SOCIAL MEDIA

Kamis, 30 Oktober 2025

Pasang Surut Semangat Setelah Menjadi Ibu: Mengapa Aku Harus Berdaya?

Sejak sebelum menikah, saya memang punya target untuk bisa melanjutkan pendidikan hingga jenjang Master atau S-2. Calon suami saat itu pun juga mengizinkan. Tapi, hingga kami menikah dan dikarunia dua orang putri, rencana S-2 tersebut belum terlaksana.


Menjadi-Ibu-Berdaya


Saya yakin nggak cuma saya yang mengalami skenario kehidupan yang berbelok-belok, tidak mulus sesuai rencana di atas kertas. 


Rencana dan target yang berubah setelah menikah dan punya anak, seperti jadi hal yang biasa. Karena memang adaptasi kehidupan setelah berkeluarga sungguh luar biasa. Makanya saya sering sekali menyebut fase menjadi ibu itu sangat seru.


Masih Punya Keinginan

Sepuluh tahun kemudian, setelah bertahun-tahun lalu saya sangat bertekad untuk S-2, sampai bela-belain datang ke pameran pendidikan, konsultasi karena ingin pindah jalur konsentrasi pendidikan, hingga kini, ternyata saya masih punya keinginan untuk melanjutkan pendidikan.


Meski saat ini peluang untuk mengecap pendidikan nggak cuma lewat jalur formal. 


Baca juga: 6 Tahun Merantau di Luar Jawa, Gimana Rasanya?


Buat yang mengejar ijazah, gelar S-2 memang penting. Tapi, saya pribadi setelah membayangkan berbagai kewajiban yang harus dilakukan sebagai mahasiswi, jadi berpikir ulang. Kewajiban mengerjakan tesis, penelitian, survei, dan semacamnya, cukup membuat saya tertantang dan mempertanyakan kemampuan. 


Pada dasarnya, saya berkeinginan S-2 lebih karena ingin merasakan kembali atmosfer keilmuan. Diskusi, tukar ilmu tentang hal-hal esensial dalam kehidupan, maupun berjejaring supaya menambah relasi. Hal-hal yang sebenarnya tidak harus ditempuh lewat pendidikan formal. Meskipun kalau ada tawaran yang sesuai kondisi, saya nggak akan menolak. 


Ingin Terus Belajar

Di antara waktu yang digunakan untuk berjibaku mengurus anak dan rumah, bisa menambah ilmu, mengeluarkan ide gagasan, bagi saya itu adalah hal yang berharga. 


Makanya, beberapa waktu ke belakang dengan semakin majunya teknologi digital, saya hobi sekali mendaftar Webinar ini dan itu. Nggak hanya yang temanya parenting atau kepenulisan, topik ekonomi, bisnis, lingkungan, pokoknya yang random, sekali pun, bila tagline-nya terbuka untuk umum dan diisi oleh pakar, saya langsung saja join. Meski, kemudian saya merasa otak terlalu penuh dan jadi tidak fokus. 


Baca juga: Wanita (Harus) Bekerja?


Akhirnya, saya mengurangi join Webinar yang tidak sesuai dengan core atau niche yang saya dalami. Hanya join yang memang related dengan kehidupan maupun minat saya. Setidaknya kinerja otak dan nalar saya terus terasah dengan mengikuti forum-forum tersebut.


Apa itu Berdaya?

Kalau merujuk pada definisi KBBI, sederhana saja sebenarnya pengertian berdaya; berkekuatan, berkemampuan, bertenaga, mempunyai akal, cara, dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu.


Tapi, mungkin karena kosa kata ini dipakai dalam konteks yang lebih sempit, saya merasa berdaya jadi hanya lekat dengan berkemampuan secara finansial. 


Sedih sekali memang kalau jadi sesempit itu pandangan soal berdaya.


Maka, mari ubah lagi perspektif tentang berdaya.


Dalam kaitannya dengan keinginan saya untuk terus menimba ilmu, saya rasa dengan ilmu, pengetahuan, atau wawasan yang dimiliki seseorang, secara visi, hal tersebut bisa membuat seseorang berdaya, nggak cuma dalam hal finansial. Karena itu saya sepakat dengan pengertian KBBI dalam kalimat yang terakhir; mempunyai akal, cara, dan sebagainya untuk mengatasi sesuatu.


Berdaya artinya bisa mengerahkan segala yang dimiliki untuk mengatasi berbagai tantangan. Yang jelas, ketika seseorang sudah berniat untuk berdaya, ia memiliki kemampuan untuk bermanfaat untuk diri. Bila yang ia pikirkan tidak cuma dirinya, maka bisa meluas pada orang-orang di sekitarnya, seperti keluarga dan lingkungan sekitar.


Ah, senangnya bila bisa mendapat kesempatan untuk meluaskan manfaat sedemikian.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar