SOCIAL MEDIA

Senin, 21 Januari 2019

Yakin Pengen Menikah?

Ada masanya saya begitu pengen menikah muda. Sampe dimana-mana kalau ditanya ada keinginan apa, langsung teringat, pengen nikah muda!

Sungguh naif sekali pada zamannya.

Hal yang dipikirkan cuma enak-enaknya menikah aja. Lebih terjaga, ada tempat curhat 24 jam, ada yang menafkahi, and so on. Keinginan yang cuma diisi pengetahuan indahnya menikah aja dan enggak diimbangi dengan wawasan tentang rentetan resiko dan kewajiban setelah menikah.

Ada kali 2 tahun-an yang saya terus berdo'a, 'Ya Allah, dekatkanlah jodoh hamba'. Lalu akhirnya tersadar karena ketemu sahabat-sahabat yang bisa diajak bertukar pikiran bahwa menikah enggak seindah itu lho. Ya, mungkin ada part indahnya, tapi enggak melulu indah.

Karena pengetahuan baru tersebut akhirnya redaksi do'anya berubah. Keinginan untuk menikah pun enggak semenggebu dahulu kala.

Jadi pelajaran penting bahwa menikah itu enggak sekadar kepengen doang. Triggernya bisa kepengen itu sih. Tapi, setelah kepengen itu harus diimbangi aksi untuk cari tahu seluk beluk kehidupan pernikahan. Sebagai insight diri kita sendiri. Beneran enggak kita kepengen nikah? Kepengen yang memang diri kita sudah siap dengan segala tanggungjawab yang menyertainya, atau kepengen karena baper ngelihat kebahagiaan pasangan muda halal kekinian?
To the wedding by Pinterest

Menikah itu enggak bahagia terus loh isinya.
Di surga kali itu yang isinya thok kebahagiaan. Karena dimensi pernikahan itu masih terjadi di alam dunia, harus siap kalau nanti ketemu saatnya perasaan kita berdarah-darah menahan pilunya ujian pernikahan. Sebabnya entah ujian dari luar kita dan pasangan, misalnya ngerasain enggak nyamannya diteror karena belum punya momongan, atau konflik internal dengan pasangan.

Harus belajar mengelola perasaan.
Ketika mengikrarkan diri siap menikah, harus siap mengurangi dan bahkan mengikis perasaan yang terlalu sensitif alias baper. Ada kalanya kita enggak perlu terlalu memikirkan sesuatu hal alias santai aja lah. Ada kalanya pula kita perlu merenung dan mendalami ketika akan membuat suatu keputusan. 

Contohnya nih, udah capek-capek masak sesorean, tapi suami enggak makan malam di rumah. Meskipun rasa hati pengen bantingin piring dan gelas keinget capeknya masak, yang kayak gitu enggak perlu terlalu dibawa perasaan. Mungkin suami punya alasan kenapa enggak makan malam di rumah. Bisa jadi menghormati teman-teman kantor yang ngadain acara syukuran atau terlalu capek jadi sampe rumah langsung pengennya istirahat. Contoh lain, misal suami ngajakin ngambil kredit barang xxx nih. Baiknya enggak asal 'Iya deh. Gimana mas suami aja', tapi dipelajari dulu, jadikan bahan diskusi berdua. Masalah kredit, utang, enggak menyangkut suami doang kan. Kita sebagai istri juga harus tahu dan paham.

Nah, kalau sekarang masih single dan gampang banget sensi atau baper, mungkin Allah pengen kita belajar lagi untuk ngurang-ngurangin bapernya, sebelum ketemu ujian perasaan yang lebih dahsyat dalam kehidupan berumah tangga.

It takes two to tango.
Berkaitan sama poin kedua soal mengelola perasaan. Enggak cuma istri doang, atau suami doang yang perlu belajar. Kedua belah pihak harus sama-sama belajar dan saling pengertian. Misal nih, masih melanjutkan contoh di poin kedua. Pas udah disiapin makan malam sama istri, meski perut udah kenyang, paling enggak icip dikit lah masakan istri. Atau kalau udah enggak kuat makan lagi, temenin lah istrinya itu di meja makan. Mungkin istri-istrimu rela nahan laper lho, pak  bapak, demi bisa makan malam bersama. Jadi, sama-sama saling peka aja lah.

Apalagi kalau udah ngomongin parenting. Wah bisa jadi satu bahasan sendiri ini mah. Misal pengen punya anak yang sholeh-sholehah, cerdas, bertaqwa, dan berakhlak mulia. Eh, tapi, enggak meluangkan waktu quality time sama anak (to bapak-bapak mostly) dan nyerahin semua tugas yang berkaitan sama anak ke istri doang. Nay, nay! Bagai pungguk merindukan bulan dong. 

Kalau mau punya anak yang high quality, orangtuanya juga harus high quality dulu. Salah satunya, harus mau bersusah payah untuk mendalami ilmu parenting bareng-bareng. (Wkwkwk yang nulis ibu-ibu sih ya. Mohon maap kalau nyerang bapak-bapaknya terus. Kebeneran aja kayak gitu studi kasus yang kepikiran #Ngeles).

Masalah menjadi jauh complicated.
Yes, kalau ngerasa kehidupan saat single udah penuh masalah, jangan khawatir, ujian belum selesai sampai di situ. Namanya kehidupan dunia, ya, pasti penuh ujian dan cobaan. Kalau kehidupan lempeng-lempeng aja, antara Istidraj atau ujiannya lewat kelempengan itu. Nah, masalah rumah tangga jauh lebih pelik daripada masalah saat masih single dulu. Zaman masih mahasiswa, kita bakal pusing tujuh keliling liat rekening yang udah tinggal beberapa digit padahal kiriman ortu berikutnya masih jauh. Hm, kalau udah nikah lebih pelik lagi, karena yang dipikirin enggak cuma diri sendiri, tapi, ada pasangan, anak yang mungkin enggak cuma satu, belum lagi kalau ada yang masih di kandungan. Yes, marriage push yourself to be tough as ever!


Menikah itu jebakan betmen?
Hm, ya, iya sih, kayak gitu kalau kita ngelihat menikah sekedar prosesi kehidupan dunia semata.

Nyesel kan udah nikah?
Hm, ya enggak gitu juga.

Inspite of segala hal yang kayaknya enggak mudah saat menjalani kehidupan pernikahan, dengan menikah kita naik tingkat untuk menjalani fase kehidupan berikutnya.

Kalau buat saya pribadi, pernikahan memaksa saya untuk melakukan kebaikan-kebaikan yang selanjutnya dan seterusnya. Kalau menengok ke belakang dan posisi saya belum menikah, tantangan yang saya hadapi mungkin bakal itu-itu saja.

Ya, meskipun saat ini pun saya masih sering ketemu masalah-masalah yang itu-itu lagi. Tapi, feelnya beda dan lagi-lagi dipaksa untuk menjadi lebih dewasa sekaligus bijak, karena secara status pun udah berubah menjadi seorang istri dan ibu.

Satu hal yang saya sesali tentang kehidupan pernikahan ini adalah ketidaksiapan saya menyiapkan kehidupan pernikahan.

Menikah dengan modal kepengen doang itu sah-sah aja sih. Cuma ya harus siap zonk kalau kepengenan itu tidak disertai banyak ilmu.

Kayak saya.

Minus banget pengetahuan soal kehidupan pernikahan makanya zonk.

Makanya, saat single adalah best moment untuk cari ilmu sebanyak-banyaknya. Jadi, nanti pas sudah nikah dan punya anak, ibarat naik kendaraan udah enak aja gitu tinggal jalan. Ya, kalau lupa-lupa dikit, liat contekannya juga sekilas aja buat memantik ilmu yang udah dipelajari.

Enggak kayak saya yang kalau diibaratkan, nyetir sambil buka peta sambil ngecek posisi spion kendaraan udah bener atau belum. Ibaratnya di perjalanan itu sambil ngapalin jalan dan sambil ngelancarin bawa kendaraan. Repot kan?

Tapi, ya, enggak usah disesali berlarut-larut. (Menghibur diri sendiri).

Sekarang pe er nya adalah enggak boleh skip belajar. Harus makin rajin belajar, baca, cari ilmu. Meskipun jadi kayak kuis dadakan. Baru baca teori langsung diuji suruh nge-aplikasiin. Mantap kan?

Apapun itu tetap lebih banyak yang saya syukuri daripada yang disesali.

Semoga bermanfaat.

Jumat, 18 Januari 2019

Bahagia Liburan di Rumah, Tetap Asik Bareng Laptop ASUS


Setiap keluarga punya tantangan dan ujiannya masing-masing. Filosofi itu yang saya pegang erat dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Filosofi yang sangat penting untuk menghadapi godaan untuk enggak mudah merasa iri hati dengan kondisi keluarga yang ada di sekitar saya. Termasuk perkara kecil soal liburan akhir tahun.

Rasanya gatel banget pengen nyerocos ke suami tentang betapa beruntungnya teman-teman saya yang menghabiskan liburan akhir tahun dengan travelling. Enggak sekadar ke luar kota loh, beberapa bahkan berkesempatan plesiran ke luar negeri. Sesuatu yang jadi wishlist saya sejak lama.

Alhamdulillah, mulut ini masih bisa ngerem untuk enggak berlebihan cerita ini itu ke suami soal liburan teman-teman saya. Masih bisalah untuk di-counter menjadi kalimat yang bernada positif, 'Yuk, rajinin nabungnya, supaya bisa liburan, syukur-syukur bisa umroh sekalian travelling ke Turki.'
Bangga betul rasanya bisa sepositif itu meski melawan batin yang retak cukup susah. Tidak mengapa, karena saya yakin, saat ini mungkin saya dan keluarga sedang diuji dengan anggaran yang tipis untuk bisa jalan-jalan yang lumayan jauh, sekaligus tanggung jawab suami yang dilarang cuti di akhir tahun. Semoga bisa lulus ujian. Who knows? Mungkin ke depan bakal diuji tetap bisa bahagia dan memaknai enggak nih, kalau dikasih rezeki travelling yang diinginkan?

Jauh-jauh hari saya sudah tahu enggak akan kemana-mana di liburan akhir tahun, jadi saya prepare, bikin rencana menyenangkan untuk menghabiskan waktu di rumah. Daftar yang wajib ada adalah nge-laptop utamanya blogging dan nonton.


Yes!
Selama jadi ibu rumah tangga yang hobi nulis, cara menyeimbangkan waktu supaya tetap bisa membersamai Ncik (nama panggilan anak saya) adalah dengan membiasakan diri untuk menulis menggunakan gawai (gadget, smartphone). Cukup lancar dan terbiasa sih. Tetapi, berhubung ada insiden yang bikin layar gawai saya jadi retak bagai akar serabut pepohonan, pusing juga tebak-tebak buah manggis saat menulis atau membaca lewat gawai. Pengennya, di liburan akhir tahun kemarin bisa ngerapel semua tulisan dan kerjaan blog via laptop.

Tantangan pertama rencana untuk bebas nge-laptop adalah laptop ASUS TP201S milik saya harus dipakai bergantian dengan suami yang kadang butuh juga untuk ngerjain kerjaan kantornya. Ini nih yang bikin saya memasukkan resolusi #2019GantiLaptop. Saya yang ganti laptop, suami bisa pakai laptop lama saya. LOL.

Salah satu yang jadi inceran adalah ASUS Zenbook S UX391UA.

Kenapa sih tergoda sama laptop ASUS tipe ini? Harganya selangit loh padahal (dibisikin nih harganya, 26 juta sekian sekian). Ya, iya, kalau beli sendiri kayaknya out of budget banget, tapi enggak ada salahnya mencari kesempatan buat memenangkan salah satu unitnya lewat Lomba Blog dari founder KEB (Kumpulan Emak Blogger), Mak MiraSahid.


Nah, kalau lagi kepengen sesuatu, biasanya saya akan searching-searching lumayan detail soal apa yang jadi kepengenan saya, termasuk soal laptop.

Desain keyboard ASUS Zenbook S UX391UA ini sangat menarik perhatian buat saya yang sering lama ketik-mengetik di depan laptop. Why oh why? Perasaan bentuk keyboard laptop semua sama dimana-mana? Hm, tentu tidak, Pedro!

Fitur inovatif yaitu engsel Ergolift dari Zenbook S, secara otomatis bisa menambah kemiringan 5,5° ke keyboard. So, kita bisa mengetik lebih nyaman, meski dalam waktu yang cukup lama. Sisi ergonomis lain dari keyboard Zenbook S UX391UA ini juga tidak perlu diragukan, dengan jarak antar tombol yang lebar dan permukaan tombol yang lembut bikin proses mengetik menjadi lebih akurat. Apa kabar yang sering typo?

Pun ketika ngerjain kerjaan di malam hari pas jam tidur anak, cahaya emas dari keyboardnya tetap bikin kita nyaman bekerja dalam kondisi pencahayaan apapun. Bye bye sakit mata!

Nilai plus plus dari engsel Ergolift Zenbook S UX391UA juga lebih optimal untuk cooling system laptop. Udah enggak khawatir kan, laptop cepat panas, endebre endebre?


Sejujurnya, saya bukan traveler atau pribadi yang banyak bepergian, meski begitu, ultralight dan ultrathinnya ASUS ZenBook S UX391UA yang cuma 1 kg dan 12,9 mm, bukan berarti enggak bikin pengen si ultraportable ini loh. Malah sebaliknya, bikin makin pengen! Secara sekarang ini lagi semangat untuk ngikut beberes simpel dan ringkas ala Konmari. Tentu saja laptop yang saat disimpan enggak makan tempat adalah salah satu yang spark joy buat ibu-ibu seperti saya.

Tantangan berlama-lama nge-laptop berikutnya adalah saat Ncik penasaran dengan suara ketik-ketik yang menarik hati. Mohon maaf bila melihat laptop ASUS yang saya pakai sekarang agak memprihatinkan karena teman sparingnya adalah bocah menjelang 2 tahun yang hobi utak-atik barang baru, termasuk laptop saya. ASUS Zenbook S UX391UA bakal jadi lawan sepadan nih, karena kabarnya sudah memenuhi standar militer MIL-STD810G. Ngeri amat ya, pake standar militer? Emang mau dibawa perang, bu? Hm, ya, enggak juga sih, Santiago. Military grade ini menunjukan kalau ASUS Zenbook S UX391UA ini tahan banting, karena sudah diuji jatuh-bangun, getaran, ketinggian, bahkan di suhu yang ekstrem panas maupun dingin.

ASUS Zenbook S UX391UA Burgundy Red 

Udah beres dengan segala tantangan. Liburan akhir tahun kemarin berakhir bahagia dengan saya nonton film jadul favorit, The Lord of the Rings: the Return of the King.
Yes, bagian terakhir dari trilogi film fantasi The Lord of the Rings yang enggak membosankan meski saya tonton ulang. Menonton film fantasi yang kental dengan nuansa aksinya ini akan sangat perfecto bila didukung audio yang mumpuni dari laptop. Pas banget, ASUS Zenbook S UX391UA siap memanjakan saya dengan audio hasil kerjasama ASUS dan spesialis audio Herman Kardon yang menghasilkan laptop dengan dua speaker stereo berkualitas top dan efek suara surround dengan audio berkualitas bioskop! Enggak main-main kan sandingannya bioskop loh. Kalau biasanya bela-belain ke bioskop karena pengen dapet sensasi audio yang gahar, sekarang ibu bisa hemat, cukup nonton pakai Zenbook S UX391UA.

Soal irit yang lain, seperti halnya kita yang pengen gawai kalau di-charge enggak makan waktu lama, Zenbook S UX391UA ini pun juga sudah canggih dengan teknologi fast charging.  Cuma 49 menit untuk mengisi 60% daya! Masa pakai baterainya pun bisa mencapai 13,5 jam. Lama kan? Asal pinter-pinter aja ya, ngatur pemakaian program di laptopnya.

Makin kenal lebih dekat dengan fitur-fitur menyenangkan dari ASUS Zenbook S UX391UA, makin pengen memiliki deh!

ASUS Zenbook S UX391UA Deep Dive Blue 

Menilik liburan akhir tahun yang membahagiakan meski hanya di rumah ditemani laptop ASUS, rasanya enggak berlebihan lah kalau membayangkan bisa memiliki ASUS Zenbook S UX391UA akan membuat ibu lebih bahagia dan lebih produktif lagi. Yes, ibu bahagia akan membuat keluarga bahagia. Keluarga bahagia akan menciptakan lingkungan yang bahagia. Lingkungan yang bahagia, masyarakat seluruhnya bahagia, dunia pun cerah ceria. Teman-teman yang lagi baca tulisan ini sudah merasa bahagia kah hari ini?

Semoga bermanfaat.

Rabu, 16 Januari 2019

Baby Chair, Kursi Makan Bayi Penting atau Enggak?

Sejak awal MPASI Ncik (nama panggilan anak saya), baby chair jadi salah satu barang yang saya pengenin. Tapi, setelah pengajuan ke suami, ternyata ditolak. Alasannya, ngeliat pergerakan Ncik selama ini, suami khawatir baby chairnya malah enggak kepake karena Ncik sukanya kemana-mana.

Akhirnya, diambil jalan tengah untuk sewa lebih dulu supaya tau berguna banget atau enggak si baby chair ini untuk anak kami.

Saya memilih sewa baby chair yang model bumbo seat. Pernah baca sekilas sih kalau sebenarnya model bumbo seat ini kurang direkomendasikan. Kenapa? Singkatnya, karena cenderung menghambat kemampuan anak untuk belajar duduk sendiri.

Ngeliat dari strukturnya emang bener. Bentuk bumbo seat itu yang ngejaga anak bisa duduk meski dia belum bisa bener-bener duduk tegak sendiri. Yo wis, anak-anak yang mungkin belum tegak-tegak banget kalau duduk sendiri dibikin santai dengan duduk di bumbo seat itu. Padahal harusnya kalau enggak pake bumbo seat, mereka akan terstimulasi untuk menjaga diri supaya struktur tubuhnya bisa duduk dengan kemampuan sendiri. 

Artikel lengkapnya bisa dibaca disini deh. Hamba hanya mencoba merangkum setitik doang.

Alhamdulillah pas Ncik mulai MPASI itu dia udah bisa duduk tegak sendiri. Kenapa akhirnya milih baby chair yang model bumbo seat, karena bumbo seat yang saya pilih ada plus plus mainannya. Ceritanya sekalian gitu kursi makan dan kursi buat mainan. 

Kayak gini nih model kursi bayi yang dipilih Ncik.

Summer Infant Superseat via Pinterest

Setelah masa sewa beres, sebenernya masih ngebet beli baby chair. Tapi, kembali alasan lama, suami enggak setuju. Karena makan tanpa baby chair pun Ncik baik-baik aja.

Padahal saya naksir berat sama salah satu booster seat yang portable bisa dipake dan dibawa kemana-mana.



Dua model baby chair yang jadi perbincangan hangat di dunia ibu-ibu adalah booster seat dan high chair.

Kalau booster seat plusnya adalah bisa dipakai buat kita yang biasa makan lesehan maupun ditaruh di kursi meja makan. Booster seat juga peruntukkan usianya lebih panjang. Sedangkan high chair cuma bisa satu posisi doang, sejajar sama meja makan. Rada tricky kalau keluarga yang biasa makan lesehan, tapi memilih pakai high chair di rumah.

Better kalau memang kebiasaan makan di keluarganya lesehan, pilih booster seat aja.

Tapi, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan sebelum membeli baby chair entah itu booster seat maupun high chair adalah perlu enggak anak kita pakai kursi makan khusus bayi?

Saya pribadi merasa perlu.

Mungkin karena udah ngerasain kelebihannya pake baby chair.

Setelah Ncik usia 16 bulan akhirnya suami ngebeliin baby chair dong. Itu juga beli karena kami sekeluarga memutuskan beli meja makan yang proper. Ini dalam rangka supaya waktu makan jadi salah satu quality time keluarga. Alhamdulillah pas ada rezekinya. Beli yang high chair karena sekalian satu toko sama yang jual set meja makannya.

Padahal kalau dikasih waktu googling lebih lanjut bakal beli booster seat kepengenan yang bisa dibawa kemana-mana. Tapi, enggak apa-apa lah. High chair juga sangat bermanfaat karena set meja makannya pun cuma dua kursi. 


Ilustrasi via Pinterest

Adanya high chair di rumah ngebantu banget soal ritme makan Ncik. Sebelum pake high chair, doi kalau makan sambil keliling rumah. Mondar-mandir kesana-kemari. Lelah lah ibu ini main kejar-kejaran setiap mau nyuapin. Ncik yang duduk rapi di high chair saat makan, jadi harapan supaya terbangun kebiasaan kalau makan ya, sambil duduk. No keliling kesana-kemari.

Namanya juga anak bayi yang masih belajar makan, sering banget jadi kocar-kacir, kotor, berantakan. Kalau makannya pas kesana-kemari, bisa harus ngepel rumah karena remah-remah nasi berceceran dari ujung ke ujung ruangan. Sebaliknya, kalau pake high chair cuma area yang ada high chair aja yang harus dibersihin. Lumayan lah ibu bisa selonjoran sedetik.

Plus plus lain punya high chair adalah bisa jadi tempat aman kalau pas ibu atau ayah harus ngepel. Karena Ncik udah nggak bisa diamankan di box bayi. Kalau di high chair, dikasih buku bacaan atau buku buat coret-coret atau disetelin video, amanlah sampai rumah beres dipel. Sambil disounding juga sih kalau lantai yang lagi dipel itu licin. Doi dikit-dikit ngerti, pengalaman pernah 'gelebak' gara-gara tadinya ditaruh di sofa terus dia tiba-tiba ngacir. Alhamdulillah observasi 2x24 jam enggak kenapa-kenapa.

Kalau disimpulkan, baby chair termasuk baby stuff yang worth to buy kalau memang ada dananya. 

Kalau enggak ada pun, enggak yang dead end sebagai langkah membiasakan anak untuk makan dengan duduk tenang. Masih ada langkah lain untuk ngajarin anak kebiasaan tersebut. Misalnya, sounding terus kalau makan itu mesti duduk. Sediakan spot khusus sebagai area makan. Gitu kalau saya ngebayanginnya. Kalau pas anak GTM (Gerakan Tutup Mulut) kan salah satu langkah mengatasinya dengan cari suasana makan yang baru, tapi ya, tetep enggak mengganggu esensi kebiasaan rutin makan yang sudah kita bangun sebelum-sebelumnya. 

Semoga enggak belibet ya buibu.

Soal makan anak ini emang panjang lika-likunya. Saya sendiri ngerasain banget mulai dari MPASI sampai sekarang, ngebangun kebiasaan makan anak yang baik itu menguras energi dan emosi, jiwa dan raga. Satu filosofi yang pengen saya pertahankan (meski sering juga goyahnya, but I won't give up insya Allah) adalah membangun suasana makan yang menyenangkan.


Makan dimsum dulu