Segala puji bagi Allah swt yang masih memberikan kesempatan kepada kami untuk pada akhirnya berangkat ke Vietnam. Saya dan teman-teman saya ( Ghita, Qori, Doni, dan Norman) melaksanakan program AIMS (ASEAN International Mobility Student) yang diselenggarakan oleh Dirjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) pada Pogram Kerja sama Luar Negeri, program ini akan membiayai studi kami berlima dan akomodasi selama kurang lebih 5 bulan dari September 2013 hingga Januari 2014 di advanced program Food Technology Nong Lam University (NLU).
Perjalanan
kami dimulai dengan keberangkatan dari Bandara Soekarno Hatta penerbangan pukul
08.20 WIB dengan maskapai Lion Air. Awalnya yang kami tahu adalah kami akan
melaksanakan 1 penerbangan saja yakni dari Jakarta langsung ke Ho Chi Minh
city, ternyata kami akan transit di bandara Changi Singapura.
Kami
cukup khawatir dengan free bagasi yang diberikan Lion Air yang hanya 20 kg.
Karena kami membawa banyak makanan halal yang kami pikir tidak akan kami temui
di Vietnam, berat koper kami cukup mengkhawatirkan. Saat kami melaksanakan
penimbangan koper, kami mendapat informasi bahwa untuk tambahan bagasi menuju
Saigon (nama lama Ho Chi Minh city) per kg sebesar 80000 IDR. Setelah ditimbang
berat koper teman-teman wanita nyaris mencapai 20 kg, koper saya mencapai 21,4
kg namun akhirnya saya bongkar lagi dan memindahkannya ke koper teman laki-laki
yang berat kopernya hanya 15-an kg. Akhirnya kami tidak perlu menambah biaya
untuk bagasi karena berat koper yang lebih, bisa kami bongkar dan dipindahmuatkan
ke koper teman yang lain.
Kami
sempat berlari-lari menuju pemeriksaan boarding pass karena kami berjalan
terlalu santai. Pihak kampus kami yang mengurus tiket penerbangan juga
menelepon kami karena mendapat laporan bahwa dekat dengan waktu keberangkatan
kami belum juga cek in ke pesawat.
Terengah-engah
kami sampai di pesawat dan pesawat ekonomi menuju Singapura itu penuh dengan
pekerja serta wisatawan.
Perjalanan
menuju Changi berlangsung sekitar 1 jam 30 menit. Setelah itu kami turun dari
pesawat dan melakukan cek in kembali di bandara Changi. Saya hampir
meninggalkan tas kecil saya saat pemeriksaan pertama. Mungkin saya terlalu
jetlag.
Pemeriksaan
kedua saya cukup kaget karena baru terdeteksi gunting yang ada di tas laptop
saya. Akhirnya saya meninggalkan jejak di Changi karena gunting saya. Herannya
diantara kami berlima, hanya gunting saya yang lewat saja pemeriksaan di
Soetta. Dua teman lain yang juga membawa gunting sudah meninggalkan gunting
mereka di pemeriksaan tanah air.
Ternyata
kami menaiki pesawat yang sama dari Changi menuju Tan Son Nhat di Ho Chi Minh
city. Hanya penumpangnya saja yang berbeda.
Mulailah
kami mendengar bahasa-bahasa asing di telinga. Belum terbiasa mendengar orang
Vietnam saling bercakap-cakap.
Cukup
ramai suasana di pesawat. Karena sepertinya penduduk Vietnam yang menaiki
pesawat yang sama dengan saya saling mengenal karena mereka terlihat saling
mengobrol satu sama lain meskipun berjauhan tempat duduk.
Perut
saya cukup lapar saat berada di pesawat karena sedari pagi belum sempat makan
apapun. Akhirnya saya membeli air mineral dan beberapa snack di pesawat. Kita
bisa membayar dengan uang rupiah maupun dolar. Saya membayar dengan rupiah,
harga per item yang dijual adalah 10000 IDR.
Penerbangan
ke Ho Chi Minh city menghabiskan waktu kira-kira 1 jam 55 menit. Sekitar pukul
13 pesawat kami mendarat di bandara Tan Son Nhat. Saat kami mengantri turun
dari pesawat, kami sempat mengucapkan terima kasih kepada pramugara yang
bertugas dan dia balik mengucapkan selamat belajar kepada kami.
Ah,
sungguh sederhana, tapi, sangat senang mendengarnya.
Kami
melewati imigrasi di Tan Son Nhat dengan lancar lalu menukar uang di tempat
penukaran uang di bandara. 100 USD kami tukar menjadi 2080000 VND. Setelah kami
keluar dari bandara, ternyata sudah banyak teman-teman NLU yang menjemput. Ada
sekitar 6 orang yang menjemput. Mereka sebenarnya mahasiswa angkatan 2011,
mereka pergi menjemput kami karena mahasiswa angkatan 2010 yang akan menjadi
teman belajar kami sedang ada kuliah.
Kami
berfoto sebentar lalu pergi menuju distrik tempat kami tinggal. Kesan yang
pertama saya dapat tentang Vietnam adalah lalu lintasnya yang luar biasa ramai
dan kurang teratur, karena tidak semua mematuhi lampu lalu lintas yang menyala.
Kendaraan yang melaju juga bisa menuju ke segala arah.
Kondisi
lingkungan dan penduduknya saya rasa tidak jauh berbeda dengan yang ada di
Indonesia.
Kami
mengobrol dengan teman-teman NLU sepanjang perjalanan. Tentang banyak hal,
namun kami tertarik sekali untuk belajar bahasa Vietnam sehari-hari terutama
untuk hal mendasar seperti, hai, terima kasih, dan maaf.
Perjalanan
dari bandara Tan Son Nhat menuju tempat tinggal kami dengan bermobil
menghabiskan waktu sekitar 30 menit.
Kami
sampai di rumah yang terdiri dari 3 tingkat. Rumahnya kental dengan suasana
penganut Budha, karena kami menemui banyak patung dan dupa.
Kami
beristirahat tidak lama lalu pergi menuju supermarket bernama Coop mart Xtra
plus untuk membeli makan dan bahan-bahan untuk dimasak.
Kami menaiki
bus nomor 104 dari bus station di depan NLU. Kami membayar 6000 VND. Mahasiswa
NLU yang membawa kartu mahasiswanya hanya perlu membayar 2000 VND. Perjalanan
hanya sekitar 10 menit, kami sampai di Coop mart dan menuju salah satu food
court untuk makan.
Menu
spaghetti seafood yang saya pilih harganya 70000 VND dan teman saya yang
memilih menu nasi dan omelet membayar 28000 VND.
Kami
berbelanja di Coop mart sekitar 2 jam. Produk-produk yang dijual di Vietnam
ternyata tidak berbeda dengan yang dijual di Indonesia. Hanya beberapa merek
saja yang diganti.
Harganya
juga tidak jauh berbeda.
Kami
pulang dengan bus bernomor sama dan 2 orang teman dari NLU mengantar kami
hingga di depan rumah dan ternyata teman NLU angkatan 2010 sudah menunggu kami.
Kami
mengobrol dengan teman-teman NLU angkatan 2010 lalu teman NLU kami yang juga
pemilik rumah meminta paspor kami untuk keperluan lapor kepada kepolisian
setempat.
Setelah
teman-teman kami pulang, kami berisitirahat sejenak. Lalu teman kami yang juga
pemilik rumah datang dan membawa berita yang kurang menyenangkan.
Ternyata
polisi setempat tidak menghendaki kami tinggal di lingkungan sekitar karena
visa yang kami bawa adalah visa pelajar. Mereka menghendaki kami tinggal di
asrama kampus. Namun, hal tersebut tidak dapat kami lakukan karena asrama tidak
direkomendasikan menjadi tempat tinggal kami selama 4 bulan ke depan. Ada
beberapa alasan dan yang terbesar adalah karena di asrama kami tidak
mengizinkan kami memasak sendiri padahal kami tidak juga bisa membeli makanan
di sekitar kampus karena faktor kehalalan.
Berita tersebut cukup menjadi ucapan
selamat datang yang dahsyat. Saya tetap bisa tidur sebagai waktu istirahat
saya, namun saya tidur dengan rasa was was karena masalah tersebut.
-to be continued-
Tidak ada komentar :
Posting Komentar