. Apalagi, dia bahkan
belum selesai mengucapkan salam. Pasti terjadi
sesuatu. Batin Amika.
Tidak
memutuskan sambungan komunikasi itu, Amika berjalan cepat menuju ruangan Fatih.
Tempat, terakhir kali Amika melihat Ghania.
“
Aku di toilet. “ jawab Amika.
“
Cepat kesini. Kondisi kakakmu, gawat. “
Jantung
Amika berdegup lebih cepat. Benar, kan? Sesuatu terjadi
pada Fatih!
“
Seberapa gawat? “
“
Mmm…” Ghania kelihatan gugup ditanya begitu, yang berarti satu bagi Amika.
Kakaknya semakin dekat dengan kematian!
“
Oke, aku tahu. “
Amika
lalu menyudahi komunikasi itu. Mulai menarik nafas dalam-dalam, Amika coba
menenangkan diri. Tapi, ia malah membayangkan, saat-saat kakaknya meregang
nyawa. Saat-saat paling menyakitkan. Bahkan yang termudah dialami oleh para
nabi. Bagaimana hal itu bisa diatasi oleh manusia?
Oh, Allah! Mudahkanlah
segalanya untuk kakakku.
Dan
Amika terbelalak saat menyadari dimana ia berada. Rasa-rasanya, dia sudah
melewati koridor yang benar? Tapi, kenapa sekarang dia ada di...
Di
saat seperti ini, Amika nyasar!
“
Payah sekali aku ini. Astaghfirullah. “
Mengutak-atik
benda di pergelangan tangannya yang multi fungsi, Amika segera membuka peta International Hospital ini. Oke, dia
nyasar di tempat yang lumayan jauh dari ruangan Fatih.
Mulai
bergerak, Amika mengikuti arahan yang diberikan peta. Tidak sulit sebenarnya,
jika Amika tidak panic dan focus.
Rasanya
hampir bertahun-tahun Amika membelok dan membelok. Tapi, kenapa ia tidak sampai
juga?!
Lalu,
saat melihat sosok jangkung seorang Raihan, Amika melonjak gembira.
“
Alhamdulillah. “
Amika
bergegas mendekati Raihan. Namun, dalam hati bertanya-tanya juga, mengapa
Raihan tidak bersama yang lain di ruangan Fatih. Dia malah berdiri ngobrol
dengan seorang pria berwajah panjang dan kaku. Dilihat dari lipatan di
keningnya, mereka pasti membicarakan hal serius.
Sayup-sayup
obrolan mereka mulai terdengar.
“
Kau yakin kalau ada unsur kesengajaan? “ tanya Raihan yang nampaknya tidak
merasakan kehadiran Amika, karena posisinya membelakangi Amika.
“
Ya, sir. Karena saat berangkat helicopter dalam keadaan baik. “ jawab suara nada
datar milik pria asing berwajah panjang dan kaku itu.
Helicopter?
“
Kami memperkirakan, pihak ini berusaha merusak jaringan radar. Sehingga,
helicopter menabrak gunung. “
Amika
terhenyak.
“
Kau sudah melacak pelakunya? “
“
Kami berusaha, sir. Tapi, mereka memasang pelindung berlapis-lapis pada sistem
perusak radar itu. “
“
Kecurigaanmu mengarah pada? “ Raihan bertanya dengan suara setengah tercekik.
“
Kelompok pemberontak dan Negara yang teknologinya hampir sekuat Indonesia. “
Amika
menelan ludah. Kelompok pemberontak?
Dia
lumayan sering mendengar soal mereka. Orang-orang dalam Indonesia sendiri yang tidak menghendaki
perubahan Indonesia.
Pergerakan bawah tanah yang jumlahnya sedikit. Tapi, kalau memang benar mereka
pelakunya?
“
Banyak pertimbangan pada kecurigaan itu, sir. Tapi, yang terkuat lebih mengarah
pada,”
Suara
orang itu berhenti pada detik ketika matanya bersirobok dengan mata Amika. Dan
sepertinya, dia mengenali Amika.
“
Sir, saya kira kita bisa melanjutkan pembicaraan kita, sesegera mungkin. Tapi,
tidak sekarang. “
Raihan
berbalik saat itu juga. Menyadari kehadiran Amika.
“
Amika? “ wajahnya setengah terkejut setengah takut.
“
Kami akan segera mengirimkan data-data pada anda, sir. “ pria berwajah panjang
dan kaku itu undur diri.
“
Assalamu`alaikum. “
Amika
dan Raihan menjawab salam bebarengan.
“
Aku sudah tahu, ada yang mencoba membunuh kakakku. Jadi, tak usah khawatir. “
kata Amika pada Raihan. Mencoba menghilangkan ketakutan yang tampak di wajah
Raihan.
Laki-laki
itu menghembuskan nafas.
“
Kau seharusnya tidak mendengar obrolan kami. “ katanya kedengaran kecewa.
“
Aku bukan anak kecil yang tidak bisa menghadapi kenyataan. “ sahut Amika.
“
Kurasa kakakku pun siap dengan resiko itu. “ lanjut Amika lalu pergi menyusuri
koridor yang dirasanya sudah dekat dengan ruangan Fatih.
***
Jalan
lurus dihadapan Fatih ini memancarkan kegelapan yang amat sangat. Diselimuti
keadaan yang benar-benar sunyi. Hatinya menyuruh untuk menyusuri jalan itu.
Tapi, banyak hal menahannya, membuatnya hanya berdiri diam. Tak berniat
melakukan apapun.
Tanpa
peringatan apapun, rasa menyakitkan yang seolah membakar tubuh menyerangnya,
lagi. Setelah beberapa saat Fatih merasa aman dan tenang. Kali ini, rasa sakit
itu menggerogotinya dari ujung kaki hingga ujung kepala. Giginya bergemeletuk.
Rasanya seperti ada yang membakar tubuhmu, menyayatnya, dan menariknya hingga
terlepas dari tulang-tulang.
Oh, Allah…
***
Dengan
Raihan di belakangnya, Amika bergegas menuju ruangan Fatih. Tinggal satu belokan lagi.
Dia
meremas telapak tangannya. Merasakan tangannya itu mulai mendingin karena
tegang.
Amika
pikir bakal menemukan ruangan Fatih sesepi dan sesunyi biasanya. Tapi, ternyata
tidak.
“
Lama sekali? “ Ghania menghambur ke arahnya dengan wajah benar-benar khawatir.
“
Aku nyasar. “ jawab Amika singkat, tanpa peduli respon Ghania, yang kalau dalam
kondisi normal pasti bakal menertawakannya.
“
Kakakku? “
Ghania
menunjukkan wajah gelisah.
Allah, aku siap untuk
kemungkinan apapun.
Amika
berusaha menguatkan diri.
“
Yang sabar ya, nak. “ tangan Ibu Ghania menyentuh lembut pundak Amika.
Oh, oh, jadi?
Terombang-ambing,
Amika mendekati ruangan Fatih. Berniat masuk ke ‘tempat menonton’ saat tangan
Ghania menahannya.
“
Tidak boleh. Para dokter sedang menangani
kakakmu. “
Amika
menarik nafas.
“
Jadi, dia masih hidup? “
Ghania
mengangguk.
Serbuan
kelegaan menyerangnya, seperti aliran darah mengalir pada pembuluh darah yang
mampet. Perumpamaan yang belum pernah dirasakannya, jelas.
Amika
bergerak mundur. Berjongkok dengan tubuh gemetar. Dia tahu dirinya tidak bakal
menangis. Tapi, perasaan ketakutan-khawatir-tegang menyatu menjadi kombinasi
mematikan yang membuat Amika lemas.
“
Kau tak apa-apa, sobat? “ Ghania ikut berjongkok.
Kalau begitu, masih ada
kemungkinan…
Bayang-bayang
kematian Fatih, kesedihannya, dan perasaan bakal kehilangan dan kesendirian,
sekarang malah menodai kelegaan yang dirasakannya.
Sisi
tergelap yang bakal dihadapinya kalau Fatih benar-benar tak terselamatkan. Dan
ia akan ditinggalkan, lagi.
“
Hei, “ Ghania menyadarkan Amika.
“
Jangan takut. “ lanjutnya menenangkan.
Mudah berkata begitu,
karena kau tidak mengalaminya!
Rasa-rasanya,
Amika ingin berteriak dengan semua yang dihadapinya kini. Seolah-olah penderitaanku belum cukup saja!
“
Ini ujian, Ka. “ kata-kata itu menelusup ke telinganya. Membuatnya sadar akan
sifat egoisnya untuk menghindar dari rasa sakit dan menderita.
Saat
itu pintu ruangan Fatih terbuka. Membuat Amika melonjak menghampiri dokter yang
muncul dengan wajah berkerut-kerut.
Tidak
hanya dirinya yang terlonjak karena Raihan menjajarinya.
“
Bagaimana? “ suara Raihan.
“
Kami berusaha. Tapi, kesadarannya makin lama makin hilang. Apalagi dengan
kerusakan tubuhnya begitu. “
Jawaban
dokter itu membuat Amika menelan ludah.
***
Saat
matahari mulai menyengat dan menimbulkan bayangan sepanjang tongkat. Amika
menggelengkan kepalanya tidak setuju.
Pada
focus matanya, Fatih sedang duduk bersandar pada bed dengan layar imajiner di
depannya.
“
Heran, kau bahkan baru sadar tiga hari yang lalu dan kau sudah sesibuk ini? “
Fatih
menatapnya lalu nyengir.
“
Kita harus tetap berjuang kapan dan dimana saja, kan? “
“
Semaumu lah. “ Amika menyahut ogah-ogahan.
Kini
dia sudah tidak perlu lagi melihat Fatih dari ‘tempat menonton’. Keadaan
kakaknya sudah membaik dan ia dipindahkan ke ruangan perawatan.
Keadaan
yang semula dirasakan Amika sebagai kemustahilan. Hm, pikiran yang salah.
“
Nggak ada, orang yang bisa menggantikan tugasmu untuk beberapa hari? “ tanya
Amika.
“
Hm, ada. Tapi, tidak semua hal bisa dialihkan. Aku juga punya urusan yang hanya
bisa kutangani sendiri. “ Fatih menjawab tanpa melepaskan matanya dari layar.
Berkali-kali ia mendesah kecewa saat mengutak-atik file dihadapannya.
“
Apa? Soal kelompok yang membuat helicopter kesayanganmu hancur? “
Fatih
cuma tersenyum menanggapi.
“
Lupakan saja. Toh, kau sudah selamat disini. “
“
Yang diincar bukan hanya soal nyawaku. Tapi, keamanan Negara juga. “
Amika
mendengus mendengar jawaban kakaknya. Menganggap bahwa kakaknya memang orang
yang suka berepot-repot demi orang lain.
Itu memang nilai plusnya.
Amika
meluruskan kaki saat pintu ruangan Fatih membuka. Menampakkan sosok beberapa
orang yang membuat Amika terkejut.
“
Wah, wah, kunjungan tak terduga. “ Amika mendesis pelan.
Dilihatnya
Fatih cepat-cepat menonaktifkan ‘pekerjaannya’.
“
Bagaimana keadaanmu, nak? “ suara berwibawa itu membuat Amika merinding,
“
Sudah lebih baik, pak. “ Fatih menyahut.
Segerombolan
orang di belakang pemimpin Indonesia
itu membuat Amika tersadar bahwa yang dihadapannya adalah orang penting.
“
Kau merawatnya dengan baik, Ka? “
Amika
nyengir.
“
Bukan saya pak. Tapi, perawat-perawat. “ jawabnya mengelak.
“
Ya, pak. Dan dia lebih cerewet daripada perawat-perawat disini. ‘
Amika
menatap laki-laki yang menanggapi itu, tidak suka.
Raihan.
Dia nyengir bersama Fatih.
Menit
berikutnya, mereka ngobrol seru tanpa peduli pada Amika. Hm, ya, urusan orang
dewasa.
Beberapa
kali, Fatih bertanya pada Raihan soal pekerjaannya. Menggantikan Fatih menjadi
seorang tangan kanan.
Mendengar
hal itu, Amika teringat soal perumpamaannya akan malaikat dan manusia. Haha. Mereka benar-benar bertukar posisi.
Amika memandang Fatih dan Raihan sambil nyengir.
Membuat
Fatih mengernyit heran.
“
Apa? “ tanyanya.
***
Nostalgia,
cerpen yang dibikin hampir 5 tahun yang lalu untuk lomba yang diselenggarakan
MAN Incen.
Aaaaak!!! Aku udah tua >.<
Aaaaak!!! Aku udah tua >.<