SOCIAL MEDIA

Kamis, 21 November 2019

Tentang Menyia-nyiakan Waktu


Pernah nggak, setelah satu hari, satu bulan, atau satu tahun terlewati, muncul perasaan sedih? Sedih karena merasa menyia-nyiakan waktu. Hm, nggak sia-sia juga, sih, cuma ngerasa dengan waktu yang sudah Allah kasih, merasa diri ini nggak mengoptimalkan dengan baik?

Saya lagi di fase ini dan merasa itu bukan pertama kalinya. Agak ngeri sama diri sendiri, karena, kok ngulangin lagi kesalahan yang sama?

Tapi, nggak apa-apa. Bagian dari memotivasi diri sendiri adalah menyadari kesalahan dan bangkit lagi dan perbaiki lagi.



Sejak di rumah saja dan memang meniatkan diri untuk momong anak di rumah, saya merasa banyak hal yang pengen dikejar. Pengen profesional di dunia parenting, pengen belajar bisnis, pengen terjun ke masyarakat, pengen bisa sekolah lagi, pengen jago nulis. Rasanya banyak hal yang dipengenin. Banyak, tapi akhirnya nggak fokus. Satu penyakit teridentifikasi. Padahal, sering dapat insight, bahwa lebih bagus kita fokus di satu hal dan menonjol di bagian itu. Kayak blog aja. Udah beberapa kali ikut kumpul blogger dan memang disarankan lebih baik blog itu punya satu tema atau niche khusus, misal yang fokus di keuangan kayak blognya mas Dani Rachmat, atau blog masaknya mbak Diah Didi, dan lain-lain. Tapi, saya milih menjadikan blog ini campur-aduk banget isinya.

Dari semua kepengenan saya yang banyak itu, rasanya di tahun depan pengen nantangin diri untuk fokus sama satu kepengenan saja. 

Kalau dari video motivasi yang saya tonton di akun Satu Persen, ada stepnya, nih buat mewujudkan secara sistematis apa yang menjadi kepengenan kita.

  1. Menuliskan WISH.
  2. Menemukan BENEFIT dari wish kita tersebut supaya kita lebih termotivasi dalam setiap step berikutnya.
  3. Menganalisa OBSTACLE atau rintangan yang bakal muncul dalam mewujudkan WISH.
  4. Membuat PLAN atau langkah setiap hari, minggu, bulan, tahun agar WISH bisa terlaksana. 

Duh, kemana-mana amat ya, tulisan kali ini. 

Intinya, saya pengen share aja kalau nggak apa-apa ketika muncul rasa sesal karena kita nggak optimal dalam menjalani detik-detik dalam kehidupan kita. Tapi, jangan lupa juga untuk bangkit dan berusaha memperbaiki apa, sih yang nggak optimal itu. Misal, kayak saya, rasanya di awal 2019 lalu sudah dengan rapi menyusun wish list. Sayangnya, targetan-targetan yang saya buat hasilnya nggak optimal. Analisis saya karena terlalu banyak yang saya pengenin, nggak fokus, akhirnya nggak kekejar semua. Setelah menyesal, lalu sadar, langkah berikutnya adalah memperbaiki wish list dan plan, sembari berdo'a supaya semua berjalan lancar dan diri kita bisa menjadi pribadi yang disiplin dalam keseharian.

Disiplin, strong word yang meski jadul, kalau disepelekan bisa bikin hidup berantakan.

Kayak sholat 5 waktu, kalau nggak disiplin ngelaksanain, akibatnya? Dosa.

Duh, ngomongin dosa, apalah saya yang menggunung dosanya.

Kamis, 14 November 2019

Belajar Parenting dari Orang Denmark: Review Buku The Danish Way of Parenting


Membaca buku parenting menjadi penyemangat tersendiri buat saya. Selain juga ngademin hati saat lagi sering-seringnya marah atau kesal karena tingkah polah anak 2 tahun yang sedang heboh-hebohnya.

Menjadi motivasi diri juga bahwa sebagai IRT, Stay at Home Mom, atau apapun itu lah namanya, dengan kemauan belajar soal parenting, saya bisa jadi seseorang yang berguna dan dibutuhkan. Lebih jauh lagi, saya juga terdorong untuk menjadi orang tua yang berkualitas. Nggak cuma jadi orang tua yang melahirkan anak secara biologis, tapi ada ideologi yang juga saya lahirkan ke anak.

Halah, muluk amat yak. Emang harus begini biar kepercayaan diri meningkat! (Ups, buat diri saya aja ini, wkwkwk).

Suatu hari, teman saya update status Whatsapp dengan jepretan foto rak buku yang penuh. Di antara buku-buku miliknya, ada buku, The Danish Way of Parenting. 

Sering saya lihat ibu-ibu muda mengutip teori parenting dari buku ini. Membuat saya tertarik membaca, tapi belum kesampaian, hingga saat teman saya update status dan membolehkan saya meminjam buku tersebut.

Kesepakatan awal saya diberi waktu sebulan untuk menyelesaikan dua buku. Ternyata, dalam kurun waktu yang disepakati, saya cuma bisa baca satu buku!

Leletnya saya dalam membaca karena banyak distraksi gadget dan ngantuk! Padahal menurut saya buku ini cukup tipis, bahasanya pun nggak terlalu berat, meskipun beberapa terjemahan menurut saya cukup ganjil alias aneh, tapi nggak mengganggu esensi yang ingin disampaikan Jessica dan Iben.




Menariknya


Menariknya buku ini adalah sudut pandang yang dipakai untuk menjelaskan teori yang kadang bikin kening berkerut. Memosisikan sang penulis, Jessica dan Iben, layaknya teman sesama orang tua. Meskipun mereka pakar, tapi kebahasaan yang dimunculkan membuat saya pribadi merasa dekat dengan Jessica dan Iben layaknya teman sekomunitas. Padahal, ya, mereka nun jauh di sana.

Kedua penulis yang bersinggungan dekat dengan keluarga Denmark, membuat saya merasa bahwa teori bahagia ala orang Denmark yang dimunculkan dalam buku bukan omong kosong belaka, melainkan sesuatu yang penulis rasakan dan jalankan sendiri.

Buku ini salah satu buku parenting yang jenius, sebab bisa menyentuh kebutuhan orang tua masa kini. Bahwa anak yang dilahirkan sebagai generasi Alfa, tidak akan dididik dengan cara dibentak atau dipukul dengan sapu. Harus ada terobosan baru untuk mengubah cara mendidik jaman baheula, agar generasi Alfa jauh lebih baik dari generasi yang ada saat ini.

Pemakaian standar bahagia dalam buku ini menjadi hal yang sangat menarik. Ukuran anak yang pintar, cantik atau ganteng, tinggi, kaya, dan yang sejenisnya mungkin tidak akan menjadi standar yang berarti di masa depan. Tetapi, bahagia? 

Jessica dan Iben menunjukkan bahwa standar bahagia orang Denmark berefek positif. Baik untuk tumbuh kembang anak, maupun untuk memajukan sebuah negara. Maka nggak heran kalau dalam salah satu bab diceritakan, ada profesor di India yang hendak menyebarluaskan teori parenting ala orang Denmark ini.

Baca Ini Juga Yuk: Wanita (Harus) Bekerja?


How to


Menjadikan anak kita sebagai anak yang bahagia tentu bukan proses yang instan. Lewat teori yang disingkat menjadi PARENT. Jessica dan Iben menjelaskan cara-cara taktis yang bisa menjadi panduan. 

Apa itu PARENT?
Play
Autentisitas
Reframing (Memaknai Ulang)
Empati
No Ultimatum (Tanpa Ultimatum)
Togetherness and Hygge (Kebersamaan dan Kenyamanan)

Cara yang dijelaskan dalam buku menurut saya cukup aplikatif. Meskipun mungkin saat sekilas membaca terbersit dalam hati, 'Duh, bisa nggak, ya,' Antara meragukan diri sendiri dan nggak yakin bisa mengkondisikan anak.

Misal dalam kasus saya, saat ingin menerapkan No Ultimatum alias Tanpa Ultimatum. Itu praktiknya harus putar otak banget. Mungkin karena ketika ingin memberi peringatan ke anak sudah telanjur terbiasa menggunakan redaksi kata, Jangan! Ketika mau mengubahnya, beneran yang harus mikir supaya kata itu menjadi sebuah kalimat yang reasonable.

Buku ini menantang saya pribadi untuk menjadi orang tua yang mau berpikir dan mau berubah. 

Beberapa kali saya mendapatkan quote, sebenarnya ketika kita mendidik anak, kita mendidik diri sendiri, itu benar adanya.

Belajar parenting salah satunya lewat buku ini, membuat saya ikut belajar lagi akan hal-hal yang sebelumnya sifatnya insting atau warisan orang tua terdahulu.

Sangat saya rekomendasikan bagi ayah, ibu, maupun calon-calon ayah-ibu, untuk membaca dan mengoleksi buku ini.

Ngomong-ngomong, ada yang sudah baca? Gimana pendapatnya setelah membaca The Danish Way of Parenting?



Judul Buku : The Danish Way of Parenting
Karya: Jessica Joelle Alexander dan Iben Dissing Sandahl
Penerjemah: Ade Kumalasari dan Yusa Tripeni
Penerbit: PT Bentang Pustaka (Mizan Media Utama)
Jumlah Halaman: 184 halaman
Harga: Rp 59.000 (via Mizanstore)

Selasa, 12 November 2019

Rahasia Tulisan Menarik Pemenang Lomba




Satu hal yang nggak absen ketika saya kalah atau batal ikut lomba nulis adalah kepo dengan tulisan peserta yang menang.

Hasil kepo tersebut biasanya menghasilkan pendapat, 'Ooo, pantes, menang. Tulisannya berbobot gini. Out of the box pula.' 

Yang tadinya, misal kesel gara-gara nggak menang, berubah tertarik dan kagum, karena tulisannya sebagus itu.

Nah, menurut saya, ada 4 poin alasan mengapa tulisan pemenang lomba mengagumkan dan 'nggak cuma' mengandung iklan.

1) Mengaitkan dengan Kehidupan Sehari-hari

Kalau melihat tema-tema lomba menulis yang dimunculkan, sekali lihat saya sering mikir kalau temanya formal, nggak menarik, etc, etc. Padahal sebenarnya itu suudzonnya saya aja. Menarik atau nggak tergantung sudut pandang dan kreativitas penulis meramu tulisan. Seberat apapun temanya, kalau misal, dikaitkan dengan kejadian yang sehari-hari kita alami, akan menimbulkan kedekatan dengan pembaca alias bikin related ketika ngebacanya.

2) Ide dan Gagasan

Ini menurut saya jadi poin penting dan nilai jual. Bahwasanya seseorang itu nulis nggak cuma bercerita, tapi juga memunculkan inspirasi akan suatu hal. Sesuatu yang tidak dipikirkan orang lain, atau mungkin dipikirkan, tapi tidak tersampaikan, haruslah dimunculkan.

Baca Ini Juga Yuk: Babywearing: Gendong-Menggendong, Emang Penting?


3) Memberikan Informasi Penting dan Menarik

Memang nggak mudah sih ngulik informasi yang nggak umum. Berhubungan banget sama pengetahuan dan kualitas baca pribadi. Tentu butuh effort juga untuk nyari-nyari info yang penting, tapi unik dan perlu banget diketahui pembaca. Ini juga poin penting kedua yang bikin saya pribadi ter'wow' dengan sebuah tulisan. Mengingatkan saya akan tulisan-tulisan ustadz Salim A. Fillah yang seringkali memunculkan kisah-kisah sejarah yang jarang banget diketahui orang banyak.

4)Meletakkan Peran

Setelah nulis panjang lebar, bagian ternampolnya adalah dimana kita menempatkan peran. Istilahnya memastikan pembaca bahwa kita nggak omdo alias omong doang. Apapun ide yang kita tuliskan, kita juga ikut ambil andil menjalankannya. Sepertinya, pembaca bakal tersentuh kalau peran yang hendak kita ambil itu nggak usah yang muluk-muluk, yang simpel aja dan balik lagi, dekat dengan aktivitas kita sehari-hari.

At last, semua poin-poin di atas nggak akan menjadi penting ketika saya masih ragu dan maju mundur saat akan ikut kompetisi menulis. Padahal itu intinya! Terus dan terus, lagi dan lagi, menulis dan kompetisikan. Nanti insya Allah ada rezekinya menang :)

Kalau kalian tim seneng ikutan lomba nulis atau yang penting produktif ngisi blog aja deh?

Rabu, 16 Oktober 2019

Curhatan Pengen Liburan dan Darimana Uangnya?


Mulai oleng beberapa waktu ini karena kerjaan ngurus rumah berasa monoton dan dikerjain kayak robot. Hari ini mau ngerjain A B C D E. Habis ngerjain A lanjut B lanjut C lanjut D dan terus aja. Di satu sisi bangga karena semua terjadwal. Tapi, di sisi lain, jemunya oh. Setelah mikir-mikir, wajar kalau merasa begitu, karena jatah menyendiri amat kurang.



Menyendiri alias me time buat saya nggak cuma jadi hiburan semata. Tapi, juga sebagai waktu jeda biar lebih refresh dari segala rutinitas. Apalagi buat ibu-ibu di rumah, yang ketemunya tempat cuci piring, cuci baju, dapur, kasur, ruang main anak, begitu terus. 

Kalau mau jahat (ea!) ngebandingin sama yang kerja, rada bisa ngakalin, misal bosen makan siang sama geng nasi padang, bisa ganti soto betawi, atau bakmie jakarta. Serius ini nggak apple to apple sih ngebandinginnya, LOL. Intinya, ibu rumah tangga maupun yang bekerja sama-sama rentan bosan. Tinggal kreativitas masing-masing nemuin cara ngatasin kebosanan itu. Nah, buat saya, liburan atau rihlah bisa jadi salah satu momen buat ngatasin kebosanan. (Dari me time ke liburan, anggap saja nyambung).

Baca Ini Juga: Menikmati Siang


Nggak ada jangka waktu ideal, kapan kita harus liburan. Menyesuaikan budget aja lah salah satu pertimbangan saya. Kalau ada budget 3 bulan sekali, alhamdulillah. Kalau adanya setahun sekali sekalian momen lebaran, bersyukur aja masih bisa liburan. Mikirnya kalau maksain liburan, tapi nggak sesuai budget malah nambah beban pikiran setelah liburan.

Pos keuangan anggaran liburan gini darimana? Duh, lupa baca di blog atau ig mba Windi Teguh atau Annisast. Cuma seinget saya, duit liburan itu sebaiknya direncanakan. Jadi, liburan itu bukan sesuatu yang dilakukan mendadak. Tapi, udah direncanakan dari jauh-jauh hari. Atau kalau memang yang pegawai dapat jatah uang cuti, bisa memanfaatkan bonus tersebut. Baru inget, ada juga lomba blog yang hadiahnya tiket PP destinasi suatu negara atau kota.

Gimana Cara Menyusun Anggaran Liburan?


Seinget saya dan ditambah improvisasi;

1)Tentukan destinasi tempat liburan
2)Bakal ke sana naik apa (Bakal pake jalur udara atau laut atau darat)
3)Bikin itinerary (Supaya tahu biaya-biaya semacam tiket tempat wisata, dan yang sejenis)
4)Bakal nginep dimana dan berapa hari
5)Biaya makan (Harus dilebihin budgetnya kalau liburannya buat wisata kuliner)
6)Biaya transportasi selama di tempat tujuan
7)Biaya oleh-oleh (Ini nomor terakhir. Prioritaskan kebahagiaan kita dahulu)

Setelah list item itu disusun, bagi deh dengan jangka waktu kapan kita bakal berangkat liburan, supaya ketemu jumlah yang harus kita tabung sampai menuju waktu liburan. Eh, tapi, kalau liburannya pakai jalur udara alias naik pesawat, better beli tiket duluan. Jadi, mungkin harus prioritaskan uang buat beli tiketnya. Betul nggak?

Misal total budget/anggaran liburan sebesar 5 juta rupiah. Kita pengen liburan di awal tahun 2020, asumsi pakai jalur darat. Kalau sekarang bulan Oktober, berarti ada November dan Desember buat menabung. Masing-masing bulan menyisihkan 2.5 juta. Tiap hari menyisihkan sekitar 83 ribu rupiah. Lumayan berat buat saya nyisihin segitu setiap hari. Misal saya setiap hari cuma bisa menyisihkan 10 ribu rupiah, berarti saya baru bisa liburan 1 tahun 4 bulan lagi. Nggak apa-apa lah. 

Kata Arai di Sang Pemimpi, 'Bermimpilah, karena Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.' Sambil banyakin do'a, karena hanya do'a yang mampu mengubah takdir. Mungkin hitung-hitungan manusia, dengan menyisihkan 10 ribu, saya baru bisa tahun depan dan tahun depannya lagi bakal liburan, tapi dengan kuasa Allah, siapa yang tahu, kan? Duh, pengen liburan detected.

Merasa butuh liburan karena dua hal.

Pengen lepas dari rutinitas di rumah, dan,


Pengen 'berdiam' sejenak

Sambil coret-coret lagi target yang udah dibuat dan bikin evaluasi. Kira-kira masih relevan nggak targetan atau cita-cita tersebut. Pengen bikin map langkah-langkah taktis hasil buah pikiran yang memenuhi kepala. Hal yang kayak gini, saya merasa nggak bisa ngerjain di rumah, karena kalau di rumah itu hawanya mikirin masak lagi, nyuci lagi, dan seterusnya. Intinya emang pengen liburan yang jauh dari rumah.

Ada yang pernah ngerasain kayak begini? Ku harus gimana kalau belum bisa liburan?

Pinterest
NB. Hasil googling singkat, ternyata mikirin planning liburan aja udah bisa bikin bahagia. Wah-wah, sungguh bahagia itu sederhana.

Senin, 16 September 2019

Review Salon Muslimah Az-Zahra di Bandar Lampung






Mencari salon muslimah di Bandar Lampung itu sebenarnya enggak susah. Beberapa lokasinya di tengah kota, pinggir jalan utama Bandar Lampung. Rate biaya salon yang sudah pernah saya coba, meskipun sedikit mahal, masih bisa dimaklumi.

Alhamdulillah hari ahad sepekan yang lalu, saya dapat izin dari suami untuk potong rambut. Setelah janjian dengan seorang teman, saya pergi ke salon muslimah Az Zahra, rekomendasi guru ngaji yang massage dan facial di sana. Kabarnya pelayanannya memuaskan dan biaya salonnya pun murah.

Karena berangkat kesana sore hari, mikirnya enggak akan antre. Eh, ternyata, harus nunggu 2 customer sebelum kami bisa treatment. Nunggu antriannya sambil ngantuk-ngantuk karena suasana rumah yang adem.


Ruang Tunggu Salon
Salah Satu Sudut Tempat Perawatan

Tips dari mbak-mbak pegawai Az Zahra, kalau sabtu-ahad lebih baik whatsapp dulu untuk janjian mau perawatan apa, supaya pas ke salon enggak nunggu terlalu lama. Mbaknya juga merekomendasikan hari senin, kalau mau perawatan di hari yang relatif sepi. 

Kemarin memilih weekend, supaya anak saya bisa ditinggal di rumah dengan ayahnya. Tapi, setelah tahu lokasi Az Zahra, kayaknya mau bawa anak ke salon juga enggak masalah. Asal enggak antre, perawatannya enggak kelamaan, mungkin perawatan yang sekitar 1 jam saja, kalau anak saya Insya Allah masih bakal bisa dikondisikan.

Baca Ini Juga: Rekomendasi Restoran Ramah Anak di Bandar Lampung


Saya nyobain potong rambut dan creambath. Overall, potongannya oke, meskipun saya kurang puas karena saya salah memilih model. Ibu yang memotong rambut, sekaligus owner salon, ramah banget. Pelayanan creambath juga oke. Meskipun enggak pakai alat yang kayak kepala kita dipakein helm gede gitu. Biaya 2 perawatan tersebut 85 ribu saja. Murah, kan? Kata saya sih, yes.

Teman saya massage, steam, refleksi, juga enak, pijatan oke, biaya juga murah, hanya 70 ribu saja. Ruangan untuk massage, facial, dan perawatan badan, diputarkan nasyid atau murottal. Makin bikin adem pikiran, wajah, badan, dan hati kita.

Poin plus yang bikin Az Zahra spesial adalah kesan salon yang homey, berasa perawatan di rumah sendiri. Meskipun ruangan perawatannya mungil, tapi enggak mengurangi efek nyaman saat nyalon. Pegawai-pegawainya pun ramah, saat ngajak ngobrol udah kayak teman sendiri. 

Recommended deh salon ini untuk dijadikan destinasi me time.

Price List
(Lumayan kalau harus ngantri bisa sambil nge-mie :)

FYI, salonnya tutup setiap rabu.

Lokasi Az Zahra relatif mudah dicari meskipun enggak di jalan utama Bandar Lampung. Kalau dari arah rel kereta api menuju RS Urip, salon ada di sebelah kiri jalan, bentuk salonnya selayaknya rumah biasa, bukan model bangunan ruko. Alamat lengkap salon Jl. Urip Sumoharjo No.141, Gn. Sulah, Kec. Sukarame, Kota Bandar Lampung, Lampung 35132 atau bisa juga search via google maps. Ada dua Salon Muslimah Az Zahra, nah, yang saya kunjungi ini yang ada di jalan Urip.

Semoga bermanfaat dan selamat me time, buibu :)

Pojok Mushola

Rabu, 11 September 2019

Salah Mengatur Keuangan di Masa Lalu


Saya baru melek mengatur keuangan setelah menjadi ibu rumah tangga. Sebelumnya, terutama sebelum menikah, sekadar tahu aja. Menyusun pengalokasian, tapi nggak ideal, karena merasa, yang penting cukup buat makan, bayar kosan, jajan, ongkos, done.


Kesalahan Utama

Kesalahan di masa lalu yang saya sadari fatal adalah tidak memikirkan pentingnya menabung atau investasi. Entah dulu itu karena gaji ngepas atau emang dasar lagi seneng-senengnya jajan dari hasil keringat sendiri.

Padahal berapapun gaji atau pemasukan, bakal tetep bisa menabung tergantung gimana kita mengatur diri. Makanya, banyak pakar finansial menyarankan menabung itu di awal gajian. Bukan dari uang sisa.

Sedih deh, habis resign dulu itu beneran cuma ngandelin gajian terakhir karena nggak punya tabungan yang mumpuni.

Uang Habis Kemana?

Jajan! Malu sebenarnya mengakui hal ini. Tapi, emang penyakit saya dari dulu (sekarang lagi (berusaha) diobati) adalah seneng banget makan enak yang artinya jajan di mall. Keknya ada deh sebulan itu lebih dari satu kali makan di mall yang satu bill itu minimal 60-70 ribu. Kalau 2 minggu sekali ke mall, udah habis uang hampir 150 ribu. Itu baru makannya doang, belum kalau sama nonton. Alhamdulillah dulu zaman saya kerja itu belum hits kopi-kopi cantik, eh, dan sekarang pun saya juga kurang suka. Jadi, uang aman dari ngopi cantik. Tapi, tetep aja buat jajan yang lain.

Nggak apa-apa sekali-kali jajan, biar ada momen melakukan penghiburan diri salah satunya memanjakan lidah. Asal jangan kebablasan kayak saya.

Akibat suka makan enak, saat makan sehari-hari pun, maunya cari tempat makan yang enak. Minimal 20 ribu dikeluarin buat sekali makan. Minimal lho itu.

Belum lagi sebagai wanita yang doyan online shopping. Ada aja sebulan itu beli tas lah, dompet, dan lain-lain. Bener-bener penyakitnya itu terlalu konsumtif.

Mending ya, konsumtif diiringi ulet mencari tambahan pemasukan yang lain, tapi, sayangnya saya nggak gitu. Duh, banget kan.

Baca Ini Juga: Review Buku: Habiskan Saja Gajimu!


Harus Bagaimana?

Biarlah yang sudah terjadi. Saya merasa sedikit lebih baik dalam mengatur keuangan setelah menikah. Salah satu sebabnya mungkin karena suami cukup sering ngasih wejangan, 'Ayo, pikirin nabung! Investasi! Uangnya jangan abis buat yang konsumtif aja'. Sebab lainnya, efek tambah tua. Jadi mulai berpikir tentang biaya pendidikan anak ke depan, dana darurat, dan lain sebagainya.

Buat saya ada 3 hal penting untuk menambal kesalahan keuangan yang saya buat di masa lalu.

1)Temukan Why Factor
Harus tahu persis, kenapa kita mau mengelola keuangan supaya lebih baik. Kenapa harus menabung, investasi, dll. Kenapanya itu harus kuat, supaya kalau merasa mulai kocar-kacir ngatur uang, merasa boros banget, saat ingat tujuan finansial, kita jadi lebih mudah untuk bangkit.

Misal nih, untuk yang pada belum menikah, pengen nabung untuk biaya pernikahan, untuk biaya ikut tes IELTS atau TOEFL, untuk ikut pelatihan bisnis, dan lain sebagainya. Bahkan kalau pengen sedekah lebih besar lagi pun perlu dianggarkan dan diatur. Nggak bermaksud menghitung-hitung pakai hitungan manusia soal sedekah, cuma sebagai langkah antisipasi aja, biar sedekah itu juga di awal, nggak pakai uang sisa yang belum jelas ada atau nggak. Kalau di akhir bulan ternyata anggaran yang kita buat masih bersisa banyak, ya, nggak apa-apa kalau mau disedekahin semuanya. Ini antisipasi aja kalau yang terjadi sebaliknya.

Baca Ini Juga: Integritas Para Penjual


2)Membangun Vibes
Salah satunya follow akun-akun yang memang memotivasi untuk mengatur keuangan.

Perlu diingat, bahwa mengatur keuangan ini kalau saya pribadi bukan untuk bikin khawatir lantas ngerasa kurang dengan gaji atau uang yang kita miliki. Tapi, lebih ke bentuk rasa syukur untuk mengelola amanah dari Allah, berupa gaji atau harta yang titipan semata ini. Kita kelola supaya hidup lebih baik. Nggak melulu konsumtif, tapi harta kita bisa bikin diri kita lebih baik. Aduh, jauh kan goalsnya. 

Membangun vibes juga termasuk menjalin hubungan dengan teman-teman. Kalau kita gengnya yang doyannya ngopi cantik sekali duduk 100 ribu, ya, agak susah kalau mau berhemat untuk prioritas anggaran yang lain. Bukan berarti kita jadi pilih-pilih teman, tapi lebih ke kontrol diri.

3)Kontrol Diri
Nah, masuk ke poin ini dari poin sebelumnya. Nggak apa-apa juga kalau kita punya geng yang doyan ngopi cantik. Asal kita punya kontrol diri yang kuat. Misal, disiplin untuk cuma sekali dalam 1 atau 2 bulan dine in ngopi cantik. Kalau emang mau ngejar kongkownya, tahan-tahanin untuk nggak ngopi. Entah kita bawa termos dari rumah, atau ya, nggak usah kepengen pesan.

Sama juga kayak saya, sih. Latihan banget untuk nggak bobol anggaran belanja akibat gofood, dengan memotivasi diri untuk lebih rajin masak.

Disiplin dan kontrol diri ini emang krusial. Karena kalau kita gampang tergoda ya, gampang aja beli ini beli itu, jajan ini jajan itu, padahal nggak kita anggarkan. Kalau sudah bablas yang keterusan, agak susah juga untuk mengubahnya (tapi, bukan yang nggak bisa juga). Insya Allah pasti bisa lebih baik mengatur keuangan, agar harta yang diamanahkan Allah ke kita berkah dan mendukung kehidupan untuk beramal sholeh.

Kalau dibilang nyesek nggak sih dengan cara mengatur keuangan yang salah di masa lalu? Jawabannya nyesek banget. Karena sebelum menikah, sebenarnya masih relatif lebih simpel yang dipikirkan. Hanya diri kita, orangtua, mungkin kalau ada kakak, adik, keluarga dekat lah pokoknya. Kalau setelah menikah, rasa-rasanya lebih kompleks banget yang dipikirkan. 

Beneran deh, harus memanfaatkan masa muda sebelum masa tua, masa jomblo, sebelum kehidupan rumah tangga yang menantang.

Semoga bermanfaat.

Salah satu akun yang memotivasi mengatur keuangan dengan lebih baik @zapfinance. Gaji segitu kalau bisa diatur sebegini rapi, beneran muda kaya raya!


Ps. IMHO, kaya adalah persoalan mental dan manajemen. Kalau dua ini sudah khatam, siapapun bisa kaya dengan izin Allah.

Kamis, 29 Agustus 2019

Blue Valentine: Marriage 101

Menonton film Blue Valentine yang dibintangi Ryan Gosling sebagai Dean dan Michelle Wiliams sebagai Cindy membuat saya memaknai kembali perjalanan pernikahan.

Rasanya pernikahan saya masih seumur jagung. Tapi, saya sadari sudah banyak sekali mengeluhnya. Padahal jika masih diberi umur, mungkin ujian yang saya dan suami hadapi belum seberapa.



Short Review

Saat Cindy bertengkar hebat dengan Dean, lalu Dean meminta pengertian Cindy untuk memahami 'the worst part of him' saya merasa tertegun. Sudahkah saya siap ketika harus menghadapi 'the worst part of my husband'? As we know, kita semua manusia yang pasti melakukan kesalahan.

Hubungan manis Cindy dan Dean sebelum menikah yang menjadi flashback dalam film ini membuat saya berpikir tentang up and down sebuah hubungan. 

Ketika hubungan kita dengan pasangan sedang dalam titik terendah, bisakah kita mengingat indahnya hubungan kita di masa lalu?



Saya terharu terhadap kegigihan Dean mempertahankan rumah tangganya. Bagaimana dia tidak segan mengemis maaf dari Cindy, lalu betapa carenya dia terhadap Frankie (putri mereka). 

Sebagai anak yang lahir dari keluarga broken home, Dean tidak mau Frankie mengalami hal yang sama. Sungguh manis. Mengingat sekarang ini perceraian dianggap sebagai sesuatu yang biasa dilakukan. Padahal meskipun itu hal yang wajar terjadi, bukankah kita masih bisa mengusahakan perbaikan? I don't know. Mungkin sekarang saya bisa berkata seperti ini. Who knows? Semoga Allah senantiasa menjaga keluarga saya. Aamiin.

Maka, saya sangat bersyukur karena dalam Islam pemutus perceraian adalah suami. Mengingat nature saya sebagai wanita (in case my personality) sangat mudah terbawa perasaan dan mungkin sulit berpikir panjang saat menghadapi masalah.

Komentar dan Refleksi

Of course the star in this movie is Ryan Gosling! Pernyataan-pernyataannya dalam film banyak yang menyadarkan saya.

Bagaimana Dean sebenarnya punya banyak keterampilan, berbakat dll, tapi dia memilih untuk kerja serabutan.

Bagaimana dia tidak menginginkan menjadi suami dan ayah. Tetapi, ketika takdir menggariskan dia untuk menjalani peran itu, he try his best.

Betapa bangganya Dean bisa fokus menjadi suami dan ayah tanpa perlu merumitkan masalah pekerjaan. Istilah sadisnya, buat apa sih kerja kalau malah kita nggak bisa menikmati waktu bersama anak dan istri. Duh, lupa detail kalimatnya Dean, yang jelas nampol banget pas scene dia ngucapin kalimat itu.

Salah satu masalah yang disorot di film ini, ketika Dean seperti tidak melakukan apa-apa untuk keluarganya (mungkin karena Dean nggak bekerja seperti umumnya para suami), lantas Dean pun mengalami kehilangan orientasi.

Baca Juga: Remember Me


Ah, sungguh menjadi tamparan ketika seorang pria seperti ini. All out menjadi ayah dan suami.

This movie strikes me in two important things in my life. Becoming good mother and wife as it should be.

Oh ya, dan satu lagi, betapa kadang para istri butuh liburan berdua dengan suami untuk kembali menyatukan hati dan mengingatkan bahwa dulu kita pernah hidup kasmaran nan penuh cinta. LOL. So cheesy.

Semoga bermanfaat!

Sampe nangis dong si Ryan Gosling!



Ps. Filmnya rating dewasa, jadi tontonlah dalam kondisi steril dari anak-anak. Film Hollywood emang begitu, valuenya udah oke, tapi tetep muatan sexnya terlalu vulgar, duh.

Rabu, 21 Agustus 2019

Survei Daycare di Bandar Lampung: Ibu yang Sedih, Lho, Nak!

Beberapa pekan yang lalu saya dan suami disibukkan dengan aktivitas mencari-cari daycare untuk anak saya.

Kok dititipin? Mau kerja lagi? 

Itu pertanyaan yang muncul, saat memberitahu bahwa saya sedang hunting daycare.

Jawabannya, mau kerja lagi, tapi remote dari rumah, alias mau nyeriusin nge-blog dan memburu job-job menulis yang lain. Terus juga butuh sehari yang bisa ninggalin anak karena ada aktivitas yang harus dilakukan mobile di luar rumah. Oleh suami sudah diizinkan, beliau juga menemani survei ke beberapa daycare tersebut. 

Padahal nih, niatnya menitipkan anak kami sehari saja. Nggak yang all day long in a month. Ternyata, syarat menitipkan sehari doang ini rada tricky di beberapa daycare, karena mereka prefer anak yang dititipkan continue, bukan yang temporal kayak saya begini.

Menitipkan yang harian begini dengan effort saya dan suami menyurvei satu per satu, rada lebay sepertinya. Cuma, nggak berani juga buat nggak menyurvei daycare yang dituju.

Berangkat dari situ, akhirnya saya dan suami beneran yang berkunjung satu per satu, ngelihat kondisi daycarenya, nanya-nanya aktivitas, biaya, dan sebagainya.


Hal mengejutkan dan tidak disangkanya adalah perasaan saya yang tiba-tiba mellow saat proses survei.

Halo, buibu? Ngerasain hal yang sama nggak sih?

Nggak nyangka saat menyusuri daycare demi daycare, yang muncul adalah perasaan sedih dan lebih ke nggak rela, anak saya bakal seharian sama orang lain (yang bukan suami atau orangtua saya atau kerabat dekat).

Padahal sebelum survei, di rumah saya yang semangat banget. Mikirnya, finally, seharian bisa me time ngerjain kerjaan, dst, dst. (Lho, weekend nggak bisa begitu? Answer: Nggak samsek! Weekend ibu-ibu mah, rasa weekeday. Occasionally aja bisa me time di weekend, cuma kok lelah amat weekend-weekend juga mikirin kerjaan).

Semangat itu terkikis sedikit demi sedikit seiring perjalanan saya berkunjung dari satu daycare ke daycare yang lain.

Hilang semangat yang berujung rasa nggak rela.

Akhirnya, batal dong nitipin anak saya ke daycare.

Alasannya, tentu saja daycare-daycare tersebut nggak memenuhi ekspektasi saya selayaknya sebuah badan yang akan mengasuh anak saya selama seharian.

Apa banget, ya, padahal cuma buat seharian doang. Tapi, gimana, dong, kayak yang berat gitu, saat mendapati zonk demi zonk realita di daycare.


Salah saya juga, sih, harusnya sebelum berkunjung, saya mengosongkan gelas terlebih dahulu. Sampai di rumah, baru evaluasi semuanya.

Hal yang terjadi, begitu masuk dan melihat satu dua hal yang kurang sreg, langsung asal coret dalam hati. Hilang niat buat menitipkan anak disitu.

Belum sharing dengan buibu yang lain, sih, apalagi sama mereka yang rutin menitipkan anak di daycare tersebut. 

Kadang kepikir (jahat), kok nitipin anaknya disitu, padahal kan begini dan begitu. Duh, sayanya aja yang rese' nih, karena mungkin standar daycare saya terlalu utopis untuk daycare-daycare yang saya survei kemarin. Atau mungkin saya harus punya daycare sendiri, supaya memenuhi ekspektasi pribadi? Boleh lah, dimasukkan ke wishlist.

Reaksi Aliyya, anak saya, bukan yang ogah-ogah amat. Bisa dimaklumi, awal-awal menginjakkan kaki di daycare langsung nemplok ke saya atau ayahnya. Ngobrol sama ibu pengurus daycare, katanya wajar kayak gitu. Beberapa anak pas awal ikut daycare juga tidak rela berpisah dengan emaknya, nangis, dsb, dsb. Bagian itu tidak terlalu khawatir, meskipun deg-degan juga ngebayanginnya.

Deg-degan berakhir lega karena untuk saat ini belum jadi menitipkan Aliyya ke daycare.