SOCIAL MEDIA

Selasa, 27 Desember 2022

6 Tahun Merantau di Luar Jawa, Gimana Rasanya?

Setelah menikah dan punya anak, baru ngerasa kalau merantau itu a big deal. Dulu saat kuliah dan kerja, juga pernah merantau, tinggal dan belajar di luar kota kelahiran. Tapi, kayak yang nggak gimana-gimana. Apa karena masih muda, belum tau kerasnya kehidupan? Haha.


Keluarga perantau
Di dalam kapal penyeberangan (Dok. Pribadi)

Kok Bisa Merantau?

Jawabannya, karena memang meniatkan diri setelah menikah ngikut suami, dan takdir Ilahi membawa keluarga kami ke luar Jawa, karena beliau dapat penempatan kerja di Sumatra.

Yang Bikin Mikir Kalau Mau Merantau ke Luar Jawa

Saya dan suami sama-sama lahir di Jawa Tengah. Lanjut kuliah dan menekuni pekerjaan pertama di Jawa Barat dan DKI Jakarta. Jadi, sudah terbiasa dengan kondisi geografis, sosial, dan kultural masyarakat Jawa.

Nah, gimana komentar saya soal Sumatra?

Bangunan dan Tanah Kosong

Pertama kali tiba di Bandar Jaya dan merasakan Lampung Tengah, yang menyita perhatian saya adalah banyaknya bangunan mangkrak dan tanah kosong dengan rumput-rumput tinggi.

Setelah pindah ke Bandar Lampung dan Palembang, saya juga masih merasa itu 'sesuatu'. Entah bangunan atau tanahnya memang nggak bisa diapa-apain, atau karena proyek gagal yang nggak ngerti mau digimanain lagi.

Kenapa ini jadi concern? Supaya nggak expect too much soal tata kota, infrastruktur, dan semacamnya. Karena memang secara pembangunan (mungkin memang) nggak imbang dengan perkembangan di kota besar di Jawa. Meskipun itu ibu kota provinsi.


Republika Jalan Tol Sumatra
Jalan Tol Sumatra (Republika)

Kondisi Jalan

Harus sabar kalau tinggal di Sumatra dengan jalan yang bolong-bolong dan ibarat kawah. Baik di dalam kota maupun di jalan lintas provinsi. Di awal tahun 2022 jalan tol yang hitungannya masih baru sudah cukup banyak yang rusak. Menjadi kekhawatiran tersendiri kalau mau melintasi tol apalagi di malam hari. Vibesnya jelas beda dengan tol di Jawa yang ramai-ramai saja setiap waktu.

Tertarik Baca Ini? Menjajal Tol Lampung-Palembang


Biaya Mudik

Ini faktor terbesar yang bikin mikir. Sebelum punya anak, memang biaya mudik nggak terlalu berat. Tapi, setelah punya anak dan usianya sudah harus beli tiket harga hampir penuh, terasa banget besaran biaya mudik. Menjadi sebuah pertimbangan kalau mau pulkam beberapa kali dalam satu tahun.

Alhamdulillah ada tol, jadi sebagai pemudik lintas provinsi ada pilihan jalur darat yang lebih ekonomis (ampun, padahal baru ngatain jalan tol banyak yang rusak di paragraf sebelumnya. Sorry to say, ya). 

Hanya saja, jalur darat memang harus siap fisik karena perjalanan Sumatra-Jawa sangat menguras energi, apalagi kalau driver tunggal kayak suami saya, haha. Beda dengan menggunakan pesawat yang lebih singkat. 


Pelabuhan Bakauheni
Pemandangan ketika akan merapat ke Pelabuhan (Dok. Pribadi)

Masing-masing ada pertimbangannya. Kalau bermobil lebih lama dan lebih capek, tapi bisa lebih hemat. Kalau menggunakan pesawat, misal dengan jumlah anak lebih dari satu, lebih menyingkat waktu perjalanan, tapi jauh lebih mahal.

Jauh dari Keluarga

Saya dan suami sama-sama tidak memiliki saudara di tempat rantau, baik saat di Lampung maupun di Palembang. Jadi, kami harus mandiri. Dan selama ini kalau ada sesuatu yang kami tidak paham kondisinya di kota tempat merantau atau butuh bantuan, kami bersyukur sekali karena teman dan sahabat di tempat merantau sangat baik sekali membantu kami. Jadi paham pentingnya menjalin silaturahmi dan berteman ketika merantau.

Kondisi yang jauh dari keluarga juga membuat kami harus ada spare dana ketika harus pulang karena ada kondisi darurat.

Harus pintar-pintar juga meregulasi diri kalau kangen keluarga, karena tidak bisa ujug-ujug pulang kampung.

Menyenangkannya Bisa Merantau

Nah, kalau sebelumnya ngomongin hal yang bikin 'berat' saat merantau, saya akan mengimbangi dengan sisi positifnya.

Meluaskan Sebaran Manusia

Apa pula judul sub babnya, haha. Tapi, memang saya sering mikir, betapa penuhnya pulau Jawa kalau manusia di sana-sana saja. Makanya, jenius juga ide mengadakan transmigrasi, meskipun pasti penuh perjuangan, mengawali hidup di tanah orang yang jauh dari keluarga, beda adat dan lain sebagainya.

Tapi, saya merasa memang penting ada orang-orang yang fine-fine saja dengan kondisi merantau apalagi keluar dari pulau Jawa, karena memang tidak bisa dipungkiri kalau Jawa jadi pusat kemajuan.

Akan tetapi, di Sumatra saja misalnya, sumber daya alam sangat melimpah, banyak yang masih bisa dikembangkan. Tinggal sumber daya manusianya yang perlu lebih disebar, supaya yang maju nggak cuma di Jawa saja. Haha, memotivasi diri karena suami disebar hingga ke sini.

Mencoba Khazanah Kuliner yang Lain

Banyak kuliner yang baru saya icip di Sumatra. Contohnya sup ikan. Selama di Jawa, saya tahunya, ikan dimasak dengan cara digoreng, dibikin kuah kuning dengan bumbu medok. Setelah di Sumatra, saya jadi tahu lezatnya pindang patin, sup ikan khas Sumatra yang gurih, asam, manis, dan pedas. Pindang ini beda dengan pindang di Jawa yang berupa masakan kuah berwarna cokelat dengan cita rasa manis atau ikan tongkol yang dikukus dan diasinkan. Menu khas ikan banyak dieksplor di Sumatra.


Pindang Patin
Pindang Patin ala Warung Pindang Sophia (Dok. Pribadi)

Kalau di Jawa, warung mie ayam bakso itu bisa sangat mudah ditemukan. Tapi, kalau di Palembang, lebih mudah mencari warung pempek.

Ragam menu sarapan juga nggak hanya nasi uduk, tapi ada nasi minyak (mirip nasi biryani versi lebih sederhana), burgo, celimpungan, lakso, laksan, tekwan, mie celor, dan lain sebagainya.

Tertarik Baca Ini? Kuliner Semarang yang Dirindukan


Banyak Hal yang Bisa Dikembangkan

Saya merasa kalau kita mau memulai sesuatu di pulau Sumatra sini, peluangnya sangat besar. Misalnya berjualan mie ayam yang Jawa banget rasanya. Peluang sangat besar karena kompetitor belum banyak. Tapi, tantangannya adalah membuat mie ayam yang enak yang bisa jadi favorit warga sini. Itu contoh kecil saja (kenapa harus mie ayam, deh, wkwkwk).

Bisnis fashion, layanan jasa, kalau mau meniru dan memodifikasi usaha-usaha di ibu kota untuk dibawa ke sini, rasanya menjanjikan. Haha, mudah ya, kalau memberi ide. Tapi, eksekusinya memang penuh perjuangan.

Sedikit cerita, saya dan suami pernah mencoba membuka franchise usaha ayam geprek kuah, karena menurut saya ini salah satu kuliner unik dan enak yang belum ada di Sumatra. Penerimaannya cukup baik, dicari yang memang pada doyan, tapi, memang karena pengelolaan bisnisnya kurang baik, jadi nggak sustain.

Tapi, poinnya, kalau kamu mau merantau ke luar Jawa, punya banyak ide atau ide brilian, dengan mental yang kuat, bisa banget untuk mengembangkan diri maupun mengembangkan Sumatra itu sendiri. 

Wow, ala-ala motivator sekali, haha.

Keindahan Alam

Kalau ngomongin Lampung, identik dengan Pahawang dan pantai pasir putihnya yang jadi incaran. Keindahan alam itulah yang saya rasa merupakan aset besar di Sumatra. Bisa snorkeling dan melihat ragam fauna ala Discovery Channel atau seperti di film Finding Nemo, wah, bersyukur sekali kalau saat tinggal di Sumatra bisa merasakan itu.


Snorkeling di Pahawang
Suami menikmati snorkeling di Pahawang (Dok. Pribadi)

Bagi saya, merantau selama 6 tahun di Sumatra adalah pengalaman yang menyenangkan dan memorable. Selayaknya kehidupan, suka duka pasti ada. Tapi, karena ini sudah jadi pilihan, tugas saya adalah menjalani sebaik-baiknya. 

Teman-teman ada cerita apa selama merantau? Atau apa nih yang paling diingat kalau mendengar tentang Sumatra?

Tidak ada komentar :

Posting Komentar