SOCIAL MEDIA

Selasa, 24 Juli 2018

Review Buku: Habiskan Saja Gajimu!!

Tertarik sama buku ini awalnya karena nge-follow penulisnya, Ahmad Gozali di twitter. Twitnya tentang dunia keuangan sering lucu, tapi cerdas dan menohok. Tergambar banget di bukunya, bahasanya ringan, tapi enggak bikin kita gagal paham.

Akhirnya, dibeliin buku ini sama pak suami karena beliau ngerasa saya perlu belajar financial planning. Saya pun menyadari kalau kacau banget ngurusin keuangan keluarga. Kayaknya sih gara-gara di masa single saya terlalu nyantai dan kebanyakan bersenang-senang.

Buat saya yang baru belajar dan sukanya hal yang menyenangkan, buku Habiskan Saja Gajimu ini sangat tepat sasaran. Pak Ahmad Gozali memberikan metode Habiskan untuk mengelola keuangan. Mungkin rada-rada kontroversial ngedengernya. Masa' malah disuruh ngabisin duit sih? Ngajarin boros dong?

Harusnya kan kalau ada duit lebih disisihkan buat nabung, investasi, dan lain sebagainya. Bener banget sih kalau itu. Kita kan hidup enggak cuma di waktu sekarang doang. Apalagi buat saya yang udah ada anak bayik. Harus pinter-pinter mengatur keuangan untuk masa depan.

Selain itu juga keuangan yang rapi juga meminimalisir terjadinya konflik dalam rumah tangga. Sama-sama tau lah, banyak masalah rumah tangga yang muncul salah satu pemantiknya adalah kondisi ekonomi yang gonjang-ganjing. Yang paling sering dikambinghitamkan misal pemasukan bulanan yang kurang. Padahal sebenarnya kalau ditelusuri bukan gara-gara pemasukannya yang kurang, tapi cara mengatur pemasukannya aja yang belum benar.

Buku ini ngasih metode mengatur uang yang cocok dan menyenangkan buat saya, yaitu dihabiskan!

Karena jujur buat saya menyisakan uang itu bikin stres dan kayaknya kok suram gimana gitu. Pun berkali-kali saya ngerasain gagal menyisakan uang, padahal niatnya pengen nabung untuk ini dan itu.




Nah, di buku ini kita diajarin menghabiskan gaji, tapi enggak asal, melainkan dihabiskan di jalan yang benar. Gimana caranya?

Harus baca buku ini secara runut biar kita paham betul harus berbuat apa dan bagaimana.

Sedikit yang bisa saya highlight di buku ini, pemasukan yang ada dihabiskan dengan cara, potong untuk zakat, bayar cicilan utang, dahulukan untuk saving, dan habiskan untuk shopping! Asyik kan? Siapa sih yang enggak suka ngabisin duit buat shopping?

Buku ini berhasil bikin saya mengubah pola pikir untuk enggak melulu bersenang-senang. Eh, bisa sih bersenang-senang, tapi ya, harus kreatif dan enggak malas. Well noted banget.

Buku keuangan yang highly recommended untuk dibaca dan dipraktekkan. Nyesel deh enggak tau buku ini dari jaman single. Kayaknya bisa lebih cepet kaya kalau dari single baca buku beginian. >_<



Sabtu, 21 Juli 2018

Meteor Garden 2018: Nostalgia Tak Biasa

Balik lagi ke kebiasaan lama, keranjingan nonton drama. Padahal kayaknya udah lama banget enggak lagi hobi maraton nonton drama apapun itu. Karena sejak melahirkan dan 'momong' anak bayi, waktu istirahat sangatlah berharga. Kayaknya kok sia-sia banget kalau malah dipake buat nonton drama.

Eh, tapi, apa daya, mungkin karena sedang jenuh yang memuncak dengan aktivitas dan kewajiban harian yang itu-itu saja, ber-ending cari-cari drama buat ditonton.

Tadinya, sama sekali enggak ngelirik judul Meteor Garden 2018. Tapi, jari-jari berkata lain. Download satu episode berlanjut ke episode-episode berikutnya.


Sebenarnya agak ngerasa aneh gimana gitu ya, nonton drama yang udah diketahui jalan ceritanya kayak mana, di jaman SD, SMA, terus kuliah, eh, sekarang nonton lagi pas udah ada anak bayi.

Tapi, meskipun begitu, rasa aneh itu hilang begitu aja, pas udah nonton episode demi episode. Kayak yang pura-pura enggak tau jalan cerita berikutnya.

Di Meteor Garden 2018 ini kata saya mah edisi gabungan dan dibagus-bagusinnya Meteor Garden 2001, Hana Yori Dango, dan Boys Before Flowers.

Buat yang seneng sama cerita San Chai dan F4 pasti tau lah cerita khas masing-masing negara.

Jujur, Meteor Garden 2018 ini jauh lebih bagus dan logic dari yang sebelum-sebelumnya. Sinematografi kekiniannya mendukung banget untuk bikin mata seger ngelihat latar yang riil seperti yang ada di dunia nyata, tapi tetep keren segala-gala pencahayaan dll. Alur ceritanya pun disesuaikan dengan kekritisan orang-orang masa kini. Kalau saya bilang sih, enggak se-maksa dan se-brutal drama versi lawas. Masih sangat masuk akal lah jalan ceritanya. Meskipun secara garis besar inti cerita cintanya (gadis biasa berjodoh dengan laki-laki super duper kaya) masih krik-krik gimana gitu buat saya.

Komen saya di atas mungkin enggak terlalu representatif. Secara dramanya masih ongoing sampe akhir Agustus nanti. Sedangkan saya baru nonton sampe episode puluhan yang kayaknya baru seperempat cerita.

Nonton drama remake ini bikin saya jadi terbawa masa lalu. Dulu pas jaman nontonin drama ini, saya sedang begini dan begitu. Punya kesibukan x dan y. Punya impian a b c d e. Sekarang di kehidupan saya yang saat ini, jadi teringat itu semua. Terutama bagian betapa masih banyak keinginan yang masih tersimpan dan belum diwujudkan.

Nostalgia itu membangkitkan thrilled feeling yang kayaknya padam beberapa tahun terakhir. Enggak ada sesuatu yang bikin saya sangat excited. Tapi, dengan sedikit nostalgia, saya seperti mendapat pemantik untuk kembali bersemangat!

Lanjut lagi soal dramanya?

Meteor Garden 2018 yang diperankan anak-anak muda usia kurang dari dan 20-an tahun ini buat saya cukup menyenangkan jadi tontonan emak-emak. Meskipun kadang pas nonton banyak komennya. 'Aduh bocah, baru gitu doang! Ntar kalo udah nikah lebih-lebih cobaannya.'  Itu contoh komen nyinyir dari emak baru 1 tahun yang kayaknya sok banget udah tau asam garam kehidupan. LOL

Latar tempat Meteor Garden ini juga oke banget lho. Kalau enggak salah di Shanghai dan itu indah, enggak terlihat kumuh atau gimana gitu ya, padahal yang jadi tempat shooting enggak semuanya tempat mewah. Kalau liat cuplikan di episode selanjutnya, sepertinya juga bakal ada episode-episode di London. Yes, London Great Britain!

Aktor-aktrisnya enggak usah ditanya. Begitulah adanya, dicari yang wajahnya selera anak-anak muda masa kini. Wajah manis dan postur yang cungkring-cungkring (sorry to say. Tak ada maksud untuk nge-bully secara fisik).




Adegan-adegannya meskipun mirip-mirip dengan drama yang lawas, beberapa menurut saya ada yang jadi aneh dan 'wagu' di remake 2018 ini. Tapi, enggak merusak keseluruhan cerita sih.

So, buat temen-temen sebaya saya yang tertarik nonton remake Meteor Garden ini, selamat kembali ke masa lalu, selamat  bernostalgia!



Sumber gambar: Pinterest

Selasa, 17 Juli 2018

How to Survive: Berdua di Rumah dengan Bayi

Hal yang jadi beban pikiran saya setelah melahirkan dan enggak lagi di rumah ortu, alias kembali merantau bersama suami adalah saat berduaan di rumah hanya dengan bayi.

Kondisinya adalah suami bekerja dari pukul 7 pagi sampai pukul 5 sore hari (seharusnya), tapi jarang banget pulang tenggo. Malah jauh lebih sering pulang malam, sekitar jam 7-an. Di Lampung ini juga saya enggak ada ART, jadi otomatis ngurusin bayi seharian sendiri.

Yes, betapa khawatirnya saya sebelum balik ke Lampung, karena di rumah ortu untuk mandi, makan, sholat, mencuci pakaian bayi, dll, saya bisa bergantian dengan ayah, ibu, atau adik-adik saya.

But, the show must go on.

Awal-awal balik ke Lampung dengan si bayi, shocked banget karena belum nemu ritme yang enak, gimana memenej supaya saya bisa ngapa-ngapain (ngerjain kerjaan rumah dll), tapi bayi tetap ditemani.

Si bayi ini termasuk yang susah-susah gampang. Kadang kalau pas tidur nyenyak dan lama, bisa ditinggal ngapa-ngapain. Tapi, seringnya kalau bayi tidur pulas, either sayanya ikut istirahat atau malah main gadget gegara saya khawatir berisik di dapur. Di awal-awal kelahirannya, si bayi maunya ditemenin terus sama saya. Pun kalau tidur, saya harus stand by, karena si bayi alhamdulillah ASI eksklusif 6 bulan.

Sempat stres karena saya enggak bisa ngapa-ngapain kalau ditinggal pak suami kerja. Sekadar untuk masak pun enggak bisa, jadilah keuangan bocor karena keseringan beli lauk di luar. Soal buang hajat alias untuk bab dan bak pun enggak tenang. Saat sholat juga enggak jauh beda. Penuh rasa khawatir karena anak bayi nangis dan sejenisnya.


Beberapa kali curhat ke temen, mereka ngasih support yang sangat membantu.

Memang ada fasenya si bayi susah banget untuk ditinggal. Harap maklum aja untuk pak suami yang enggak suka makan di luar. Tapi, mau gimana lagi coba kalau istrinya lagi bagi waktu untuk mengurus bayi. Daripada kelaparan kan? Insya Allah over budget karena sering makan di luar atau beli lauk mateng enggak selamanya kok. Nanti juga ada momennya, istri hobi banget cobain resep ini itu sampe enggak lagi keluar budget jajan di luar. Atau pak suami yang sepet liat rumah berantakan? Harap maklum, fase jadi orangtua baru needs sacrifice. Saran saya, jangan terlalu memaksakan keadaan apalagi memaksa istri untuk jadi wonderwoman. Kasihan kalau malah stres. Motherhood is not that easy.

Mendekati dan lepas usia 12 bulan, menurut saya si bayi lebih bisa diajak kerja sama.

Kalau kata temen dan saya sepakat dengannya adalah penting untuk menemukan ritme.

Ya, simpelnya kalau jadwal harian cocok, insya Allah enggak terlalu keteteran meski berdua aja sama bayi. Versi saya yang perlu dibenahi adalah memulai aktivitas lebih pagi.

Cuci piring, masak, mandiin bayi, bersih-bersih diri, dan beberes rumah sudah harus selesai sebelum suami berangkat. Saya tenang ngerjain ini itu karena si bayi ada yang ngejagain, dan selepas ditinggal suami bekerja bisa fokus membersamai si bayi karena ini itu yang harus dikerjain sudah beres. Buat saya salah satu yang bikin stres adalah saat harus ngerjain ini itu, tapi enggak pengen ninggalin si bayi.

Kalau memungkinkan, ditinggalin suami dalam kondisi sudah sarapan, tapi fleksibel aja, bisa juga kita nanti sarapan bersama si bayi.

Kalau soal cuci pakaian dan jemur, biasanya saya mencuci seminggu dua kali. Satu kalinya di weekday, yang satu lagi di weekend. Kalau yang weekend insya Allah enggak masalah karena pas pak suami libur. Tapi, yang weekday ini biasanya saya mencuci malam hari supaya pagi harinya tinggal mengeringkan dan menjemur.

Adanya gendongan, stroller, high chair, box bayi, atau yang sejenisnya sebenarnya sangat membantu. Misalnya saat menjemur pakaian, kalau si bayi enggan ditinggal, bisa kita gendong. Kalau si bayi kalem, tapi harus lihat ada kita, bisa ditaruh di stroller.

Urusan bab dan bak, bersyukur banget saya dapet lungsuran box bayi, jadi saat saya bab, bak, atau mandi sore, saya letakkan di box bersama mainan-mainannya.

Kalau sholat, usahakan saat udah azan, segera ambil air wudhu dan sholat di awal waktu. Selain mengharap banyak keutamaan sholat di awal waktu, misal si bayi sedang tidur, kita dalam kondisi udah sholat saat dia bangun nanti, atau misalnya pas bayi melek atau nangis sekali pun, sholat lebih dulu biar nangisnya enggak tambah parah.

Nah, kalau soal makan, karena saya tipe yang kuat nahan laper. Jadi, saya memilih cari waktu yang tenang untuk makan. Misal pas si bayi tidur pules atau nunggu pak suami pulang nanti. Karena saya juga jarang ngemil, sekalinya pengen, ngemilnya yang berat-berat kayak seblak dan sejenisnya, jadi timing makannya pun lebih enak kalau si bayi lagi bisa ditinggal. Sebenernya enggak baik sih cara saya ini. Silakan diskip dan enggak perlu dicontoh, karena nahan laper itu bisa bikin asam lambung naik, dan busui itu harus banyak makan.

Sharing saya ini enggak selamanya berjalan smooth. Ada kalanya saya jenuh, males, dll. Jadi jadwal dan ritme harian berantakan, terus saya stres sendiri. Ada juga momen yang meskipun sudah disiasati, tapi si bayi tetep nangis pas saya tinggal ngapa-ngapain. Kalau udah gitu, dinikmati dan diikhlaskan saja. Sebisanya.

Mungkin menurut beberapa orang mudah aja ngasih saran, 'Udah nyantai aja,' atau 'Udah enggak usah dibikin stres,' atau kasih komen, 'Lebay, ah, ibu-ibu jaman dulu fine-fine aja hidup berdua kalau ditinggal berdua doang sama anaknya,'

FYI, pressure point tiap orang itu beda-beda. Ada yang kena guncangan dulu baru dia ngerasa stres. Ada juga yang disenggol dikit udah kebawa pikiran terus. Kan enggak mungkin kalau kita nyalahin ujiannya?

Ada ibu X yang punya anak 5, 6, 7, 8, dia terlihat fine enggak stres sama sekali ngurusin semuanya padahal enggak ada ART. Tapi, ada juga ibu Y yang baru punya 1 orang anak, denger anaknya nangis eh, doi ikutan nangis karena bingung harus gimana.

Indeed, kita memang harus berdamai dengan keberagaman.

Fase jadi ibu menurut saya emang challenging banget. Ujian untuk lebih dewasa, lebih bijak, dan lebih beriman ada semua disini. Eh, tapi ini bukan mau nakut-nakutin loh. 'Ih, emang se-stresful itu ya jd ibu?' Hahaha... enggak juga kok. Cuma kita memang harus menyiapkan mental baja, siap trial and error, belajar terus, dan yang jadi suami, teman, atau keluarga dekat, jadilah support system yang baik.

Memang enggak mudah yang tadinya single bisa ngapain aja terus jadi buibuk yang harus mikir sejuta ide untuk bisa ke kamar mandi. Tapi, insya Allah fase ini akan bisa kita lalui dengan baik. Bahkan mungkin nantinya bakal jadi momen yang kita inget dan kita kangenin.

Senin, 16 Juli 2018

Kuliner Semarang yang Dirindukan

Mudik kemarin alhamdulillah disibukkan dengan silaturrahim ke rumah banyak saudara. Ngerasanya sih lumayan lama mudik lebarannya, tapi ternyata enggak semua yang direncanakan dari Lampung bisa terlaksana.

Salah satu yang gagal total adalah jalan-jalan kulineran!

Beneran gagal karena enggak nemu dong waktunya buat memburu kuliner Semarang yang saya rindukan. Saking padetnya jadwal silaturrahim, pulang ke rumah udah sore atau malem, dan jadi males karena lelah kalau mau kemana-mana lagi.

List di bawah ini saya bikin jauh-jauh hari sebelum mudik. Apa daya... cuma bisa ngeliatin di Instagram aja untuk 'tombo pengen'.

Maklum... kalau masak sendiri belum canggih, jadi enggak berani trial resep di dapur sendiri.

1. Sego Ndeso
Ini sebenarnya mirip-mirip nasi rames gitu. Ada nasi, lauk pauk, kayak mie goreng (yes, karbo ini jadi lauk), gorengan, sayur terong kuah mangut (yang jadi khasnya), dan bintang utamanya adalah disiram sambel pecel. Enak banget deh pokoknya. Kenapa saya nyebutnya sego ndeso? Eng ing eng... karena memang dijualnya di rumah-rumah daerah pedesaan di Semarang. Secara geografis deket kota Semarang, tapi de jure-nya dia di kabupaten Semarang. Biasanya dijual di pagi hari sebagai menu sarapan. Harga seporsinya enggak mahal sama sekali. Jaman saya abege kayaknya dijual < 5 rb rupiah deh.

2. Mie Tek Tek
Yes, kayaknya nama mie tek tek enggak asing jadi kuliner khas di rata-rata daerah Jawa Tengah. Tapi, mie tek tek yang saya rindukan ini yang biasa lewat di depan rumah nenek. Meskipun namanya sama-sama mie tek-tek, tapi beda lho bumbu, jenis mie, dan pelengkapnya. Kalau versi saya, bumbu mienya ini kuat banget rasa bawang putihnya, gurih, dan manis (karena biasanya saya minta ekstra kecap). Mie nya juga bukan yang tebel kayak bakmie Jogja, tapi ringan, panjang, dan lembut. Pelengkapnya cuma kol, kalau mau nambah sate bisa juga sih. Haduh, makin ngeces ini. Sebenernya di Lampung sini juga ada mie tek tek yang mirip kepengenan saya. Tapi, ternyata di bumbunya beda banget karena ketambahan ebi. Enak sih, tapi beda sensasi mie tek-teknya.

Ini Bakmie Jowo bukan Mie Tek Tek karena lebih mewah (pake telor dan suiran ayam) tapi mirip-mirip lah


3. Tahu Gimbal
Kuliner khas Semarang banget yang sangat mudah ditemukan di pusat kota yaitu Simpang Lima. Enggak susah nemuinnya, tapi tricky juga cari yang enak. Kalau saya biasanya beli di mbah saya yang buka warung tahu gimbal. Top markotop lah itu rasa gimbal udang kalau ketemu sama bumbunya.



4. Nasi Ayam
Ini sebenarnya mirip-mirip menu lebaran, karena ada ayam kuah opornya. Tapi, yang jadi khasnya adalah makan beralaskan daun pisang dan bisa nambah lauk sate-satean. Kalau buat saya yang bikin nagih adalah sayur jipan atau sayur labu siamnya. Beuh! 



5. Lunpia
Another signature dish dari Semarang. Ini kepengenan pak suami banget. Tapi, sayang dia belum puas karena kemarin nyobain di Lunpia Express yang kurang enak. Masih penasaran sama Loenpia Cik MeMe yang dulu namanya Lunpia Delight. Mau nyobain di Lunpia Gang Lombok yang terkenal itu tapi jauh banget kesananya. Jujur saya bukan penyuka lunpia, enggak terlalu bersahabat soalnya dengan rasa rebung. Tapi, sejak nikah sama pak suami yang bisa sampe ngidam-ngidam kepengen lunpia, jadi berani nyobain dan ternyata nagih juga. Gurihnya isi lunpia, dicocol saus, terus 'nyeplus' cabe rawit. Mantap!



Udah tergiur dan jadi pengen ke Semarang?

Kalau saya sih harus sabar sampe mudik tahun depan. Hahaha.



Semoga bermanfaat ya. 


Sumber Gambar :
Dokumentasi Pribadi