SOCIAL MEDIA

Tampilkan postingan dengan label Cerita Bayi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Cerita Bayi. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 14 Agustus 2021

Periksa Kehamilan dan Melahirkan di Rumah Sakit Columbia Asia (RSCA) Semarang

Awalnya Rumah Sakit Columbia Asia tidak menjadi rumah sakit yang saya tuju untuk periksa kehamilan maupun melahirkan setelah saya sampai di Semarang.

Periksa-Kehamilan-dan-Melahirkan-di-Rumah-Sakit-Columbia-Asia-Semarang
Suasana lobi di masa pandemi


Sempat sedih karena Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) di Semarang tidak ada yang di-cover oleh asuransi. Padahal saya lebih memprioritaskan RSIA daripada RS di kondisi pandemi ini.

Jumat, 11 Juni 2021

Ergobaby Embrace Review: Mencoba Gendongan (Lagi)

Alhamdulillah, punya bayi kedua!

Baby gear yang saya buru lagi-lagi gendongan. Bukan sekadar pengen icip-icip gendongan, kok, tapi memang karena butuh membawa bayi melakukan perjalanan.


Karena anak saya yang kedua akan bepergian di usianya yang kurang lebih satu bulan, jadi gendongan simpel yang bisa dipakai cukup terbatas. Kalau usianya misal empat bulan ke atas, variasi jenis gendongan kebanyakan sudah bisa dipakai.


Gendongan dengan tumpuan satu bahu, seperti jarik dan ring sling tidak saya jadikan opsi, selain karena saya nggak mahir memakainya, rasanya akan cepet pegel. Maka, lagi-lagi saya melirik gendongan ransel (soft structured carrier/SSC).



Baca Tulisan yang Ini: PIKIR DULU SEBELUM BELI GENDONGAN: REVIEW ERGOBABY ADAPT (KW)



Karena masih penasaran dengan ergobaby Adapt yang bisa dipakai dari newborn, saya mengunjungi website ergobaby yang ternyata malah jadi tahu kalau mereka mengeluarkan varian gendongan baru untuk newborn, yaitu ergobaby Embrace. Saya yang termasuk telat tahu karena si Embrace ini sudah diluncurkan sejak 2019.


Segera saya cari tempat yang menyewakan Embrace, dan ternyata ada! Satu tempatnya di Jakarta, satu lagi di Surakarta.


Kenapa tidak membeli?

Karena mahal! Wkwkwk. Wajar, sih, sebenarnya untuk merek sekelas ergobaby. Cuma buat saya, untuk gendongan yang dipakai sampai usia 1 atau 1,5 tahun kayaknya eman alias sayang duit segitu.


Memang keren inovasi ergobaby bikin produk terpisah yang diperuntukan bayi baru lahir. Karena selama ini setahu saya, produk gendongan ergobaby untuk bayi baru lahir masuk ke gendongan hybrid, macam Adapt, Omni.


Oh, ya, produk lokal sebenarnya sudah banyak juga yang mengeluarkan gendongan hybrid (yang bisa digunakan segala usia, pendeknya begitu). Hanya saja setelah membaca spesifikasinya, hybrid yang lokal pun kayaknya baru bisa dipakai newborn dengan berat dan tinggi badan yang sudah agak besar. Dugaan saya begitu setelah melihat juga postingan foto para penggendong yang menggunakan hybrid lokal.



Baca Tulisan yang Ini: BABYWEARING: GENDONG-MENGGENDONG, EMANG PENTING?



Setelah mencoba Embrace, saya merasa memang cocok banget gendongan ini untuk newborn. Di bayi saya yang berat badannya saat itu >3,6 kg, dengan tinggi badan >47 cm nggak tenggelam dan cukup nyaman.


Settingan atau pengaturan, dan pemakaiannya pun simpel. Ini yang saya khawatirkan kalau saya memakai gendongan hybrid yang lain, settingan yang rumit.


Cara pakainya sama dengan memakai soft structured carrier (SSC), hanya perlu menyesuaikan di bagian dudukan bayi (menyesuaikan tinggi bayi) dan bagian shoulder strap yang harus disilang.


Plusnya menggendong M-Shape yang saya tahu harusnya penggendong bisa handsfree alias tangan bebas nggak harus menopang bayi, cuma saat memakai Embrace ini, sayanya saja yang memakai gendongannya terburu-buru seperti tampak di foto, jadi belum bisa handsfree karena tangan saya masih menahan leher bayi yang tidak tertopang kain gendongan. Sebenarnya penggendong bisa handsfree ketika kita membetulkan bagian bawah gendongan tepatnya di pantat bayi (ada panduannya di tutorial) sehingga bayi bisa lebih turun posisinya dan punggung serta lehernya akan tertopang gendongan. 



Jumat, 31 Januari 2020

Beberapa Pilihan Daycare di Bandar Lampung

Sebelumnya saya sudah share gimana sedihnya melepas anak untuk dititip ke daycare. Karena sedih dan mungkin dari hati terdalam belum rela anak diasuh orang lain, jadi belum kesampaian untuk memanfaatkan daycare.

Ada di sini tulisannya.


Awal mula berniat menitipkan anak ke daycare, lalu survei, saya merasa prosesnya nggak terlalu ribet, karena cukup terbantu dengan adanya akun instagram dari masing-masing daycare yang saya incar. 

Langkah yang saya lakukan saat akan mencari daycare di Bandar Lampung:

1)Bertanya ke teman-teman.

2)Kroscek ke instagram untuk tahu sedikit banyak kegiatan daycare tersebut. Kalau sreg bisa DM atau kontak Whatsapp.

3)Setelah cocok masalah biaya, dan lain-lain (by nanya via Whatsapp), bisa langsung survei melihat kegiatan dan kondisi di daycare.

Saya sempet nggak merasa perlu survei berkunjung langsung ke tempat daycare. Tapi, alhamdulillah saya 'manut' suami yang 'keukeuh' harus lihat langsung keadaan daycare dan memang terbukti PENTING banget.

Lewat survei, kita sebagai orangtua jadi tahu kondisi fisik bangunan tempat daycare berada, gimana kamar-kamar tempat istirahat, tempat bermain, kamar mandi, sirkulasi udara, keamanan, dan lain-lain. 

KIta juga bisa tahu fasilitas apa saja yang ada di daycare tersebut. Begitu juga dengan pengasuh-pengasuhnya. Lebih enak ngobrol langsung dengan pengasuhnya. Meskipun sebenarnya, misal info tentang 1 pengasuh meng-handle berapa anak, bisa kita dapatkan via Whatsapp.

Hal krusial yang lain adalah soal kegiatan di daycare. Saat survei kemarin saya datang terlalu pagi (karena suami cuma izin datang terlambat ke kantor). Ketemunya anak-anak yang memang diantar pagi. Kegiatannya, ada yang main, sarapan, dimandikan pengasuh. 

Salah satu nilai plus dari menitipkan anak di daycare dibandingkan meng-hire pengasuh di rumah adalah kegiatan yang lebih variatif daripada kalau anak di rumah saja. Makanya, soal kegiatan jadi salah satu titik berat dalam memilih daycare.

Berikut ini beberapa daycare di Bandar Lampung yang sempat saya survei, beberapa yang infonya minimalis hanya saya chat Whatsapp atau saya kepoin instagramnya, tapi nggak berlanjut sampai ke survei karena satu dan lain hal. 🙂

Dewan Dakwah

Lokasi daycare ini berada di area kantor LSM Dewan Dakwah Islamiyah Lampung. Saya datang sekitar pukul 8 pagi dan baru beberapa anak saja yang datang, sekitar 3 atau 4 orang. Masih ada yang tidur, sarapan, dan bermain. Daycare ini punya jadwal harian yang berbeda-beda. Kegiatan khasnya, belajar mengaji, mewarnai, tahfidz, dan lain-lain, dipergilirkan setiap hari. Pengasuhnya kebanyakan ibu-ibu. Kondisi di dalam rumah, bagi saya kurang bersih, mungkin karena rumah yang ditempati adalah rumah lama atau kuno.

Informasi biaya:
Pendaftaran 350 rb
Bulanan 500 atau 600 rb untuk toddler | 700 rb untuk bayi
Harian 35 rb (Harus membayar biaya pendaftaran)

Sayangnya, saya tidak menemukan akun instagram daycare ini. Kalau butuh info lebih lanjut bisa datang langsung ke sana. Sebenarnya ada pamflet yang waktu itu saya dapatkan, tapi karena terlalu lama saya ngedraf tulisan, pamfletnya keburu jadi korban coret-coret anak saya.

Affie

Pertama kali datang, saya nyasar ke tempat lini pendidikan toddler (semacam PAUD). Ternyata, lokasi daycarenya selisih gang dari tempat yang dituju GMaps.

Lokasi daycare Affie di dalam perumahan dengan mini playground di depannya. Karena suasana cukup ramai, saya tidak survei sampai ke bagian dalam rumah. Pengasuh di Affie daycare ini juga dominan ibu-ibu.

Informasi biaya:
Pendaftaran 300 rb
Bulanan 700 atau 800 rb toddler | untuk bayi lebih mahal
Harian 50 atau 60 rb (Harus membayar biaya pendaftaran)

Akun instagram Affie cukup update untuk info kegiatan dan lain sebagainya.

Filimi

Tidak saya survei. Bisa cek ke instagram Filimi untuk kontak dan survei awal kegiatan di sana.

Matahari

Tidak saya survei.
Akun instagram Matahari Daycare.

Soedirman Muda

Saya mengikuti weekend class di Soedirman Muda sekalian survei untuk daycarenya. Acaranya cukup berkesan dan sejauh ini menjadi daycare yang paling mendekati keinginan saya. Weekend class ini semacam kegiatan 2-3 jam dengan tema tertentu. Kebetulan yang anak saya ikuti kemarin bertema kehidupan hewan laut. 

Kegiatan diawali olah raga bersama, anak-anak dikelompokkan sesuai umur, bayi dan toddler. Pengasuhnya masih muda-muda, terlihat semangat dan enerjik memandu acara. Setelah olahraga, anak-anak dipersilakan memberi makan ikan secara bergantian. Selanjutnya, acara diisi membuat keterampilan mini akuarium. Acara weekend class ini kalau kata Miss yang mengobrol via whatsapp dengan saya, sebagai salah satu ikhtiar bonding antara anak dan ibu atau ayah. Meskipun, buat saya, karena sehari-hari sudah 24 jam bersama anak, acara ini menjadi salah satu cara melatih anak bersosialisasi dengan teman-temannya.

Weekend class ini diselenggarakan sebulan sekali dan recommended untuk diikuti. Infonya bisa follow instagram Soedirman Muda Daycare.

Biaya-biaya ada di foto. Bila ingin menitipkan harian di Soedirman Muda hanya perlu membayar biaya harian saja, tidak usah membayar biaya pendaftaran.

Wahdini

Tidak saya survei.
Akun instagram Wahdini Daycare.

Binar Madani

Tidak saya survei.
Akun instagramnya tidak update, tapi bisa googling saja dan ada kontak yang bisa dihubungi. Responnya cukup oke via Whatsapp atau telepon.

Gimana, ibu-ibu? Apakah ada yang anaknya dititipkan ke daycare dalam daftar saya? Atau baru merasa tertarik dan butuh? Silakan dipilih sesuai value keluarga. Bila ada daycare yang belum saya masukkan, tapi recommended, silakan tulis di kolom komentar :)


Biaya-biaya Soedirman Muda Daycare

Nb. Saya tulis 'atau' pada informasi biaya, karena saya lupa angka detailnya.

Jumat, 10 Januari 2020

Review Film Kim Ji Young: Born 1982 dan Lika Liku Menjadi Ibu


Review ala-ala saya mengandung spoiler, karena saya susah untuk nahan nggak nyeritain potongan-potongan scene, apalagi yang ngena banget.

Sedikit Sinopsis

Kim Ji Young: Born 1982 adalah film Korea Selatan yang juga ada novelnya dengan judul yang sama. Di Korsel, novelnya termasuk salah satu novel fenomenal (atau kontroversial). Cerita inti yang saya tangkap dari film ini adalah tentang Kim Ji Young, seorang ibu rumah tangga yang tidak sadar kalau dirinya sedang sakit secara psikologis. Cerita dalam film menjadi sangat menarik karena mengangkat tentang kesenjangan antara wanita dan pria di dalam keluarga dan lingkungan kerja (kehidupan sosial).

Credit to Unsplash

Review

Dari awal film, Kim Ji Young: Born 1982 ini sudah sukses bikin saya menitikkan air mata, apalagi di scene-scene selanjutnya. Rasanya selepas nonton, mata saya sembap karena kebanyakan nangis dan hati jadi lelah karena ngerasa super mellow.

Terharu dan sedih, karena ngerasa kehidupan Kim Ji Young ini kok related banget, sih, sama kehidupan saya. Aaargggh. Meskipun, alhamdulillah, saya nggak 'sesakit' Kim Ji Young.

Saat KJY (Kim Ji Young) menatap mata hari sore yang terbenam selepas ngerjain kerjaan rumah, ngerasa sering sedih tiba-tiba, ngerasa kangen sama teman-teman kerja dan kehidupan kerja di masa lalu saat berpapasan dengan mbak-mbak necis yang mau berangkat kerja, duh, feel related.

Ada dua adegan yang bikin saya nangis kejer di film ini. 

Pertama, part flashback KJY dan ibunya yang lagi ngomongin cita-cita ibunya yang dulu pengen jadi guru, terus nggak keturutan. Di situ KJY kecil nanya ke ibunya, apa gara-gara dia, ibunya nggak bisa menggapai cita-citanya jadi guru? 

Nangis kejer saya. Perasaan campur aduk, antara khawatir dan takut. Khawatir, kalau di masa depan anak saya ngerasa kayak gitu. Takut, jangan-jangan saya bisa jadi adalah ibu yang menyalahkan keadaan (dalam hal ini anak) atas keinginan atau cita-cita saya yang tidak terwujud. Tapi, scene ini jadi motivasi dan penyadaran bahwa anak bisa ngerasa se-mellow itu. Bikin saya mikir tentang cita-cita. Diwujudkan atau tidak, sepenuhnya tanggung jawab dan diputuskan atas kesadaran saya.

Part kedua yang nyes banget adalah saat KJY udah kesenengan bakal bisa kerja lagi. Tapi, terus dimarahin sama mertuanya. Bikin KJY merasa harus mengalah, karena apalah arti gaji dan karirnya kalau dibandingin suaminya. Padahal, sebelumnya, suami KJY udah oke sama keputusan mereka berdua, KJY kerja lagi dan suaminya ambil paternal leave alias cuti bapak-bapak selama setahun untuk ngurusin anak mereka. Tapi, yang kayak begini dianggap aneh sama orang-orang tua, meskipun dua orang menikah yang ngejalanin udah bersepakat.

Ketiga (Wkwkwk jadi ada tiga), part suaminya ngasih tau ke KJY kalau KJY sakit dan nanya, 'Apa KJY sakit begini karena nikah sama dia?' Sedih bangeeeet.

Jadi nyadar bahwa dibalik istri yang stres atau mengalami masalah psikologis atau mental illness, ada suami-suami yang merasa bersalah, kepikiran, dan guilty feeling semacam itu.

Suami KJY ini termasuk yang support dan concern banget sama sakit istrinya. Dia yang duluan ke psikolog (atau psikiater) untuk cari tahu soal penyakit KJY, ndorong KJY untuk konsul juga, dan mau ngalah lebih concern ke sehatnya KJY dibanding karirnya. Mana yang meranin suaminya Gong Yoo pula, duh bener-bener husband material, deh! (fangirling mode on).




Credit to Pinterest


Oh, ya, ada scene saat KJY beli kopi di coffee shop gitu, terus anaknya rewel sampe kopi KJY tumpah, padahal antrean di coffee shop itu lagi panjang-panjangnya. Ada segerombolan mbak sama mas-mas gitu yang ngomongin KJY nggak enak. Terus dilabrak, deh, sama KJY karena salah satu mas itu ngatain KJY terlalu kenceng. KJY kesel karena mikir, kalau mau ngatain jelek, kenapa nggak dibatin aja, sih. Masnya itu ngatain KJY 'mum roach'. Setelah googling baru tau kalau istilah mum roach ini artinya ibu-ibu yang bertingkah laku tidak pantas di tempat umum. Mengganggu ketenangan umum gitu lah menurut si mas yang ngatain. 

Gara-gara googling mum roach yang berhubungan sama public place, jadi tahu juga bahwa ada resto dan kafe yang memberlakukan kids free zone. Antara miris (karena ngerasa public place sekarang, mah, berlomba-lomba ngadain tempat yang kids friendly), tapi jadi insight juga bahwa memang ada, orang-orang yang terganggu dengan riuh ramainya anak-anak. Well, jadi ngerasa harus belajar lagi untuk mengontrol dan ngajarin anak untuk behave di tempat umum.

Baca Ini Juga Yuk: How to Survive: Berdua di Rumah dengan Bayi


Tapi masalahnya, menjadi ibu yang bawa anak ke tempat umum itu emang nggak mudah. Apalagi kalau pas anak lagi rewel atau tantrum. Nggak mungkin juga status ibu bikin kita ngerem terus di rumah. Ada kalanya, meskipun udah diatur sedemikian rupa, karena jenuh, emergency, dan lain-lain, tetep harus ke public place. Nah, di momen yang kurang mengenakkan, jadi tambah puyeng nggak, sih, kalau tiba-tiba ada yang bisik-bisik, sampe kedengeran telinga kita, ngatain, 'Nggak becus jadi ibu' atau 'Nggak bisa ndiemin anak' atau bahkan ngatain yang kayak di film.

Di momen itu KJY kayak ngasih teguran ke si mas-mas bahwa dia nggak berhak ngejudge KJY karena momen yang sebentar.

Duh, merasa bahagia, habis KJY speak up, mas-mas dan gerombolannya pergi keluar kafe sambil diliatin orang-orang dan pas di-shootnya ke arah ibu-ibu yang juga bawa anak. Berasa solider karena ibu-ibunya pada melotot ke mas-mas and the genk.

Di scene KJY speak up, KJY udah mulai terapi sama psikiaternya. Jadi, sepemikiran saya, berani speak up dan nggak 'mendem-mendem dalam hati' club adalah pertanda emosi yang lebih baik.

Terlalu seru kalau bahas scene per scene.

Setelah menonton, saya terpikir bahwa sakitnya KJY nggak muncul tiba-tiba. Entah bagaimana analisis medisnya (gara-gara subnya nggak terlalu oke dan pas bagian suami KJY googling tentang penyakit KJY pake bahasa Korea lalu nggak ter-translate). Sepertinya sakitnya KJY karena dia menyimpan atau memendam perasaan atas kejadian-kejadian dan perlakuan yang dia alami di masa lalu, dan akhirnya meledak di momen yang mungkin paling stressful, yaitu saat jadi ibu.

Nunjukkin bahwa menjadi ibu perjuangannya luar biasa. Nggak cuma perjuangan fisik, tapi juga perjuangan psikologis. 

Semenjak jadi ibu, saat ketemu sesama ibu di mall, atau tempat umum lainnya, muncul perasaan terenyuh, apalagi pas momen anaknya nangis-nangis. Duh, pengen bantu apa gitu. Padahal mungkin nggak perlu dibantu apa-apa. Cukup nggak ngeliatin atau bisik-bisik, kadang itu udah helps a lot.

Saya juga sangat excited dengan gerakan mom support mom. Menurut saya, film Kim Ji Young: Born 1982 ini salah satunya. Meskipun di film nggak cuma tentang menjadi ibu yang jadi concern. Tapi, juga kental unsur kritik sosial terhadap masyarakat Korsel (dan mungkin di Indonesia juga) yang lebih mengistimewakan anak laki-laki di dalam keluarga dan pegawai laki-laki di lingkungan kerja.

Tertarik untuk nonton? Atau udah nonton dan merasa hati terpotek-potek seperti saya? 

Kamis, 14 November 2019

Belajar Parenting dari Orang Denmark: Review Buku The Danish Way of Parenting


Membaca buku parenting menjadi penyemangat tersendiri buat saya. Selain juga ngademin hati saat lagi sering-seringnya marah atau kesal karena tingkah polah anak 2 tahun yang sedang heboh-hebohnya.

Menjadi motivasi diri juga bahwa sebagai IRT, Stay at Home Mom, atau apapun itu lah namanya, dengan kemauan belajar soal parenting, saya bisa jadi seseorang yang berguna dan dibutuhkan. Lebih jauh lagi, saya juga terdorong untuk menjadi orang tua yang berkualitas. Nggak cuma jadi orang tua yang melahirkan anak secara biologis, tapi ada ideologi yang juga saya lahirkan ke anak.

Halah, muluk amat yak. Emang harus begini biar kepercayaan diri meningkat! (Ups, buat diri saya aja ini, wkwkwk).

Suatu hari, teman saya update status Whatsapp dengan jepretan foto rak buku yang penuh. Di antara buku-buku miliknya, ada buku, The Danish Way of Parenting. 

Sering saya lihat ibu-ibu muda mengutip teori parenting dari buku ini. Membuat saya tertarik membaca, tapi belum kesampaian, hingga saat teman saya update status dan membolehkan saya meminjam buku tersebut.

Kesepakatan awal saya diberi waktu sebulan untuk menyelesaikan dua buku. Ternyata, dalam kurun waktu yang disepakati, saya cuma bisa baca satu buku!

Leletnya saya dalam membaca karena banyak distraksi gadget dan ngantuk! Padahal menurut saya buku ini cukup tipis, bahasanya pun nggak terlalu berat, meskipun beberapa terjemahan menurut saya cukup ganjil alias aneh, tapi nggak mengganggu esensi yang ingin disampaikan Jessica dan Iben.




Menariknya


Menariknya buku ini adalah sudut pandang yang dipakai untuk menjelaskan teori yang kadang bikin kening berkerut. Memosisikan sang penulis, Jessica dan Iben, layaknya teman sesama orang tua. Meskipun mereka pakar, tapi kebahasaan yang dimunculkan membuat saya pribadi merasa dekat dengan Jessica dan Iben layaknya teman sekomunitas. Padahal, ya, mereka nun jauh di sana.

Kedua penulis yang bersinggungan dekat dengan keluarga Denmark, membuat saya merasa bahwa teori bahagia ala orang Denmark yang dimunculkan dalam buku bukan omong kosong belaka, melainkan sesuatu yang penulis rasakan dan jalankan sendiri.

Buku ini salah satu buku parenting yang jenius, sebab bisa menyentuh kebutuhan orang tua masa kini. Bahwa anak yang dilahirkan sebagai generasi Alfa, tidak akan dididik dengan cara dibentak atau dipukul dengan sapu. Harus ada terobosan baru untuk mengubah cara mendidik jaman baheula, agar generasi Alfa jauh lebih baik dari generasi yang ada saat ini.

Pemakaian standar bahagia dalam buku ini menjadi hal yang sangat menarik. Ukuran anak yang pintar, cantik atau ganteng, tinggi, kaya, dan yang sejenisnya mungkin tidak akan menjadi standar yang berarti di masa depan. Tetapi, bahagia? 

Jessica dan Iben menunjukkan bahwa standar bahagia orang Denmark berefek positif. Baik untuk tumbuh kembang anak, maupun untuk memajukan sebuah negara. Maka nggak heran kalau dalam salah satu bab diceritakan, ada profesor di India yang hendak menyebarluaskan teori parenting ala orang Denmark ini.

Baca Ini Juga Yuk: Wanita (Harus) Bekerja?


How to


Menjadikan anak kita sebagai anak yang bahagia tentu bukan proses yang instan. Lewat teori yang disingkat menjadi PARENT. Jessica dan Iben menjelaskan cara-cara taktis yang bisa menjadi panduan. 

Apa itu PARENT?
Play
Autentisitas
Reframing (Memaknai Ulang)
Empati
No Ultimatum (Tanpa Ultimatum)
Togetherness and Hygge (Kebersamaan dan Kenyamanan)

Cara yang dijelaskan dalam buku menurut saya cukup aplikatif. Meskipun mungkin saat sekilas membaca terbersit dalam hati, 'Duh, bisa nggak, ya,' Antara meragukan diri sendiri dan nggak yakin bisa mengkondisikan anak.

Misal dalam kasus saya, saat ingin menerapkan No Ultimatum alias Tanpa Ultimatum. Itu praktiknya harus putar otak banget. Mungkin karena ketika ingin memberi peringatan ke anak sudah telanjur terbiasa menggunakan redaksi kata, Jangan! Ketika mau mengubahnya, beneran yang harus mikir supaya kata itu menjadi sebuah kalimat yang reasonable.

Buku ini menantang saya pribadi untuk menjadi orang tua yang mau berpikir dan mau berubah. 

Beberapa kali saya mendapatkan quote, sebenarnya ketika kita mendidik anak, kita mendidik diri sendiri, itu benar adanya.

Belajar parenting salah satunya lewat buku ini, membuat saya ikut belajar lagi akan hal-hal yang sebelumnya sifatnya insting atau warisan orang tua terdahulu.

Sangat saya rekomendasikan bagi ayah, ibu, maupun calon-calon ayah-ibu, untuk membaca dan mengoleksi buku ini.

Ngomong-ngomong, ada yang sudah baca? Gimana pendapatnya setelah membaca The Danish Way of Parenting?



Judul Buku : The Danish Way of Parenting
Karya: Jessica Joelle Alexander dan Iben Dissing Sandahl
Penerjemah: Ade Kumalasari dan Yusa Tripeni
Penerbit: PT Bentang Pustaka (Mizan Media Utama)
Jumlah Halaman: 184 halaman
Harga: Rp 59.000 (via Mizanstore)

Rabu, 21 Agustus 2019

Survei Daycare di Bandar Lampung: Ibu yang Sedih, Lho, Nak!

Beberapa pekan yang lalu saya dan suami disibukkan dengan aktivitas mencari-cari daycare untuk anak saya.

Kok dititipin? Mau kerja lagi? 

Itu pertanyaan yang muncul, saat memberitahu bahwa saya sedang hunting daycare.

Jawabannya, mau kerja lagi, tapi remote dari rumah, alias mau nyeriusin nge-blog dan memburu job-job menulis yang lain. Terus juga butuh sehari yang bisa ninggalin anak karena ada aktivitas yang harus dilakukan mobile di luar rumah. Oleh suami sudah diizinkan, beliau juga menemani survei ke beberapa daycare tersebut. 

Padahal nih, niatnya menitipkan anak kami sehari saja. Nggak yang all day long in a month. Ternyata, syarat menitipkan sehari doang ini rada tricky di beberapa daycare, karena mereka prefer anak yang dititipkan continue, bukan yang temporal kayak saya begini.

Menitipkan yang harian begini dengan effort saya dan suami menyurvei satu per satu, rada lebay sepertinya. Cuma, nggak berani juga buat nggak menyurvei daycare yang dituju.

Berangkat dari situ, akhirnya saya dan suami beneran yang berkunjung satu per satu, ngelihat kondisi daycarenya, nanya-nanya aktivitas, biaya, dan sebagainya.


Hal mengejutkan dan tidak disangkanya adalah perasaan saya yang tiba-tiba mellow saat proses survei.

Halo, buibu? Ngerasain hal yang sama nggak sih?

Nggak nyangka saat menyusuri daycare demi daycare, yang muncul adalah perasaan sedih dan lebih ke nggak rela, anak saya bakal seharian sama orang lain (yang bukan suami atau orangtua saya atau kerabat dekat).

Padahal sebelum survei, di rumah saya yang semangat banget. Mikirnya, finally, seharian bisa me time ngerjain kerjaan, dst, dst. (Lho, weekend nggak bisa begitu? Answer: Nggak samsek! Weekend ibu-ibu mah, rasa weekeday. Occasionally aja bisa me time di weekend, cuma kok lelah amat weekend-weekend juga mikirin kerjaan).

Semangat itu terkikis sedikit demi sedikit seiring perjalanan saya berkunjung dari satu daycare ke daycare yang lain.

Hilang semangat yang berujung rasa nggak rela.

Akhirnya, batal dong nitipin anak saya ke daycare.

Alasannya, tentu saja daycare-daycare tersebut nggak memenuhi ekspektasi saya selayaknya sebuah badan yang akan mengasuh anak saya selama seharian.

Apa banget, ya, padahal cuma buat seharian doang. Tapi, gimana, dong, kayak yang berat gitu, saat mendapati zonk demi zonk realita di daycare.


Salah saya juga, sih, harusnya sebelum berkunjung, saya mengosongkan gelas terlebih dahulu. Sampai di rumah, baru evaluasi semuanya.

Hal yang terjadi, begitu masuk dan melihat satu dua hal yang kurang sreg, langsung asal coret dalam hati. Hilang niat buat menitipkan anak disitu.

Belum sharing dengan buibu yang lain, sih, apalagi sama mereka yang rutin menitipkan anak di daycare tersebut. 

Kadang kepikir (jahat), kok nitipin anaknya disitu, padahal kan begini dan begitu. Duh, sayanya aja yang rese' nih, karena mungkin standar daycare saya terlalu utopis untuk daycare-daycare yang saya survei kemarin. Atau mungkin saya harus punya daycare sendiri, supaya memenuhi ekspektasi pribadi? Boleh lah, dimasukkan ke wishlist.

Reaksi Aliyya, anak saya, bukan yang ogah-ogah amat. Bisa dimaklumi, awal-awal menginjakkan kaki di daycare langsung nemplok ke saya atau ayahnya. Ngobrol sama ibu pengurus daycare, katanya wajar kayak gitu. Beberapa anak pas awal ikut daycare juga tidak rela berpisah dengan emaknya, nangis, dsb, dsb. Bagian itu tidak terlalu khawatir, meskipun deg-degan juga ngebayanginnya.

Deg-degan berakhir lega karena untuk saat ini belum jadi menitipkan Aliyya ke daycare.

Rabu, 16 Januari 2019

Baby Chair, Kursi Makan Bayi Penting atau Enggak?

Sejak awal MPASI Ncik (nama panggilan anak saya), baby chair jadi salah satu barang yang saya pengenin. Tapi, setelah pengajuan ke suami, ternyata ditolak. Alasannya, ngeliat pergerakan Ncik selama ini, suami khawatir baby chairnya malah enggak kepake karena Ncik sukanya kemana-mana.

Akhirnya, diambil jalan tengah untuk sewa lebih dulu supaya tau berguna banget atau enggak si baby chair ini untuk anak kami.

Saya memilih sewa baby chair yang model bumbo seat. Pernah baca sekilas sih kalau sebenarnya model bumbo seat ini kurang direkomendasikan. Kenapa? Singkatnya, karena cenderung menghambat kemampuan anak untuk belajar duduk sendiri.

Ngeliat dari strukturnya emang bener. Bentuk bumbo seat itu yang ngejaga anak bisa duduk meski dia belum bisa bener-bener duduk tegak sendiri. Yo wis, anak-anak yang mungkin belum tegak-tegak banget kalau duduk sendiri dibikin santai dengan duduk di bumbo seat itu. Padahal harusnya kalau enggak pake bumbo seat, mereka akan terstimulasi untuk menjaga diri supaya struktur tubuhnya bisa duduk dengan kemampuan sendiri. 

Artikel lengkapnya bisa dibaca disini deh. Hamba hanya mencoba merangkum setitik doang.

Alhamdulillah pas Ncik mulai MPASI itu dia udah bisa duduk tegak sendiri. Kenapa akhirnya milih baby chair yang model bumbo seat, karena bumbo seat yang saya pilih ada plus plus mainannya. Ceritanya sekalian gitu kursi makan dan kursi buat mainan. 

Kayak gini nih model kursi bayi yang dipilih Ncik.

Summer Infant Superseat via Pinterest

Setelah masa sewa beres, sebenernya masih ngebet beli baby chair. Tapi, kembali alasan lama, suami enggak setuju. Karena makan tanpa baby chair pun Ncik baik-baik aja.

Padahal saya naksir berat sama salah satu booster seat yang portable bisa dipake dan dibawa kemana-mana.



Dua model baby chair yang jadi perbincangan hangat di dunia ibu-ibu adalah booster seat dan high chair.

Kalau booster seat plusnya adalah bisa dipakai buat kita yang biasa makan lesehan maupun ditaruh di kursi meja makan. Booster seat juga peruntukkan usianya lebih panjang. Sedangkan high chair cuma bisa satu posisi doang, sejajar sama meja makan. Rada tricky kalau keluarga yang biasa makan lesehan, tapi memilih pakai high chair di rumah.

Better kalau memang kebiasaan makan di keluarganya lesehan, pilih booster seat aja.

Tapi, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan sebelum membeli baby chair entah itu booster seat maupun high chair adalah perlu enggak anak kita pakai kursi makan khusus bayi?

Saya pribadi merasa perlu.

Mungkin karena udah ngerasain kelebihannya pake baby chair.

Setelah Ncik usia 16 bulan akhirnya suami ngebeliin baby chair dong. Itu juga beli karena kami sekeluarga memutuskan beli meja makan yang proper. Ini dalam rangka supaya waktu makan jadi salah satu quality time keluarga. Alhamdulillah pas ada rezekinya. Beli yang high chair karena sekalian satu toko sama yang jual set meja makannya.

Padahal kalau dikasih waktu googling lebih lanjut bakal beli booster seat kepengenan yang bisa dibawa kemana-mana. Tapi, enggak apa-apa lah. High chair juga sangat bermanfaat karena set meja makannya pun cuma dua kursi. 


Ilustrasi via Pinterest

Adanya high chair di rumah ngebantu banget soal ritme makan Ncik. Sebelum pake high chair, doi kalau makan sambil keliling rumah. Mondar-mandir kesana-kemari. Lelah lah ibu ini main kejar-kejaran setiap mau nyuapin. Ncik yang duduk rapi di high chair saat makan, jadi harapan supaya terbangun kebiasaan kalau makan ya, sambil duduk. No keliling kesana-kemari.

Namanya juga anak bayi yang masih belajar makan, sering banget jadi kocar-kacir, kotor, berantakan. Kalau makannya pas kesana-kemari, bisa harus ngepel rumah karena remah-remah nasi berceceran dari ujung ke ujung ruangan. Sebaliknya, kalau pake high chair cuma area yang ada high chair aja yang harus dibersihin. Lumayan lah ibu bisa selonjoran sedetik.

Plus plus lain punya high chair adalah bisa jadi tempat aman kalau pas ibu atau ayah harus ngepel. Karena Ncik udah nggak bisa diamankan di box bayi. Kalau di high chair, dikasih buku bacaan atau buku buat coret-coret atau disetelin video, amanlah sampai rumah beres dipel. Sambil disounding juga sih kalau lantai yang lagi dipel itu licin. Doi dikit-dikit ngerti, pengalaman pernah 'gelebak' gara-gara tadinya ditaruh di sofa terus dia tiba-tiba ngacir. Alhamdulillah observasi 2x24 jam enggak kenapa-kenapa.

Kalau disimpulkan, baby chair termasuk baby stuff yang worth to buy kalau memang ada dananya. 

Kalau enggak ada pun, enggak yang dead end sebagai langkah membiasakan anak untuk makan dengan duduk tenang. Masih ada langkah lain untuk ngajarin anak kebiasaan tersebut. Misalnya, sounding terus kalau makan itu mesti duduk. Sediakan spot khusus sebagai area makan. Gitu kalau saya ngebayanginnya. Kalau pas anak GTM (Gerakan Tutup Mulut) kan salah satu langkah mengatasinya dengan cari suasana makan yang baru, tapi ya, tetep enggak mengganggu esensi kebiasaan rutin makan yang sudah kita bangun sebelum-sebelumnya. 

Semoga enggak belibet ya buibu.

Soal makan anak ini emang panjang lika-likunya. Saya sendiri ngerasain banget mulai dari MPASI sampai sekarang, ngebangun kebiasaan makan anak yang baik itu menguras energi dan emosi, jiwa dan raga. Satu filosofi yang pengen saya pertahankan (meski sering juga goyahnya, but I won't give up insya Allah) adalah membangun suasana makan yang menyenangkan.


Makan dimsum dulu