SOCIAL MEDIA

Kamis, 23 Maret 2023

Blogging Dulu dan Kini

Satu hal yang membuat saya bangga pada diri sendiri adalah mempertahankan blog. Meskipun ada sisi menyedihkannya, yaitu bertahan punya blog, tapi kosong banget isinya di beberapa tahun terakhir. Cry!

Ngakunya seneng nulis, tapi susah banget meluangkan waktu buat blogging. Duh!

Padahal, bagi saya blog itu safe place untuk mengeluarkan uneg-uneg. Itulah ide awal saat dulu bikin akun Blogspot di zaman lulus SMA. Menjadikan blog tempat curhat di dunia maya, karena rasanya curhat di buku diary perlu dibikin high tech. Haha.


Blogging Dulu dan Kini


Di zaman itu tulisannya bener-bener curhatan doang isinya. Lambat laun beberapa tulisan lumayan serius, karena diniatkan menuangkan isi pikiran sekaligus belajar beropini (maklum, lagi semangat jadi aktivis di kampus).

Makanya saya sebut blog itu 'tempat aman', karena bisa 'menerima' tulisan-tulisan saya yang receh banget, tapi, ya sok aja kalau mau diisi tulisan serius karena nggak terlalu berani ngirim tulisan ke media mainstream yang berbobot.

Beda Blog Dulu dan Kini


Dari zaman 2010an sampai sekarang ngerasain nge-blog, jelas berbeda.

Dulu, rasanya blog jadi buku harian/diary virtual. Sekarang, more than that, blog bisa jadi sumber informasi dan sumber cuan.

Kalau sudah ngomongin fitur, blog sekarang sudah banyak pilihan, mulai dari template dan macam-macamnya.

Tulisan-tulisan yang tersaji di blog pun bisa variatif sekali. Saya, sih, masih mem-favoritkan tulisan dengan narasi curhat. Meski, sah-sah saja kalau penulis blog akhirnya hard selling dengan campaign tertentu, karena pada akhirnya blog adalah media milik pribadi.

Apa yang Membuat Bertahan Nge-Blog?


Antara tahun 2017 atau 2018 akhirnya menjadikan blog pribadi berbayar, dengan berbagai alasan.

Pertama, karena saat itu sedang tren blog TLD (Top Level Domain, alamat blog menjadi berakhiran .com, .co.id, dan lain-lain). Sempat khawatir apakah nama saya akan menjual ketika dijadikan alamat URL? Sempat berganti-ganti alamat pula, karena lupa membayar domain, ouch!

Pada akhirnya tersadar, blog akan dikenal dan dibaca orang atau tidak tergantung kualitas tulisan dan usaha untuk promosi tulisan-tulisan kita sendiri. Pilihan nama sebagai alamat URL supaya mudah mengingat nama dan sebagai personal branding saja.

Kedua, awalnya memang ikut-ikutan, tapi memang tren blogging akhirnya mengarah ke pentingnya TLD. Misalnya, untuk ikut kompetisi blog. Karena saya belum tertarik untuk pasang google ads atau yang sejenis, supaya blog bisa 'menghasilkan' salah satunya adalah diikutsertakan dalam kompetisi. Nah, kebanyakan mensyaratkan blog harus TLD. Jadi, masih worth the price, nggak susah-susah amat kalau mau join kompetisi blog, meskipun belum pecah telor juga, nih, menang kompetisi apa gitu. Haha.

Ketiga, kepuasan batin. Receh banget memang. Tapi, punya blog pribadi dengan alamat URL nama sendiri itu salah satu yang bikin bahagia. Meskipun, ya, ujung-ujungnya karena berbayar juga.

Tren sharing tulisan memang masif di media sosial seperti Instagram, karena simpel. Satu akun untuk berbagai tujuan, hiburan bisa, sharing bisa, ladang cuan juga.

Hanya saja, saya merasa menulis di blog bisa lebih panjang lebar dan ketika orang mencari lewat google pun lebih mudah ditemukan. Meskipun kans untuk terindeks google juga butuh usaha.

Apalagi persaingan di dunia blog sekarang juga super sekali. Nggak cukup hanya mengandalkan tulisan bagus atau enak dibaca saja.

Blogger zaman now dituntut untuk menguasai fitur-fitur pendukung, minimal editing flyer atau foto. Supaya tulisannya nggak melulu susunan huruf-huruf saja, tapi juga ada infografis yang memanjakan mata.

Duh, apalagi kalau jago mainin coding, bisa bikin blog cakep dengan berbagai gadget, ditambah penguasaan SEO, menang banyak, deh.

Tapi, sepertinya hingga kini saya masih jadi blogger klasik yang mengandalkan kekuatan tulisan. Haha! Meskipun untuk meluangkan waktu menulis saja effort banget.

Kalau teman-teman gimana? Ada kenangan apa soal nge-blog yang memorable?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar